Oleh: Jerry Rudolf Sirait
Salam Cinta Danau Toba!
Jauh sebelum terbitnya Perpres RI no 49/2016 tentang Badan Otorita Pengelolaan Kawasan Pariwisata Danau Toba (BOPKPDT) yang sering disebut BODT dan dipelesetkan banyak orang menjadi BODaT. Saya tidak setuju adanya plesetan itu – karena akronim resminya ada pada Perpres dimaksud sebagai regulasi yang diterbitkan oleh Negara. Namun dalam tulisan ini saya mempergunakan akronim BODT. Maaf!
Sesungguhnya Yayasan Pencinta Danau Toba (YPDT) telah memprakarsai pemikiran tentang layaknya Danau Toba/DT dikembangkan sebagai destinasi pariwisata nasional. Adalah fakta yang tidak perlu disembunyikan bahwa pihak Kementerian Pariwisata RI (Kemenpar) “menolak” Danau Toba sebagai destinasi pariwisata ketika Pengurus YPDT beraudiensi dengan Kemenpar pada tanggal 26 Maret 2015. Namun Dr. Rizal Ramli, ketika itu sebagai Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman RI (Menko Maritim) pada saat diskusi dengan Pengurus YPDT tanggal 19 November 2015 justru menganggap DT lebih dari layak untuk dijadikan destinasi pariwisata. Kemudian Menko Maritim menyetujuinya setelah mengkonsultasikannya kepada Presiden RI, Pak Jokowi.
Sesungguhnya YPDT terlanjur kecewa pasca audiensi dengan pihak Kemenpar RI, lalu meneruskan hasil audiensi ini ke Pengurus YPDT lainnya. Pada sekitar Juli 2015, Prof. Dr. Otto Hasibuan yang adalah Penasihat Senior Menko Maritim, yang juga adalah Pembina YPDT, lalu beberapa kali mendiskusikannya secara informal pada September – Oktober 2015 dan mendorong Pengurus YPDT segera membuat usulan draft Perpres tentang BODT. YPDT merespon dorongan Prof. Otto dengan menyusun draf dimaksud. Kemudian draft Perpres yang disusun YPDT diserahterimakan kepada Menko Maritim, pada tanggal 19 November 2015. Selanjutnya dilakukan pembahasan pada internal pemerintahan, tidak melibatkan organisasi non pemerintah, termasuk lembaga pengusul draft, YPDT.
YPDT berusaha keras memperkaya draft itu walau harus diakui bahwa ada kekuatan lain di tengah perjalanan yang “mengganggunya”. Salah satu masukan YPDT agar pembangunan DT sebagai destinasi pariwisata “berbasis budaya Batak” ternyata lenyap di pertengahan jalan. Itu adalah salah satu contoh yang diusulkan YPDT yang “ditolak” oleh Pemerintah.
Dalam perjalanannya, BODT yang diharapkan oleh YPDT memprioritaskan pada tiga hal yaitu Infrastruktur, SDM, dan pelestarian lingkungan hidup ‘dikerjai’ kembali oleh Pemerintah dengan hanya difokuskan pada aspek pariwisata. Sesungguhnya YPDT mendorong Pemerintah agar dalam usulan Perpres diberi ruang kerjasama atau sistem sewa lahan dalam pembangunan DT sebagai destinasi pariwisata, tetapi usulan itu dicoret dan diganti dengan penguasaan lahan masyarakat oleh Pemerintah dengan sistem ganti rugi dan isunya bergeser lagi menjadi penguasaan lahan 500 hektar oleh BODT. YPDT mengusulkan agar menjadikan masyarakat sebagai subyek dalam pembangungan DT. Hal itu didasarkan pada masukan warga masyarakat Kawasan Danau Toba/KDT, dari tokoh adat, tokoh agama, dll. Rumusan itusempat juga dicoret oleh Kemenpar RI, tetapi kemudian diperjuangkan YPDT sampai draf terakhir di tingkat Kementerian Hukum dan HAM RI (Kemkumham). Pada akhir pasal yang memuat ketentuan penting itu tetap ada. Dokumen-dokumen itu masih tersimpan rapi di Kantor YPDT.
Apabila kita tarik lebih jauh ke belakang terkait sejarah lahirnya BODT, BODT merupakan usulan YPDT kepada Presiden RI, Prof. Dr. B.J Habibie pada pertengahan tahun 1999, sekaligus merespon ditutupnya Indorayon Inti Utama (IIU) dalam rangka membangun KDT dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat setempat. Saat itu, draft Perpres BODT pada tahun 1999, sudah dibahas dan hanya menunggu tandatangan Presiden Prof. Dr. B.J Habibie. Namun kelahiran Undang-Undang Pemerintahan Daerah atau yang kita kenal dengan Otonomi Daerah, menyebabkan terjadinya peningkatan egosentrisme pemerintahan daerah dan BODT kehilangan momentumnya.
BODT kembali didiskusikan pada 2013, ketika ketujuh Pemkab di KDT tampaknya tidak mau peduli tentang rencana pembangunan DT sebagai destinasi pariwisata. Keinginan YPDT agar DT dibangun dan Pemerintah membentuk semacam otorita yang menanganinya, kembali bergairah dan semakin menguat pada saat Pak Jokowi terpilih sebagai Presiden RI pada tahun 2014.
Nah, kembali pada kinerja BODT. Seingat kami YPDT sudah memberi masukan tertulis kepada Presiden RI pada tanggal 31 Maret 2017 Perihal Perkembangan (Progress) Penyusunan Rencana Induk dan Rencana Detail Pengembangan dan Pembangunan Kawasan Pariwisata Danau Toba. Surat tersebut ditembuskan kepada Menko Maritim, Menpar dan Badan Pelaksana BODT, sekalipun demikian surat YPDT tersebut, setahu saya, tidak pernah direspon oleh kedua kementerian itu sampai sekarang (seperti biasanya!). Dalam surat tersebut dijelaskan bahwa berdasarkan Perpres RI No 49/ 2016 tentang BOPKPDT, dijelaskan bahwa BOPKPDT akan mengelola seluruh kegiatan pariwisata DT melalui penyiapan Rencana Induk dan Rencana Detail Pengembangan dan Pembangunan Kawasan Pariwisata Danau Toba. Rencana Induk yang dimaksud untuk pengembangan dan pembangunan KDT sebagai kawasan pariwisata DT jangka waktu 25 tahun, periode 2016-2041, dan Rencana Detail Pengembangan dan Pembangunan 5 (lima) tahunan Kawasan Pariwisata Danau Toba. Rencana Induk dan Rencana Detail Pengembangan dimaksud diusulkan oleh Badan Pelaksana melalui Menpar untuk ditetapkan oleh Menko Maritim selaku Ketua Dewan Pengarah paling lambat 3 (tiga) bulan sejak Badan Pelaksana terbentuk (Pasal 20 ayat 1 dan 2). Namun dalam pengamatan kami di YPDT selama kurang-lebih 2 (dua) tahun lebih 5 (lima) bulan sejak dilantik, 30 November 2016, BODT tampaknya belum menunjukkan tanda-tanda memiliki Rencana Induk dan Rencana Detail Pengembangan dimaksud. Namun demikian, kenyataannya masyarakat belum mengetahui seperti apa konsep pembangunan yang direncanakan. Sebaliknya, pada Rabu, 3 April di Ajibata dan Kamis, 4 April 2019 di Sibisa, BODT justru menolak kehadiran warga masyarakat adat Sibisa dan mengusir warga masyarakat adat Sirait dari Bius Raja Paropat Sigapiton pada acara peresmian the Caldera-Toba Nomadic Escape. Kejadian yang dialami penduduk ini membuat sedih dan patut disesalkan, warga terusir di kampungnya sendiri. Termasuk pihak yang ditokohkan memberi sambutan justru bukan pemilik areal the Caldera-Toba Nomadic Escape, Sirait par-Sibisa. Bagi par-Sibisa, sangat memprihatinkan.
“Pendekatan top-down” semestinya sudah ditinggalkan pada era ini, era di mana hak rakyat dihargai secara patut. Bangunlah suasana kekeluargaan dalam semangat kemitraan. Pemerintah bertanggung-jawab mewujudkan masyarakat adil, makmur dan sejahtera. Itulah amanat Pancasila dan UUD Negara RI Tahun 1945! Di sisi lain Pemerintah mesti dengan sungguh-sungguh mengakui tanah milik komunal, milik komunitas adat. Tidak serta-merta Pemerintah memperlakukannya secara “tidak terhormat”. Ingatlah bahwa penerapan UUD1945 Pasal 32 dan Pasal 33 mesti dengan cerdas dan bijaksana.
Kami khawatir perlakuan oknum pejabat BODT justru mengurangi simpati masyarakat setempat kepada Pemerintah yang berdampak pada Pilpres yang sudah tinggal beberapa hari lagi.
Kurang lebihnya mohon maaf.
Jakarta, 8 April 2019
Salam Danau Toba,
Jerry Rudolf Sirait
Pengawas YPDT.