BERTENGKAR UNTUK HAL KECIL DAN TAK JELAS:KONTRA PRODUKTIF

0
573

Oleh: Weinata Sairin

_”Rixari de lana caprina. Bertengkar mengenai bulu domba”._

Kata “tengkar” yang kemudian membentuk kata “bertengkar” sudah lama sekali dikenal dalam kosa kata Bahasa Indonesia. Buku “Logat Kecil Bahasa Indonesia” yang disusun oleh WJS Poerwadarminta, dan diterbitkan oleh Penerbit JB Wolters, Groningen dan Djakarta tahun 1951 memberikan arti “bertengkar” itu “berbantah”. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kemudian lebih memperluas makna kata “bertengkar” itu tidak saja “berbantah”, tetapi juga “bercekcok”, “saling mengadu argumentasi”. Dibanding dengan kata “berantem/berhantam”, atau “berkelahi” maka kata “bertengkar” lebih terfokus pada tindakan “adu mulut” dengan suara yang biasanya keras, yang satu menyalahkan yang lain, pihak yang satunya terkadang memberi klarifikasi dan atau apologi, yang dalam kondisi pertengkaran yang sudah makin seru maka klarifikasi atau apologi itu tidak lagi memiliki makna.

Dari berbagai pengalaman, ternyata “bertengkar”itu bisa terjadi pada siapa saja, anak-anak, orang dewasa, pegawai pabrik, bahkan wakil rakyat juga. Ibarat film maka aktivitas atau tindakan bertengkar itu masuk dalam kategori “semua umur”. Anak-anak biasa bertengkar untuk hal-hal spele, misalnya seorang anak melihat bahwa layang-layangnya yang dengan susah.payah bisa naik tiba-tiba putus talinya dan layang-layang kemudian entah jatuh ketempat yang jauh. Ia kemudian langsung menuduh seorang anak yang ada di sekitar tempat itu yang membuat layang-layangnya putus karena benang layanng-layang sianak ini ditaburi pecahan beling sehingga tajam dan jika menyenggol benang layang-layang yang lain, bisa menyebabkan putus. Maka terjadilah pertengkaran ditempat itu. Sebuah pertengkaran jika tidak dilerai, di damaikan, dicari solusi bisa berujung pada perkelahian.

Murid-murid sekolah juga acapkali bertengkar karena kunci jawaban ulangan yang tidak dibagi secara “merata”. Orang dewasa pada level mahasiswa bisa juga bertengkar untuk soal-soal non akademis. Ada sebuah sekolah tinggi yang mahasiswanya tinggal di asrama karena mereka datang dari seluruh Indonesia. Pernah terjadi ada. pertengkaran hebat karena jatah makan malam seorang kawan ternyata sudah diambil oleh kawan lain karena dianggap mahasiwa yang tadi tidak ikut makan malam di ruang makan asrama, sudah makan malam ditempat lain.
Hal-hal teknis seperti ini bisa berulang kali terjadi karena situasi kehidupan asrama yang terkadang jarang menghadirkan suasana yang nyaman, yang _convenience_.

Baca juga  Sekjen Kemensos Bersama DPD GAMKI DKI Jakarta Dan Pemuda Mahasiswa Perantauan Sebar Bansos Bagi Keluarga Wartawan, Para Janda Dan Kaum Disabilitas Jabodetabek

Menurut tulisan seorang psikolog, pasangan suami istri yang relatif masih muda usia perkawinannya juga acapkali mengalami pertengkaran. Ada soal _trust_ disana, ada soal pengelolaan keuangan terutama jika suami istri sama-sama bekerja; namun ada juga soal kapan rencana mempunyai anak, berapa jumlahnya, berapa laki-laki berapa perempuan,; siapa nama sang anak; nanti melahirkan di RS mana. Ada banyak “isu-isu sensitif” dalam kehidupan suami istri(yang relatif muda) yang dihadapi, apalagi jika oma-opa ikut juga “berperan serta” dalam sebuah keluarga muda. Tapi sang psikolog mencatat pertengkaran-pertengkaran kecil dalam hidup suami istri itu pada case tertentu bisa melahirkan *kebaruan rasa cinta* diantara pasangan itu. Cekcok-cekcok kecil itu katanya bisa melahirkan gairah dan energi baru dalam meneruskan perjalanan rumah tangga.

Apakah tengkar dan cekcok tidak dialami oleh pasutri yang nyaris uzur? Oh bisa bertambah banyak daftarnya. Tapi isu tengkar dan cekcok pada pasutri yang katakanlah diatas 60 biasanya pada aspek _komunikasi_. Internet dan wifi bagi pasangan itu kehabisan kuota terus sehingga acap terjadi distorsi.

Misalnya sang suami bilang abc, istri menangkapnya sebagai cfm. Maka takada follow up apa-apa; disitu terjadi pertengkaran kecil. Realitas itu bisa diatasi jika percakapan dilakukan dengan suara keras dan jaraknya dekat. Atau masing-masing menyadari kelemahannya bahwa pertambahan usia *mengurangi* segalanya; kurang ini itu, termasuk kurang pendengaran. Dalam realitas itu spirit *kesalingan* harus makin kuat : saling bantu, saling memahami, saling menyadari, dan saling memuji. Dalam konteks ini perbedaan gender dalam melaksanakan pekerjaan tidak sepenuhnya berlaku. Suami bisa saja ia menanak nasi; istri bisa saja ia mengecek listrik yang padam karena sekringnya putus.

Pepatah yang dikutip diawal tulisan ini menyatakan “bertengkar mengenai bulu domba”. Artinya bertengkar tentang hal yang tak perlu. Dalam hidup ini kita.sebaiknya menjauhi pertengkaran, apalagi untuk mempertengkarkan hanya bulu domba. Jika ada hal makro dan strategis dalam kehidupan ini yang perlu diubah karena tidak sesuai dengan perkmbangan zaman maka dalam era demokrasi ada aturan yang jelas. Dalam rumah tangga juga ada aturannya dan ada etikanya. Jika dirumah tangga kita ada hal-hal yang perlu kita bicarakan demi kebaikan berrsama maka masuklah ke kamar, tutup.pintu dan kita selesaikan disitu dengan bertukar fikiran dan kemudian berdoa sesuai dengan agama dan kepercayaan kita. Jika kita mau agak mesra sedikit bolehlah kita bikin kaus, ya *kaus*. Kita sablon dengan kata-kata “Berdamai itu lebih indah dari pada bertengkar”. Apalagi bertengkar tentang hal kecil dan hal belum jelas, itu sesuatu yang kontra produktif. Pemenang suatu kontestasi, terutama para pendukungnya tidak usah mesti bertengkar, adu mulut. Tunggu pengumuman dari lembaga yang berwenang dan patuhi jadwal waktunya. Andai nanti ditengarai ada kecurangan, bawa bukti kecurangan itu dan tempuh mekanisme yang tersedia. Jangan menjadi hakim sendiri ; kita ini negara hukum!

Baca juga  EPHORUS HKBP PDT.DR.DARWIN LUMBANTOBING BERSILAHTURAHMI DENGAN GUBERNUR SUMATERA SELATAN

Selamat Berjuang. God bless.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here