Jakarta, Gramediapost.com
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyesalkan Putusan Mahkamah Agung RI nomor 547 K/Pid.Sus/2018, yang telah membatalkan putusan pengadilan tingkat pertama di Pengadilan
Negeri (PN) Mataram yang menyatakan BN bebas dari seluruh tuntutan dan
tidak bersalah melanggar Pasal 27 Ayat 1 juncto Pasal 45 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). BN seorang perempuan korban pelecehan seksual di Mataram, yang diduga dilakukan oleh H. Muslim, orang yang melaporkannya ke Polisi dengan tuduhan pelanggaran UU ITE. Jaksa Penuntut Umum pada kasus BN ini
mengajukan Kasasi terhadap putusan PN Mataram tersebut, dan oleh Majelis
Kasasi yang dipimpin Hakim Agung Sri Murwahyuni, pada 26 September 2018,
membatalkan Putusan PN Mataram dan menjatuhkan vonis hukuman enam bulan penjara kepada BN dan denda Rp 500 juta subsider tiga bulan kurungan.
Dalam pandangan Komnas Perempuan, putusan Mahkamah Agung ini telah tidak
sejalan dengan semangat Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Hakim mengadili Kasus Perempuan Berhadapan dengan Hukum (Perma 3/2017), yang mencoba untuk mengintegrasikan dimensi gender dalam proses pemeriksaan perkara di pengadilan. Pada Pasal 4 Perma 3/2017
disebutkan: “Dalam pemeriksaan perkara hakim agar mempertimbangkan
kesetaraan gender dan non diskriminasi, dengan mengidentifikasi fakta
persidangan: a) ketidaksetaraan status sosial antara para pihak berperkara; b) ketidaksetaraan perlindungan hukum yang berdampak pada akses keadilan; c) diskriminasi; d) dampak psikis yang dialami korban; e) ketidakberdayaan fisik dan psikis korban; f) relasi kuasa yang
mengakibatkan korban/saksi tidak berdaya; dan g) riwayat kekerasan dari
pelaku terhadap korban/saksi.
Catatan Tahunan Kekerasan terhadap Perempuan di Indonesia (CATAHU)
Komnas Perempuan 2017 menunjukkan 76% kekerasan terhadap perempuan di
Ranah Publik atau Komunitas adalah Kekerasan Seksual yang terdiri dari
kasus Pencabulan (911), Pelecehan Seksual (704) dan Perkosaan (699).
Tingginya angka pelecehan seksual ini belum diimbangi dengan perlindungan hukum yang memadai bagi korban. Tidak dikenalnya tindakan pelecehan seksual oleh KUHP (kecuali jika memenuhi unsur pencabulan),
telah menyebabkan banyak korban pelecehan seksual bungkam, atau jikapun kasus itu diungkapkan, hanya kepada orang-orang terdekat saja. Ungkapan kepada orang-orang terdekat ini, kerap digunakan oleh pelaku untuk
melaporkan korban ke Kepolisian dengan tuduhan pencemaran nama baik,
melanggar UU ITE, dll yang dalam ini perlu dilihat sebagai upaya ‘memindahkan’ pertanggungjawaban hukum pelaku pelecehan seksual, kepada korban dari tindakan pelecehan seksual itu sendiri. Pola ini terus
berulang, sehingga impunitas terhadap pelaku pelecehan seksual berjalan
bersamaan dengan dikriminalkannya para korban.
Atas kondisi itu Komnas Perempuan memberikan perhatian serius pada
pelecehan seksual yang dialami BN dan upayanya membela diri. Komnas
Perempuan telah memberikan keterangan sebagai Ahli dalam persidangan kasus ini di Pengadian Negeri (PN) Mataram, yang telah memutus bebas BN dari dakwaan melakukan pelanggaran UU ITE, yang saat ini telah dibatalkan oleh Mahkamah Agung.
Agar Putusan Mahkamah Agung RI terhadap kasus BN ini dapat menjadi
pembelajaran untuk kasus yang sama yang akan berulang ke depan, Komnas
Perempuan memberikan pandangan, antara lain:
1.Tindakan BN merekam kejadian sebagai upaya mandiri atas haknya
membuktikan dirinya mengalami pelecehan seksual (dalam ketimpangan
relasi kuasa), yang dalam hal ini dilakukan oleh Pelaku sebagai
atasannya (melanggar Pasal 294 KUHP) dan serius menunjukkan dirinya
tidak ada hubungan khusus dengan pelaku;
2.Pandangan Hakim Kasasi terhadap BN melanggar Pasal 27 ayat (1) UU ITE
dimana tindakan BN secara hukum dianggap memenuhi unsur sengaja dan
tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat
dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang
memiliki muatan yang melanggar kesusilaan, telah melanggar Filosofi UU
ITE. UU ITE disahkan guna menjawab tantangan digunakannya teknologi
untuk melakukan kejahatan. Sementara BN menggunakan teknologi untuk
membela dirinya dari kejahatan yang paling sulit dibuktikan dalam sistem
hukum di Indonesia. Dalam konteks ini ada ketidaksetaraan perlindungan
hukum yang berdampak pada akses keadilan BN;
3.Norma substansi pengaturan Pasal 27 ayat(1) jo. Pasal 45 ayat(1) UU
ITE merentankan perempuan korban pelecehan seksual untuk dikriminalkan,
akibat sistem hukum yang tidak mutahkir dalam mengupayakan perlindungan terhadap perempuan korban pelecehan seksual. Kerentanan perempuan
mengalami kriminalisasi sebanding dengan kerentanan menjadi korban
kekerasan seksual itu sendiri. Praktik perempuan korban harus
membuktikan dirinya mengalami kekerasan seksual membuat kecenderungan
mengadakan barang bukti melalui teknologi terus berlangsung;
4.Hukum formil belum mengakui teknologi sebagai salah satu alat bukti
yang sah dalam tindak pidana pelecehan seksual sehingga UU ITE tidak
layak digunakan dalam kasus yang penuh ketidakmutakhiran perlindungan
terhadap perempuan korban;
5.Pelecehan seksual yang dialami BN dalam sistem hukum belum ada
kemutakhiran sistem pembuktian, sehingga upaya menggunakan teknologi
merekam digunakan untuk melawan kejahatan itu sendiri. Perbuatan BN
merekam tindakan pelecehan seksual sebagai bentuk asusila sebagai hak BN
dalam mempertahankan harkat dan martabatnya sebagai manusia dan
perempuan.
Berdasarkan mandat Komnas Perempuan untuk memantau dan memberi saran dan
pertimbangan kepada Legislatif, Pemerintah dan Institusi Penegak Hukum
dalam upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan, maka Komnas
Perempuan merekomendasikan kepada :
1.Kepolisian RI secara aktif melakukan penyelidikan dan penyidikan atas
dugaan terjadinya tindak pidana melanggar Pasal 294 KUHP ayat (2) dalam
kasus BN, mengingat CD rekaman yang dapat dijadikan bukti kejahatan oleh
hakim kasasi diputuskan diserahkan kepada terduga pelaku kejahatan
(Pelapor) yang berpotensi menjauhkan akses keadilan bagi korban (BN);
2.Badan Pengawas MA R.I untuk melakukan pengawasan implementasi
Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili
Kasus Perempuan Berhadapan dengan Hukum;
3.DPR RI dan Pemerintah untuk segera membahas dan mengesahkan RUU
Penghapusan Kekerasan Seksual yang menjawab kebutuhan perempuan korban
kekerasan seksual dan mencegah tindakan kekerasan seksual berulang.
Kontak Narasumber:
Azriana, Ketua (0811672441)
Sri Nurherwati, Komisioner (081381448370)
Mariana Amiruddin, Komisioner (081210331189)
Irawati Harsono, Komisioner (081310722059)