Jakarta, Bumbu Desa Cikini, Senin 20 Agustus 2018
ForGes dan Lingkaran Jakarta bekerja sama menyelenggarakan Forum Filsafat CLARUS bertema Republik dan Kenegarawanan pada 20/8/2018 di Cikini, Jakarta. Forum tersebut menghadirkan narasumber Rm Setyo Wibowo [Dosen STF Driyarkara] dan Mochtar Pabottingi [Pakar Politik]. Hadir pula audiens dari berbagai kalangan peminat kajian filsafat.
Forum ini digelar sebagai suatu refleksi atas perkembangan terkini politik dan memeringati Hari Ulang Tahun Republik Indonesia ke-73. Dalam situasi hari ini, kita diliputi suatu keraguan besar tentang elan kenegarawanan para pemimpin, yang sebagian lebih kerap berlagak sebagai demagog ketimbang berlaku sebagai demokrat. Bagaimana menjelaskan temaramnya kenegarawanan dalam politik nasional?
Rm Setyo Wibowo menunjukkan bahwa politik demokratis itu mirip kapal yang diperebutkan kendalinya. Dalam pertarungan tersebut, rasio lebih sering diterkam kecenderungan kebinatangan yang berakar pada kepentingan-diri. Elite pun berlaku laksana pawang binatang, yang dalam tatanan non-demokratis mengerangkeng rakyat atau, sebaliknya, dalam tatanan kebebasan justru menjadikan rakyat sebagai mainan serupa binatang sirkus.
Kenegarawanan muncul bukan dari pemimpin yang mengharapkan imbalan uang atau yang mengejar kehormatan. Negarawan bersedia melayani sekaligus mendidik rakyat; dia tidak sekadar turut kehendak rakyat, melainkan berpandukan kebaikan bersama berusaha untuk meningkatkan kecerdasan politik rakyat agar negara dan kekuasaan dapat dikelola secara lebih rasional.
Mochtar Pabottingi memprihatini kemunduran-kemunduran politik yang terjadi sedikitnya dalam dua dekade terakhir. Aspek hikmat kebijaksanaan tampak absen dalam politik nasional; kita pun kehilangan tokoh panutan, teladan perilaku demokratis, dan bahkan kehilangan kesadaran akal budi. Demokrasi kontemporer dirusak oleh politisasi SARA dan permainan uang yang menggerogoti rezim Pemilu.
Kenegarawanan, yang dulu dipraktikkan oleh para pendiri negara dan nilai-nilainya dikonstruksi dalam konstitusi tampak ditinggalkan.
Kita membutuhkan suatu pembaruan politik, terutama melalui transformasi partai politik yang selama ini turut berkontribusi pada kemunduran politik dan surutnya kenegarawanan. Pada sisi lain, pencerdasan politik publik dapat memberi daya bagi partisipasi politik lebih cerdas; bukan sekadar cemooh terhadap lawan politik sebagaimana kerap kita dapati di media sosial.