Oleh: Jeannie Latumahina
Bangsa Indonesia sudah memasuki tahun pesta Demokrasi, baik untuk memilih Kepala Daerah, Caleg, maupun Presiden.
Sebetulnya sebagai sebuah pesta demokrasi, itu hal yang bagus. Masyarakat berkesempatan memilih pemimpin yang bagus dan berkualitas visi dan misinya.Pemimpin yang memiliki kemampuan untuk mewujudkan visi dan misinya menjadi kenyataan bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Akan menjadi celaka, sekaligus petaka, kalau dalam pesta Demokrasi tersebut masyarakat memilih pemimpin karena politik uang.
Jika hal itu yang terjadi maka membuat politik menjadi buruk.
Masyarakat akan muak dengan politik bahkan anti politik. Ini yang disebut depolitisasi. Kita akan sulit membangun kekuatan masyarakat sipil, kalau depolitisasi mewabah di masyarakat. Yang akan terjadi adalah Politik dan Pemerintahan dikuasai oleh para perampok dan pencuri berdasi berjemaah yang mengembangkan oligarki baru.
Hal ini sangat berbahaya.
Saat ini, Demokrasi yang bertumbuh kembang di Indonesia menghadapi tantangan yang sangat berat. Setidaknya, ada dua hal pokok yang menjadi tantangan itu.
Pertama
Rakyat melawan oligarki yang sudah lama bercokol dan menjadi penyakit di Indonesia sejak Orde baru.
Oligarki ini tumbuh dalam kondisi kapitalisme yang digerakkan negara. Karena kapitalis lokal Indonesia di era Orde Lama dan Orde Baru tidak kuat, bahkan tidak ada. Para kapitalis itu terbentuk karena patronase-klientelistik dengan pemerintah, terutama Orde Baru.
Patronase-klientelistik: adalah sistem hubungan kekuasaan di mana penguasa sebagai patron, dan para suporter teristimewa orang dekat sebagai klien.
Relasi mereka ditandai dengan distribusi materi entah berupa uang, sumber daya ataupun akses terhadap kekuasaan. Penguasa mendistribusikan itu ke kliennya, dan klien memberikan dukungan politik bagi penguasa/sang patron. Mereka saling melindungi dan saling menguntungkan.
Di sini, Orde Baru yang dikuasai militer menjadi pelindung utama bagi para kapitalis yang hidup karena kongkalikong dengan penguasa.
Segitiga inilah yang kemudian membentuk oligarki di Indonesia, mulai dari pusat hingga daerah.
Rakyat banyak dirugikan oleh oligarki ini.
Ketika rezim rakyat, dibawah kepemimpinan Presiden Jokowi, yang sekarang memerintah dan memangkas semua kekayaan dan akses para oligarki, maka mereka berontak melawan kekuasaan yang ada dengan segala macam cara dan berusaha merebutnya kembali.
Dalam demokrasi, memerintah (Political), pasti ada perbedaan kepentingan, ideologi dari banyak kelompok. Ada konflik antara kelompok berkuasa dengan oposisi. Tapi, oposisi TIDAK UNTUK DITAKLUKAN ATAU DIHILANGKAN. Karena kritik yang berkualitas bisa datang dari oposisi. (Meskipun di Indonesia hal ini tidak jalan).
Kedua
Beriringan dengan itu, agama juga dilibatkan.
Agama dipolitisasi sedemikian sehingga dasar negara republik Indonesia yang sekuler (tidak berdasarkan agama tertentu) hendak diganti dengan hukum agama tertentu.
Begitu banyak orang yang tidak paham apa akibatnya bila kekuasaan agama campur aduk dengan kekuasaan negara.
Padahal sejarah bangsa-bangsa di dunia yang kemudian menganut demokrasi modern lalu sejahtera telah mengajarkan kepada kita, konsep pemisahan yang tegas antara kekuasaan agama dan kekuasaan negara (politik) merupakan fundasi dasar demokrasi modern.
Ini berkembang di Eropa, sebagai hasil dari perjanjian Westphalia di Jerman barat yang mengakhiri perang 30 tahun antara Eropa Selatan (Jerman Selatan+barat, Perancis, Italia, Spanyol, Portugis) .
Dimana yang Katolik melawan Eropa Utara (Jerman Utara Belanda, dan negara” Skandinavia) yang Protestan.
Perang itu memakan korban yang sangat banyak dan terjadi dalam jangka waktu panjang.
Akarnya adalah ketika baik Paus maupun Kaisar di Roma berusaha untuk saling berebut pengaruh, keduanya ingin agar baik kekuasaan negara (Politik) maupun kekuasaan agama (Katolik) berada dalam satu tangan. Akibatnya, terjadi kongkalikong antara pejabat negara dan pejabat agama.
Perilaku koruptif dari keduanya dan jajaran di bawahnya sangat menyengsarakan rakyat Eropa. Muncullah kemudian Martin Luther sebagai pemimpin kelompok Protestan di Jerman yang mengkritik keras segala penyimpangan yang terjadi. Eropa pun terbelah menjadi kelompok Katolik (Selatan) dan Protestan (Utara), sehingga terjadi perang 30 tahun yang berakhir dengan perjanjian Westphalia itu.
Itulah sejarahnya, mengapa demokrasi modern memegang teguh pada prinsip pemisahan yang tegas antara kekuasaan negara dengan kekuasaan agama.
Prinsip negara demokrasi berbasis pada konstitusi yang sekuler merupakan fondasi bagi demokrasi modern.
Pancasila pun demikian. Pancasila merupakan konstitusi sekuler. Maksudnya: Ia tidak didasarkan atas hukum salah satu agama. Ajaran agama-agama hanya menjadi pedoman moral untuk konstitusi yang sekuler.
Di Indonesia, problemnya adalah banyak orang tidak paham tentang ini, karena mereka diajar untuk menghafal Pancasila dan lain-lain, tanpa memahami sejarahnya.
Generasi yang sekarang banyak menguasai lini pemerintahan dan lain- lain, dididik dengan metode hafalan yang berakibat pada gagal paham yang kronis.
Sangat sedikit dari mereka yang paham tentang sejarah filosofi dasar negara kita yang sekuler.
Akibatnya, ketika ada paham lain yang menyesatkan tentang dasar negara, mereka gampang dibodohi, ibarat kerbau dicocok hidungnya.
Hal ini berlaku pada pejabat negara bahkan intelektual sekelas profesor sekalipun.
Menyedihkan memang. Ini semua merupakan produk pendidikan pada satu masa yang suram yakni Era Orde Baru dan sedikit era reformasi.
Maka, pekerjaan rumah berat ke depan adalah memperbaiki konsep pendidikan kita yang penuh dengan hafalan menuju kepada pemahaman berdasarkan fakta sejarah atau cerita.
Berdasarkan itu, saya berpendapat: seorang guru yang bagus adalah seorang pencerita yang baik. Karakter dasarnya adalah story teller.
Para pelajar tidak disodorkan rumus/formula yang baku, tetapi diajarkan mengapa dan bagaimana rumus itu muncul.
Para pelajar Indonesia harus diajarkan tentang sebuah filosofi bukan dengan menyodorkan ajaran yang baku atau prinsip dasar yang fix, tetapi menyajikan cerita atau sejarah dari sesuatu itu atau tentang lahirnya prinsip” dasar negara misalnya.
Mengapa perlu belajar untuk paham berdasarkan cerita sejarah penting?
Karena tidak ada sesuatu pun di atas muka bumi ini yang terjadi begitu saja. Semua ada sejarahnya, ada ceritanya, ada awal mulanya. Dan dalam sejarah itu terlukis interaksi manusia orang per orang, kelompok dengan kelompok, bangsa dengan bangsa.
Dasar pemahaman filosofi yang lemah, maka
Energi bangsa ini terkuras oleh politik sektarianisme tanpa akhir.
Oleh sebab itu diperlukan sikap ketegasan dari pemerintah.
Pemerintah harus tegas membubarkan kelompok- kelompok intoleransi yang telah terang- terangan ingin melakukan makar .Atau dianggap sebagai kelompok teroris. Kelompok yang bertindak salah kaprah akibat kebodohan mengatas namakan agama, yang ingin menghancurkan Kebhinnekaan , yang selama ini dijaga dan dirawat bangsa Indonesia yang plural.
Kelompok yang bertindak anargis, memaksakan kehendak mengatas namakan agama.
Ketika agama dipakai untuk menebarkan kebencian, ketika agama ditangan manusia busuk berhati monster, agama bisa menjadi pedang pemecah belah, perusak perdamaian, pembunuh manusia yang tidak berdosa.
Bertindak bagaikan monter berwajah seram atas nama kesucian agamanya, terhadap pembenaran kekerasan, mantra sejati dan mujarab yang dipakai untuk mengalahkan kekuasaan dan sederet kejahatan kemanusiaan lainnya.
Kalau hal- hal diatas selalu terjadi pembiaran, maka sulit untuk merawat kebhinnekaan.
Apalagi kenyataan membuktikan ketika sekelompok orang telah memakai segala cara beragam untuk mencapai kemenangan kekuasaan dengan menggunakan intoleransi sebagai manteranya.
Ketika rakyat dengan mudah dibodohin, serta dengan mudah dapat dipengaruhi, maka sebenarnya mereka sudah melacurkan dan menghancurkan kekuatan kedaulatan rakyat Indonesia, sebagai yang empunya Republik ini.
Dengan demikian sangat jelas bahwa Merawat kebhinnekaan memerlukan sikap tegas pemerintah.
Apalagi kelompok- kelompok ini berupaya sekaligus merekayasa melemahkan kekuatan rakyat sebagai masyarakat sipil pemegang kedaulatan, mengatas namakan agama dengan segala macam strategi memecah belah, hasutan, ancaman, teror, kekerasan dan sebagainya.
Masyarakat Indonesia membutuhkan sikap tegas pemerintah. Satu kata, satu perbuatan.
Sebab tanpa satu kata, satu perbuatan pemerintah RI, untuk membubarkan kelompok intoleran apalagi sudah dianggap sebagai kelompok teroris, maka rekonsiliasi cuma sebatas musim pilkada atau pilpres, padahal dari hari ke hari, waktu ke waktu provokasi intoleransi terus terjadi
Menurut saya, cara penanggulangan jangka pendek adalah membubarkan organisasi terlarang tersebut dan tangkap orang- orang nya .
Cara jangka panjang adalah melalui pembenahan proses pendidikan di Indonesia.
Tentang bagaimana agar kekuasaan negara tidak dicampuradukkan dengan kekuasaan agama.
Titik pangkal segala kesesatan selama ini adalah banyak orang bodoh di Indonesia yang tidak mau belajar dari bangsa” lain sepanjang sejarah yang hancur lebur karena kesesatan pencampuradukan kekuasaan negara dan kekuasaan Agama.
Kediri 12 Juni 2018