Jakarta, Suarakristen.com
Setelah melalui riset selama enam bulan, akhirnya LAKPESDAM PWNU DKI Jakarta bekerjasama dengan Pusat Penguatan Otonomi Daerah (PPOD) menyampaikan hasil riset mengenai perilaku konsumsi minuman beralkohol remaja di Jabodetabek.
Kepala Departemen Peneliti LAKPESDAM PWNU DKI Jakarta, Abdul Wahid Hasyim menyatakan, penelitian tersebut dilakukan dengan melibatkan 327 responden remaja usia antara 12-21 tahun. Survei dilakukan pada bulan Februari – Maret 2017 melalui survei saintifik dengan mendasarkan penarikan sampel sesuai kaidah Probability Sampling dengan metode penarikan sampel acak sederhana.
Responden dipilih secara random bertingkat, pengacakan kecamatan, kelurahan, dan Rukun Tetangga (RT). Dengan tingkat kepercayaan 94.5 % dan margin of error 5.2 %.
Dari hasil riset tersebut, kata Wahid, ada temuan yang cukup menarik, yaitu adanya fenomena yang cukup memprihatinkan dari kebijakan pemerintah melalui Permendag No. 06/M-DAG/PER/1/2015 tentang Pengendalian dan Pengawasan Terhadap Pengadaan, Peredaran dan Penjualan Minuman Beralkohol.
Dalam Permendag No. 06/M-DAG/PER/1/2015 itu, pemerintah melarang penjualan minuman beralkohol golongan A di mini market dan toko pengecer lainnya. Namun demikian berdasarkan hasil riset ini, minuman alkohol golongan A semakin sulit diakses, tetapi berdampak pada peredaran minuman oplosan yang meningkat, yang justru dikonsumsi oleh anak-anak dibawah umur.
“Konsumsi alkohol oplosan terjadi karena mudahnya memperoleh minuman oplosan di pinggiran jalan, minuman beralkohol oplosan sangat mudah diperoleh dan tanpa pengendalian. Dari jumlah responden yang sering konsumsi alkohol, 71.5% responden mengaku membeli oplosan di warung jamu. Sisanya di warung kelontong 14.3%, dan melalui perantara 7.1%. Warung jamu menjadi pilihan utama responden dikarenakan warung jamu mudah diakses, jarang ada razia, dan ada hampir disetiap sudut jalan dan gang,” kata Abdul Wahid di Jakarta, Selasa 15 Agustus 2017.
Dari hasil riset yang dilakukan LAKPESDAM PWNU DKI Jakarta, lanjut Wahid, ternyata terdapat fenomena lainnya yang cukup mencengangkan, yaitu jumlah responden di bawah umur yang tetap mengkonsumsi minuman beralkohol oplosan ternyata cukup tinggi, yaitu 65.3%.
Hasil penelusuran di lapangan, kata Wahid hal itu terjadi karena informasi mengenai bahaya oplosan belum diterima dengan baik oleh masyarakat, termasuk juga edukasi dan informasi yang benar mengenai minuman beralkohol. “Ini yang sangat memprihatinkan. Padahal kebanyakan mereka yang mengkonsumsi minuman tersebut tergolong masih remaja, masih usia sekolah, baik yang sekolah di Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Atas,” ungkapnya.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua LAKPESDAM PWNU DKI Jakarta, kata Shodri, S.Hi mengatakan tata kelola atau regulasi tentang Minuman Beralkohol harus mendapat perhatian serius dari pemerintah. “Kalau kebijakan pemerintah berdampak pada maraknya peredaran serta semakin mudahnya minuman oplosan didapatkan di pinggir-pinggir jalan, saya kira ini adalah langkah yang sangat keliru dari pemerintah, ” kata Shodri.
Berdasarkan hasil riset yang dilakukan oleh LAKPESDAM PWNU DKI Jakarta, kata Shodri, pihaknya merekomendasikan beberapa hal kepada pemerintah dalam membuat kebijakan terkait pengendalian minuman beralkohol pemerintah harus fokus pada produksi, distribusi, dan pengawasan penjualan minuman beralkohol, bukan pelarangan total. Selain itu, minuman beralkohol juga wajib memenuhi standar kesehatan melalui registrasi BPOM.
“Karena itu tadi, kalau dilarang total berdampak pada konsumsi minuman oplosan. Dan itu lebih berbahaya,” tegasnya.
Tidak hanya itu, kata Shodri, pemerintah dan pelaku usaha wajib memberikan edukasi dan informasi yang jelas mengenai larangan konsumsi minuman beralkohol dibawah umur 21 tahun, serta bahaya konsumsi alkohol berlebihan.
Menurutnya, pemerintah dapat memberlakukan kontrol pembeli minuman beralkohol legal sesuai batas umur yang disyaratkan yaitu 21 tahun keatas. Pelaku usaha juga harus melakukan penjualan yang bertanggung jawab dengan melakukan pemeriksaan identitas setiap konsumen.
“Jadi seluruh stakeholder harus terlibat disini. Pemerintah bekerjasama dengan pelaku usaha, serta masyarakat wajib memberikan edukasi mengenai bahaya oplosan dan bahaya konsumsi minuman beralkohol dibawah 21 tahun, ” tutupnya.( Lelly)