Jakarta, Suarakristen.com
Pada tanggal 10 Juli 2017, Pemerintah telah mengundangkan PERPPU No 2 Tahun 2017 Tentang Perubahan atas UU No 17 tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Kami YLBHI dan 15 LBH Kantor se Indonesia telah mengikuti secara seksama dinamika penerbitan PERPPU sebagaimana dimaksud. Sepintas penerbitan PERPPU tersebut didasarkan pada suatu niat yang baik dimana Pemerintah akan memberikan perlindungan Hak Asasi Manusia bagi warga negara. Hal tersebut dapat dilihat dari uraian beberapa pasal yang termaktub dalam perpu tersebut.
1. Seolah akan melindungi warga negara dari tindakan-tindakan diskriminasi atas dasar Suku, Agama dan Ras sehingga Pemerintah dinilai telah memberikan perlindungan terhadap hak warga negara.
2. Negara seolah-olah hendak memberikan perlindungan terhadap hak warga negara dengan cara menjamin Rasa Aman, karena akan menindak Ormas-Ormas yangmelakukan tindakan-tindakan kekerasan dan dipandang mengganggu ketertiban umum.
3. Negara seolah-olah hendak memberikan perlindungan terhadap hak warga negara dengan cera menindak ormas-ormas yang mengambil alih tugas dan wewenang penegak hukum, seperti melakukan sweeping, pembubaran acara atau tindakan-tindakan main hakim sendiri (eigenrechting), bahkan persekusi.
4. Negara seolah-olah hendak memberikan perlindungan terhadap hak warga negara untuk beragama dengan menindak ormas yang dianggap melakukan penyalahgunaan, penistaan atau penodaan terahadap agama yang dianut di Indonesia.
5. Negara seolah-olah akan melindungi kedaulatan bangsa ini dengan cara menindak ormas-ormas yang melakukan kegiatan separatis.
6. Negara seolah-olah melindungi Dasar Negara Pancasila dengan menindak ormas-ormas yang menyebarkan ajaran atau paham yang bertentangan dengan pancasila.
Namun mengamati pasal-pasal yang terdapat didalamnya kami menemukan setidaknya 6 kesalahan PERPPU 2/2017:
1. Secara Prosedural penerbitan PERPPU tersebut tidak memenuhi 3 syarat sebagaimana dinyatakan dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam putusan No 38/PUU-VII/2009 yaitu adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang, Adanya kekosongan hukum karena UU yang dibutuhkan belum ada atau tidak memadai, dan kekosongan hukum tidak dapat diatasi dengan prosedur normal pembutan UU. Terakhir syarat tersebut tidak terpenuhi karena tidak ada situasi kekosongan hukum terkait prosedur penjatuhan sanksi terhadap ormas.
2. Kebebasan berserikat merupakan hak yang ada dalam Konstitusi dan berbagai UU yang harus dijamin dan dilindungi oleh Pemerintah. Perpu tersebut mengandung muatan pembatasan kebebasan untuk berserikat yang tidak legitimate. Pembatasan kebebasan berserikat hanya bisa dibatasi apabila diperlukan dalam masyarakat demokratis untuk kepentingan keamanan nasional dan keselamatan publik, ketertiban umum, perlindungan kesehatan dan moral umum, atau perlindungan atas hak dan kebebasan dari orang lain.
“Keamanan nasional” misalnya untuk melindungi keberadaan suatu bangsa atau keutuhan teritorialnya atau kemerdekaan politik melawan kekerasan atau ancaman kekerasan. Keamanan nasional misalnya tidak bisa diberlakukan dalam hal :
• Sebagai alasan untuk memberlakukan pembatasan untuk mencegah ancaman yang bersifat lokal atau relatif terisolasi kepada hukum dan ketertiban.
• Sebagai dalih untuk memberlakukan pembatasan yang kabur atau sewenang-wenang dan hanya bisa diberlakukan ketika terdapat perlindungan yang memadai dan pemulihan efektif untuk pelanggaran.
3. PERPPU sebagai mana dimaksud juga menegaskan arogansi negara karena mengabaikan serta meniadakan proses hukum dalam pembekuan kegiatan ormas.
4. PERPPU ini menambah ketentuan pidana yaitu “penistaan agama”. Istilah yang sebelumnya tidak dikenal baik dalam pasal 156a KUHP maupun UU 1/PNPS/1965 yang menjadi asal usul penodaan agama dalam pasal 156a KUHP
5. PERPPU ini melanggengkan pasal karet warisan zaman revolusi yaitu penyalahgunaan, penodaan terhadap agama yang telah memakan banyak sekali korban dengan tindakan yang berbeda-beda karena memang ketentuan ini tidak jelas definisinya. Padahal pasal penyalahgunaan dan penodaan agama selama ini sering digunakan oleh orang/kelompok intoleran atau radikal untuk menyeragamkan praktek keagamaan atau keyakinan.
6. PERPPU ini menambah berat pemidanaan penyalahgunaan dan penodaan agama dari maksimal 5 tahun menjadi seumur hidup atau paling sedikit 5 tahun dan paling lama 20 tahun.
Bahwa upaya negara menjaga kedaulatan Bangsa dan Falsafah Negara ini, harus dilakukan dengan cara-cara yang sesuai dengan prinsip negara hukum sebagaimana mandat Konstitusi. Cara-cara represif dalam sejarahnya telah menunjukkan tidak pernah berhasil mengubah keyakinan seseorang malah sebaliknya dapat membuat seseorang semakin keras meyakini sesuatu.
Kami juga meyakini pelanggaran suatu hak akan menimbulkan pelanggaran hak lainnya karena Hak Asasi Manusia memiliki keterkaitan antara hak yang satu dengan hak yang lain.
Atas Dasar itu, YLBHI dan 15 LBH Kantor se Indonesia *menyatakan protes yang sangat keras* atas diundangkannya Peraturan Presiden Pengganti Undang-Undang No 2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Undang-Undang No 17 tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan.
Jakarta 12 Juli 2017
CP :
*Asfinawati* (Ketua Umum Badan Pengurus YBHI) – 0812 821 8930
*Arip Yogiawan* (Ketua YLBHI Bidang Jaringan dan Kampanye) – 0812 1419 4445
Mustiqal Putra (Direktur LBH Banda Aceh)
Surya Adinata (Direktur LBH Medan)
Era Purnamasari (Direktur LBH Padang)
Aditya B Santoso (Direktur LBH Pekanbaru)
April Firdaus (Direktur LBH Palembang)
Alian (Direktur LBH Bandar Lampung)
Alghifari Aqsa (Direktur LBH Jakarta)
Willy Hanafi (Direktur LBH Bandung)
Hamzal Wahyudin (Direktur LBH Yogyakarta)
Zainal Arifin (Direktur LBH Semarang)
M Faiq Assiddiqi (Direktur LBH Surabaya)
Dewa Adnyana (Direktur LBH Bali)
Haswandi Andi Mas (Direktur LBH Makassar)
Hendra Baramuli (Direktur LBH Manado)
Simon Pattiradjawane (Direktur LBH Papua)