Oleh: Hotben Lingga
Jakarta, Suarakristen.com
“Orang-orang Indonesia terkenal di dunia sebagai orang-orang yang ramah. Kendati Indonesia terdiri dari beragam suku, etnis dan agama, namun relasi-relasi di antara mereka selalu baik. Bahkan orang bisa berbicara mengenai kerukunan otentik di antara masyarakat Indonesia yang sangat beranekaragam itu.
Namun tiba-tiba orang-orang Indonesia mengalami berbagai gejala radikalisasi di dalam masyarakatnya. Kapan persisnya gejala-gejala ini muncul, dan bagaimana proses radikalisasi itu mengalami peningkatan, tentu tidak terlalu mudah menentukannya. Namun dapat diduga bahwa proses menjadi radikal ini telah berlangsung lama, setidak-tidaknya melalui berbagai ceramah dan media lainnya. Dalam sebuah film berjudul Mata Tertutup yang diproduksi oleh Maarif Institute kita menyaksikan bagaimana orang-orang muda menjadi sasaran proses radikalisasi itu. Kepada mereka ditanamkan ideologi Negara Indonesia Bersyariah. Ada pendekatan-pendekatan yang sangat intens dengan berbagai cara. Begitu intensifnya pendekatan dan proses “cuci otak” itu sehingga bahkan orang tua sendiripun bisa dibenci. Ditanamkan juga pandangan bahwa mengambil barang-barang berharga milik orang tua tidak dapat dianggap sebagai mencuri asal saja diperuntukkan bagi perjuangan. Film ini memang berakhir dengan dua versi solusi: ada yang meneruskan perjuangan tersebut dengan meledakkan diri dalam sebuah usaha menyebarkan teror; dan pada sebelah lain, ada juga yang insyaf dan kemudian kembali lagi ke orangtua dan masyarakat.
Saya kira film ini bagus untuk ditayangkan terutama di lembaga-lembaga pendidikan guna menegaskan bahwa orang-orang muda dapat menjadi sasaran empuk bagi meluasnya ideologi radikal ini. Pada tahun 2000 terjadi rentetan peledakan bom di Jakarta dan di beberapa tempat lain di Indonesia. Bom-bom itu dikenal dengan “Bom Natal” sebab terjadi menjelang perayaan Natal. Ini tentu sangat mengejutkan dan “spektakuler” kendati sebelumnya telah terjadi juga berbagai ketegangan SARA (Ambon, Poso, Halmahera, dan lain-lain). Rupanya “Bom Natal” itu adalah permulaaan dari rentetan bom yang berturut-turut terjadi kemudian: bom Bali, bom Poso, bom Mariott, dan seterusnya. Yang terakhir terjadi adalah di era pemerintahan Presiden Jokowi, disebut “bom Thamrin”. Rentetan bom-bom ini patut dicatat sebab proses radikalisasi sekarang tidak hanya terungkap melalui kata-kata, tetapi juga secara fisik. Ini mengejutkan bagi bangsa Indonesia yang terkenal ramah itu. Ada apa sebenarnya? Dari pengungkapan Amrozi c.s. (pelaku bom Bali) di depan Pengadilan terlihat bahwa mereka tidak mempunyai permusuhan pribadi dengan orang-orang Amerika, Australia, dan lain-lain yang menjadi korban bom mereka. Namun mereka merasa perlu meledakkan bom tersebut untuk memperoleh efek yang besar tentang tuntutan-tuntutan mereka. Jelas ada ideologi di belakang dari peledakan bom-bom tersebut.”demikian disampaikan Pdt. Andreas A. Yewangoe dalam Seminar Kebangsaan “Merawat Kemajemukan Dalam Bingkai NKRI” yang diselenggarakan oleh Universitas Kristen Indonesia (UKI) Jakarta, di Auditorium Grha William Soeryadjaya. (5/4/17).
Tegas Pdt. Yewangoe yang pernah menjadi Ketua Umum PGI ini,”Yenny Wahid, Direktur Wahid Institute baru-baru ini menyatakan bahwa ada kurang lebih 11 juta orang Indonesia yang siap menjadi radikalis. Ini tentu saja sangat mengejutkan, tetapi bukannya tanpa dasar. Alasannya adalah, ada sekian ribu orang Indonesia yang dalam beberapa tahun ini menggabungkan diri dengan ISIS, sebuah gerakan radikal spektakuler yang beroperasi di Irak dan Siria. Gerakan ini bertujuan mendirikan khilafah yang meliputi seluruh dunia mengikuti model abad ke-6 Masehi. Sebagaimana kita ketahui, gerakan ini telah menduduki sebahagian wilayah Irak dan Siria dan menguasai beberapa sumber minyak.
Ketika gerakan ini mendapat gempuran dari tentara Rusia dan Turki, Irak, Siria dan dibantu oleh serangan udara Amerika Serikat, mereka kocar-kacir. Banyak yang kembali ke negeri masing-masing, termasuk Indonesia. Kalau sinyalemen ini benar dan apabila tidak ada tindakan pencegahan signifikan dari Pemerintah Indonesia untuk melakukan de-radikalisasi, maka tentu saja dengan jumlah sebanyak itu akan sangat menguatirkan. Penduduk Indonesia berjumlah kurang-lebih 230 juta jiwa. 11 juta di antaranya yang potensial radikal tentulah bukan jumlah yang sedikit.”
Papar Pdt. Yewangoe lebih lanjut,”Baru-baru ini Presiden Jokowi di depan upacara pelantikan fungsionaris Partai Hanura menyatakan, demokrasi yang diterapkan di Indonesia sekarang ini telah kebablasan. Hal itu terlihat dalam makin suburnya sektarianisme, fundamentalisme, dan radikalisme. Sinyalemen Presiden ini makin menguatkan anggapan bahwa radikalisme memang adalah bahaya nyata yang dihadapi bangsa Indonesia. Presiden berkata mengenai penegakan hukum guna menghapus kecenderungan radikalisme tersebut, adalah tugas bersama bangsa Indonesia untuk meletakkan kembali demokrasi di atas relnya yang benar. Yang harus dilakukan adalah meneruskan proses de-radikalisasi. Sebenarnya program ini telah dikatakan dan dilaksanakan beberapa tahun lalu. Namun dianggap belum berhasil bahkan gagal. Salah satu sebabnya adalah, karena tidak seluruh komponen masyarakat berpartisipasi di dalamnya. Program de-radikalisasi hanya dianggap sebagai tugas polisi.”
Menurut Yewange, ada tujuh langkah bagaimana partisipasi masyarakat bisa membantu program deradikalisasi:
Pertama-tama melalui dunia pendidikan, yaitu menanamkan keyakinan bahwa berbeda-beda itu bukanlah kejahatan. Demikian juga tuntutan keadilan tidak usah harus dilakukan dengan kekerasan. Berlaku adil harus mulai dari diri sendiri.
Kedua, pendidikan agama yang lebih menekankan penghormatan terhadap kehidupan harus digiatkan. Pastilah kehidupan di dunia ini fana dan tidak kekal, tetapi hal itu tidak berarti bahwa kehidupan masa kini tidak berarti. Tuhan memberi amanat kepada kita untuk mengisi kehidupan kita dengan hal-hal yang bermakna.
Ketiga, dalam kaitan dengan pendidikan agama, usahakanlah untuk tidak menafsir ayat-ayat Kitab Suci secara literer-tekstual, tetapi kontekstual. Artinya, kendati Firman itu diyakini sebagai berasal dari Tuhan, tetapi ia tidak disampaikan dalam ruang hampa. Ada konteks budaya (termasuk bahasa dan world view) yang menyekitarinya dan yang mengkondisikannya.
Keempat, karena tuntutan kaum radikal adalah keadilan, maka Pemerintah harus memperlihatan komitmen yang tinggi mewujudkan keadilan itu di dalam segala aspeknya.
Kelima, secara ideologis, khusus dalam konteks Indonesia, perlu diyakinkan
bahwa Pancasila telah membuktikan kemampuannya untuk menghargai dan
memelihara keragaman bangsa ini. Upaya untuk menggantikan Pancasila dengan ideologi lain pasti akan meruntuhkan bangsa ini. Pancasila adalah kesepakatan bersama bangsa ini yang di atasnya Negara Kebangsaan Indonesia didirikan.
Keenam, para pendiri Republik ini sangat arif dan visioner untuk memilih “Negara Kebangsaan” (Republik) sebagai bentuk negara, dan bukan “Kerajaan” atau “Negara Agama”. Kalau diubah sudah pasti akan menimbulkan goncangan-goncangan, bahkan keruntuhan.
Ketujuh, mendukung Presiden yang menegaskan bahwa hukum harus ditegakkan, juga terhadap mereka yang cenderung bertindak radikal.”
Hadir sebagai Pembicara yang kedua dalam seminar tersebut adalah Romo Benny Susetyo (Sekretaris Dewan Nasional SETARA).
Menurut Romo Benny Susetyo,”Semangat Pluralisme (Keberagaman), harmoni sosial, gotong-royong dan toleransi dari dulu sudah merupakan spirit nusantara.Spirit itu adalah fondasi filosofis kebangsaan Indonesia. Karena itu, spirit itu harus tetap kita pelihara, pupuk dan kembangkan sebagai modal kehidupan sosial untuk membangun dan memajukan bangsa kita.Kemajemukan dan Toleransi merupakan harga mati bagi eksistensi NKRI.”
Seminar Kebangsaan yang diselenggarakan oleh Universitas Kristen Indonesia ini diikuti sekitar 400 orang mahasiswa, dosen dan aktivis dari pelbagai organisasi HAM, cendekiawan, agama dan perguruan tinggi.