Negara Terlalu Mengatur Kehidupan Pribadi Warga

0
518

Jakarta, Suarakristen.com

 

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menempatkan Provinsi Jawa Barat di urutan teratas daftar daerah dengan jumlah pengaduan kasus intoleransi hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan tertinggi di Indonesia.

 

“Daerah yang menempati ranking pertama seperti tahun-tahun sebelumnya adalah Jawa Barat. Angkanya ada 21 pengaduan, disusul DKI Jakarta angkanya itu 19 pengaduan,” kata Koordinator bidang Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan Komnas HAM Djayadi Damanik awal bulan Januari 2017 ini.

 

Maraknya pengaduan kasus intoleransi hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan ini tidak lepas dari peran negara yang berlebihan mengatur kehidupan pribadi warganya. Negara disusupi kepentingan politik dan kelompok tertentu yang intoleran.

 

Pada sisi lain, media massa yang seharusnya mewakili kepentingan publik secara imparsial dan independen, kerap melupakan suara-suara mereka yang jadi korban dalam isu tersebut. Makanya tidak semua korban mau menyampaikan pandangannya. Kebebasan berekspresi merupakan hak asasi manusia.

 

Represi atas kebebasan berekspresi warga adalah ancaman bagi kebebasan pers dan fungsi pers untuk mengembangkan pendapat umum.

 

Kebebasan pers membutuhkan kebebasan warga untuk menyatakan pendapatnya kepada pers. Seperti diatur dalam UU Nomor 40 Tahun 1999, pers nasional dimandatkan untuk mengembangkan pendapat umum. 

 

Tingginya konflik intorelansi kebebasan beragama dan berkeyakinan di Jawa Barat terjadi bukan hanya karena faktor munculnya sekelompok agama mayoritas dan agama minoritas. Minimnya informasi yang diterima oleh masyarakat terkait isu tersebut juga menjadi salah satu faktor.

 

Pemberitaan tentang isu kebebasan beragama dan berkeyakinan juga kerap timpang. Mayoritas, media hanya menyiarkan informasi melalui sudut pandang para kelompok intoleran, meninggalkan sudut pandang dari kelompok toleran, bahkan korban.

Baca juga  Pospam Ops Lilin Jaya-2021 Pulau Tidung Mendapat Kunjungan Menko PMK RI

 

Kejadian terkini terkait represi atas kebebasan tersebut adalah pembubaran paksa Pekan Olahraga dan Seni (Porseni) Waria-Bissu se-Sulawesi Selatan. Padahal kegiatan ini sudah menjadi kegiatan tahunan Forum Kerukunan Waria-Bissu Sulawesi Selatan. Kegiatan ini sudah digelar untuk yang ke-23 kalinya.

 

Karena kondisi itu, kami para peserta FGD Literasi Media:  Memahami dan Memproduksi Informasi Ramah Keberagaman Jawa Barat yang datang dari berbagai latar belakang menyatakan:

 

1. Mengutuk tindakan kepolisian yang membubarkan Porseni Waria Bissu se-Sulawesi Selatan dan mendesak adanya proses hukum bagi pelaku pembubaran.

2.Media harus berani memberikan ruang informasi yang seimbang pada isu-isu diskriminasi, juga mengkritisi regulasi yang diskriminatif.

3.Media diminta berpihak kepada keberagaman.

4. Media juga memberi akses seluas-luasnya kepada korban diskriminasi dan kelompok rentan.

5. Mempertanyakan surat edaran wali kota tentang pelaksanaan gerakan shalat subuh berjamaah, karena menunjukkan adanya intervensi negara terhadap hak pribadi, hak untuk melaksanakan ibadah menurut kepercayaannya masing-masing. Dikhawatirkan surat edaran tadi akan ditiru atau menjadi contoh daerah lain, karena khawatir akan menjadi alat untuk memberi stigma moral kepada kelompok masyarakat yang tidak terlibat, juga dikhawatirkan akan menjadi alat pemaksaan oleh elemen masyarakat tertentu.

 

Bandung, 20 Januari 2017

 

1.       LBH Bandung

2.       GP Ansor

3.       AJI Bandung

4.       Firmansyah

5.       Ardhany Suryadarma

6.       Ade Mahmudin

7.       Abbe

8.       Mimih

9.       Irma Riana S

10.    Inri Sianturi

11.    Selva

12.    Luvhi

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here