Oleh: Weinata Sairin
Dalam sebuah peradaban yang makin maju maka ekspresi kedirian manusia tidak berada dalam lorong liar. Lorong yang didalamnya manusia memiliki kebebasan penuh untuk mengumbar hasrat, menyuarakan kata-kata demonis-arkhais dan melakukan segala sesuatu mengikuti insting yang ada padanya. Manusia dengan budaya dan peradaban yang makin tinggi secara definitive dan legitim memiliki kadar keberbedaan yang amat signifikan dengan binatang. Manusia hidup dalam bingkai, frame, koridor kepantasan, kepatutan, kelayakan, koridor etik.
Manusia bukan saja amat tak pantas untuk melakukan berbagai tindakan seperti binatang, bahkan menyebut nama-nama binatang dan menujukannya kepada orang lain adalah sebuah penghinaan yang bisa berujung pidana. Acap kali secara tak sadar seseorang bisa mengumpat dengan mengucapkan kata-kata binatang kepada orang lain. Kata-kata melecehkan atau mengumpat dengan menggunakan nama binatang bisa terjadi dijalan raya atau juga ditempat-tempat aksi demonstrasi massa.
Ungkapan ‘pembinatangan’ bisa terjadi karena meluapnya kemarahan, tapi bisa juga terjadi secara sengaja untuk kepentingan politik. Pada manusia dimensi etik memang menjadi amat penting karena aspek etik itulah yang menjadi unsur pembeda antara manusia dan binatang. Dan dalam konteks etik itulah kata-kata, sikap dan perbuatan seseorang seringkali dijadikan ukuran untuk menilai pribadi seseorang.
Semua agama menempatkan manusia sebagai titik sentral dalam kehidupan dan memposisikan manusia sebagai makhluk ciptaan Allah yang paling mulia. Dalam kapasitas itu manusia menjadi imago dei dan chalifah Allah dibumi demi hadirnya dunia yang lebih damai, sejahtera dan berkeadilan. Pepatah kita memberi peringatan cerdas tentang beda signifikan kepantasan manusia dan kepantasan binatang!
Mari wujudkan perdamaian dalam sejarah.
Selamat berjuang. God bless.