Oleh: Olavio Lutherson PL.
Jakarta, Suarakristen.Com.,
“Indonesia saat ini masih sedang dalam pusaran dan situasi krisis multi-dimensi yang cukup mengkawatirkan di antaranya; masalah lilitan kemiskinan, pengangguran, persoalan penegakan hukum, pemberantasan korupsi, terorisme, narkoba, ketidakadilan sosial dan problem kebebasan beragama.
Didalam konteks mengelola problematika-problematika dan dinamika-dinamika sosial budaya, politik dan lain-lain dan urgensi untuk menciptakan perubahan (reformasi dan transformasi), maka disinilah pentingnya dicari dan dilahirkan pemimpin-pemimpin (baru) yang memahami strategi-strategi untuk menciptakan transformasi baru dan besar.
Langkah dan strategi pertama seorang pemimpin bangsa dan masyarakat adalah strategi dalam membangun good-governance dan good-leadership seperti yang sedang dibangun oleh Presiden Jokowi, Gubernur DKI Jakarta, Ahok dan beberapa pemimpin daerah yang lain yang sudah mulai tampil. Strategi ini sangat urgensi dalam membangun Indonesia yang lebih maju, adil, makmur dan sejahtera ke depan.
Negara Indonesia yang besar ini tidak boleh dibiarkan hancur oleh praktek mismanajemen dan penyalahgunaan kekuasaan oleh segelintir orang, elit. Indonesia tidak layak dipimpin oleh mereka yang tidak cakap memimpin, tidak bersih, tidak bisa menjadi teladan, dan tidak berintegritas apalagi nir-nasionalis. Inilah pokok permasalahannya, jikalau kita bicara strategi, kita bicara cetak biru atau garis haluan yang diikuti untuk menggodok calon pemimpin nasional yang berjiwa transformatif dan revolusioner.”demikian disampaikan Ir.Leo Nababan, selaku “Keynote Speaker” dalam Seminar Nasional “Strategi Kepemimpinan Membangun Indonesia Baru” yang diselenggarakan oleh Pusat Kajian Otonomi Daerah FISIPOL UKI bekerjasama dengan Persatuan Cendekiawan Protestan Indonesia (PCPI) dan Yayasan Komunikasi Indonesia (YKI).
Tegas Leo Nababan,”Pemimpin-pemimpin baru harus kita lahirkan untuk menjawab tantangan yang ada. Kita perlu pemimpin-pemimpin (baru) yang bisa menciptakan perubahan dan revolusi mental.”
“Disinilah pentingnya integritas dari seorang pemimpin dan politisi. Memang tergantung pemimpinnya mau dibawa kemana politik (kekuasaan) kebijakan itu.”ungkap Leo Nababan dengan penuh antusias.
Harap Leo Nababan “Karenanya, Gereja-gereja mesti lebih banyak berkontribusi dan berpartisipasi dalam pembangunan nasional. Itu artinya aras-aras Gereja harus turut berperan dalam mempersiapkan kader-kadernya.”
Paper Leo Nababan lebih lanjut,”Sebagai anak bangsa yang notabene umat Kristen di Indonesia, kita harus terus berjuang tampil elegan. Menunjukkan karya nyata yang bisa kita sumbangkan untuk kemaslahatan bangsa. Berjuang dalam arti bahu-membahu membangun sikap mental perubahan yang lebih baik. Tentu kita setuju dengan “revolusi mental” yang disuarakan pemerintah sekarang ini.
Tetapi lebih dari itu seluruh warga harus juga dibangunkan sikap mental berjiwa nasional, Pancasilais. Pancasila sudah menjadi dasar kita menghormati keberagaman, toleransi antarumat beragama. Bahwa cita-cita perjuangan kita tentu agar kelima sila Pancasila bisa benar-benar diwujudnyatakan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dan, benar pemerintah juga mesti jelas membuat patron-patron sebagai haluan dalam berbangsa dan bernegara.”
Ulas Leo Nababan lagi,”Maka bagi saya ada tiga pertanyaan yang menyeruak. Pertama, bagaimana kita mengkaji problem-problem kepemimpinan dan kebangsaan kontemporer dan krisis-krisis multidimensi yang masih menyandera. Kedua, apa yang mesti dilakukan untuk menggugah kembali peran Gereja dan civil society dalam membangun, mengawasi dan mengkritisi pelaksanaan good-governance.
Ketiga, bagaimana kita mencari solusi dan strategi untuk merevitalisasi Gereja dan civil society sebagai kekuatan penyeimbang. Jawaban saya dalam orasi politik ini paling tidak, pertama; bagi saya masih banyak anak-anak bangsa, termasuk warga gereja yang baik, hanya kesadaran mereka yang mesti digugah untuk aktif. Itu sebab ada ungkapan yang mengatakan, “orang baik yang membiarkan terjadi kejahatan, karena tak mau melibatkan diri dan itu sebenarnya sama dengan melanggengkan kejahatan.”
Saya kutip ucapan Menteri Kebudayaan, Pendidikan Dasar dan Menengah, Anis Baswedan yang mengatakan, “Marak kejahatan bukan karena banyaknya orang jahat, tapi karena banyaknya orang baik yang berdiam diri.” Karena itu, bagi saya, Gereja dalam hal ini mesti terus-menerus menyuarakan suara kenabiaannya untuk memberi pemahaman yang utuh bagi jemaat atau umat yang terjun sebagai politisi. Sebab kita tahu bersama bahwa seluruh konstitusi yang ada itu di negeri ini disusun oleh kekuatan politik, para politisi. Kalau kita tak melek politik, apalagi tak berkontribusi di politik bagaimana kita membawa pengaruh bagi bangsa ini?
Seluruh komponen bangsa dan masyarakat harus selalu bersinergi, bergotong-royong dalam membangun Indonesia baru. Termasuk peran dari lembaga keagamaan, seperti Gereja. Tetapi tentu porsi dan perannya berbeda-beda.
Saya lebih setuju Gereja sifatnya menjadi persamaian calon-calon pemimpin. Di gerejalah calon-calon politisi Kristen itu dilatih mental dan sikap kepemimpinannya. Oleh karena itu Gereja mesti memberi dirinya menjadi ladang persamaian dari bibit-bibit calon pemimpin. Salah satu masalah kita juga dalam kepemimpinan, karena tak berjalannya kaderisasi dengan baik di semua lini, akibatnya para pemimpin yang ada terus itu-itu saja.
Selama ini Gereja terlalu terkooptasi hanya memikirkan soal-soal sorga, tanpa pernah terlibat memahami kehidupan sosial yang ada. Bagi saya, problematika generasi muda-mudi masa kini adalah kurangnya pemahaman wawasan kebangsaan sebagai calon pemimpin. Lalu, bagaimana caranya agar pemuda gereja itu bisa melek politik? Tentu, memberi pencerahan misalnya; memahamkan remaja dan pemuda bagaimana berpolitik etis. Disinilah peran pemimpin gereja bisa memanfaatkan para politisi Kristen yang sudah senior membekali junior mereka yang baru terjun ke politik.
Kedua, menurut saya kita menggugah spirit sinergi, persaudaraan. Prof. Dr. Paulus Wirutomo, MSc mengingat hal ini, bahwa inti dari kualitas “civil society” yang dimaksud pernyataan keras itu adalah untuk menggugah kesadaran kebangsaan. Hal itu pula yang terjadi dalam reformasi kita. Semua golongan mabuk kebebasan sementara “semangat persaudaraan” sebagai bangsa justru makin terpuruk dan akibatnya “persamaan” dan keadilan dalam bentuk apapun tak tergapai. Artinya perimbangan antara kesadaran akan hak individu dengan kewajibannya pada orang lain. Oleh karena itu, masih menurut Prof. Dr. Paulus Wirutomo, MSc mengatakan, bahwa konsep civil society bersifat dinamis, artinya merupakan suatu gerakan sosial dimana warga negara secara terus menerus perlu menyelaraskan antara hak dan kewajiban.”
Sementara itu, Nolly Rodus V.C Telaumbanua,M.IP., dosen Fisipol UKI, dalam presentasinya yang berjudul,”Membangun Indonesia Baru dengan Revitalisasi Paradigma Pancasila, menegaskan,”Inti dari pembangunan nasional bukan sekedar pertumbuhan ekonomi, tetapi lebih dari itu, terjadinya pemerataan kesejahteraan sebagai hasil dari pembangunan yang dapat dinikmati oleh seluruh elemen bangsa tanpa terkecuali. Namun, tentu saja ini menjadi dilema yang tidak dapat terhindari dimana tidak semua negara dalam upaya pembangunan nasional mampu melakukan pembangunan sekaligus mendistribusikan hasil pembangunan secara merata. Sebab letak permasalahan dari kegagalan dalam pemabangunan terletak pada pemusatan pada kepentingan modal yang cenderung akan menimbulkan struktur-struktur yang tidak adil.
Pancasila dalam Sila Kelima : Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, jelas secara tertulis Pancasila mengamanatkan agar dalam bernegara tidak hanya pembangunan secara fisik yang diutamakan tetapi turut pula menyertakan pembangunan manusia Indonesia yang berkeadilan. Sila kelima ini di tunjang oleh Pasal 33 UUD 1945. Pasal itu memuat dua ketentuan yang amat penting :
Suatu pembatasan hak milik pribadi secara mutlak terhadap alat-alat produksi.
Suatu penetapan tujuan dan tanggung jawab ekonomi yang harus dijamin oleh negara, sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Problematika keadilan sosial, merupakan permasalahan serius yang tidak dapat dipandang ringan. Perbaikan terhadap kondisi kesejahteraan yang buruk di beberapa wilayah di Indonesia harus dimulai dari sekarang. Para pendiri bangsa telah meletakkan kehendak politik yang kuat untuk mewujudkan kesejahteraan umum. Mereka menyadari bahwa Indonesia memiliki sumber daya alam yang sangat besar yang harus dinikmati oleh seluruh manusia Indonesia. Hanya saja, seiring dengan perjalanan republik kerap sekali upaya untuk mencapai kesejahteraan umum tersandera kepentingan-kepentingan tertentu yang mengatasi kedaulatan rakyat.
Menurut hemat saya, sudah sewajarnya jika di era Orde Reformasi ini kita menilik kembali, membaca secara terbalik Pancasila dengan dimulai dari Sila Kelima. Lalu memunculkan suatu pertanyaan dalam benak kita, apakah hasil pembangunan nasional telah dinikmati secara adil dan merata di seluruh wilayah Indonesia? Apakah orang Papua, Mentawai, NTT, dan lainnya sudah menikmati hasil pembangunan yang sama seperti yang kini kita temui di Jakarta? Satu hal yang saya apresiasi terhadap agenda politik pembangunan penyelenggara negara saat ini, dimana wajah kita yang terlalu lama memalingkan diri dari maritim kembali dihadapkan kepada laut yang menghidupi nenek moyang bangsa Indonesia, serta ide pembangunan nasional dari pinggir Indonesia membuka mata kita bahwa daerah-daerah yang jauh dari pusat kekuasaan kerap sekali tidak dapat menikmati pembangunan nasional, bahkan “remah-remah” dari hasil pembangunan nasional pun tidak.
Saya kira, tingkat minimum dari keadilan sosial harus diperhatikan secara seksama oleh setiap elemen masyarakat. Keadilan sekurang-kurangnya menuntut agar diubah struktur-struktur yang memaksa seseorang untuk tetap miskin dan yang membuatnya sedemikian tidak berdaya sehingga ia menjadi korban dari segala macam penindasan. Melalui penghapusan kemiskinan struktural tersebut yang pertama dan utama untuk mengubah kondisi masyarakat. Terakhir, meletakkan kembali Pancasila sebagai haluan pembangunan nasional menuju Indonesia Baru. Tidak cukup dengan kesadaran dan pengakuan terhadap Pancasila semata, akan tetapi harus diikuti dengan acuan nilai dan pola tindakan yang terwujud dalam hukum, peraturan kebijakan, dan terutama sikap dan tindakan dari penyelenggara negara (aparatur negara).
Bagi Indonesia, pelaksanaan pembangunan nasional merupakan usaha bersama sebagai bangsa yang terus-menerus diupayakan. Dalam semangat Indonesia Raya, pembangunan nasional diarahkan untuk mewujudkan kesejahteraan umum yang berkeadilan. Esensi kesejahteraan umum muncul dan mengakar kuat di dalam landasan idiologi negara, Pancasila. Pancasila hadir sebagai representasi dari warisan keluhuran nilai-nilai budaya, adat-istiadat, dan cara hidup (way of life) bangsa Indonesia. Cara hidup sebagai bangsa Indonesia merupakan suatu identitas yang tidak terlepas dari dimensi kemanusiaan yang berelasi dengan alam (nature) dan kondisi sosial (nurture) di sekitarnya. Dengan demikian, individu politik sebagai manusia Indonesia yang mengakar, tumbuh, dan berkembang serta memajukan diri dengan mengupayakan pembangunan nasional melalui kearifan-kearifaan lokalnya. Kearifaan-kearifaan lokal tercipta dan menjelma ke dalam kebiasaan-kebiasaan manusia Indonesia sebagai daya dan upaya memenuhi struktur faktual kebutuhan biologis maupun non biologis.
Sementara itu Dr. Bernard Nainggolan, S.H., yang menyampaikan pemikirannya tentang “Paradigma Pembangunan Hukum untuk Membangun Indonesia Baru menegaskan,”Hukum harus selalu menjadi faktor dominan dan penentu, sebagai landasan kekuasaan, untuk menyelenggarakan kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Saat ini, kondisi pembangunan dan penegakan hukum di Indonesia masih terpuruk, tanpa arah, parsial, tambal sulam dan bersifat reaktif. Karena itu, paradigma pembangunan negara hukum Indonesia yang bertolak dari ideologi Pancasila sebagai filsafat dasar bangsa Indonesia harus terus direkonstruksi. Karena itu, pembangunan dan penegakan hukum harus selalu menjadi prioritas utama pemerintah dan seluruh komponen bangsa, agar bisa menjadi faktor penentu dan pemandu dalam pembangunan bangsa dan negara kita, dalam merubah dan memberdayakan rakyat Indonesia.
Saat ini kita sedang menghadapi realitas material dan realitas cyber yang begitu cepat berubah. Sedang terjadi pergeseran konsep dan nilai dalam masyarakat. Struktur masyarakat juga turut berubah. Yang tidak dapat mengikuti pergeseran menuju dunia cyber akan tertinggal. Perkembangan hukum kedepan konsepnya tidak semata-mata tertulis, tetapi bersifat relasional dan korelasional dengan pergeseran nilai-nilai dan konsep-konsep yang sedang terjadi.
Saat ini kita komunal, artinya jika terjadi sesuatu masalah maka akan banyak orang yang ribut dari berbagai kalangan. Secara ide dan nilai-nilai, Indonesia tidak tertutup lagi dari dunia. Tidak ada pilihan kita untuk menolak dunia cyber. Yang menjadi persoalan kita, hukum selalu tertinggal. Perubahan paradigma akan menyebabkan chaos, karena begitu banyak pergeseran-pergeseran nilai yang terjadi.”
Pembicara yang lain, Tedy Agustiansjah dari sudut pandang pengusaha, mengemukakan,”Kalau kita ingin membangun Indonesia yang baru, maju dan sejahtera, maka paradigma utama yang harus kita upayakan adalah prioritas pembangunan dan pengembangan kualitas sumber daya manusia Indonesia. Pemerintah dan seluruh komponen bangsa harus bersinergi meningkatkan kualitas SDM bangsa kita. Jika kita pergi ke Korea Selatan, Jepang, maupun Singapura, kita mendapati kualitas SDM mereka jauh di atas kita. Dengan mentalitas dan kualitas SDM kita saat ini kita tidak akan bisa berkembang secara cepat dan progresif. Kualitas pimpinan daerah dan kualitas pemimpin nasional ikut menentukan kualitas bangsa dan masyarakat. Sayang sekali, banyak pemimpin daerah sekarang hanya memiliki keinginan untuk mendapat fasilitas dan menikmati jabatan. Hanya sedikit yang berusaha dan mengupayakan untuk membangun kualitas SDM daerahnya.
Jika kita tidak dapat mengubah manusia, kita hanya akan bermimpi untuk membangun Indonesia yang baru dan maju.”
Dalam seminar tersebut,Wakil Rektor UKI Dr. dr. Gilbert W.S. Simanjutak., Sp.M (K); Direktur Pusat Kajian Otonomi Daerah FISIPOL UKI- Dr. Isbodroini Suyanto., MA, dan Sekretaris Yayasan Komunikasi Indonesia Sunggul Siahaan; turut memberikan kata sambutan.
Seminar yang diselenggarakan oleh Pusat Kajian Otonomi Daerah FISIPOL UKI bekerjasama dengan Persatuan Cendekiawan Protestan Indonesia (PCPI) dan Yayasan Komunikasi Indonesia (YKI), dan didukung oleh Himpunan Pengusaha & Profesional Kristen (HIPPKI); Persekutuan Gereja-gereja dan Lembaga Injili (PGLII) DKI Jakarta dan Persatuan Wartawan Kristen Republik Indonesia (PWKRI),-diikuti oleh sekitar 80 orang dari pelbagai organisasi dan institusi gereja, seperti PGIW DKI, aktivis aktivis dan alumni GMKI Jakarta, para rohaniawan, professional,pengusaha, dosen-dosen, mahasiswa dan para pimpinan ormas Kristen.
Tampak hadir dalam seminar ini antara lain Angel Damayanti, Pdt. Dr. Gunadi Gunawan (Ketua Umum HIPPKI), Pdt. Harsanto Adi, M.Th., Bonar Simangunsong (Ketua Umum MUKI), Pdt. Dr. Jerry Rumahlatu, Pdt. Simson Pudjianto, Sabar Mangadoe Tambunan dan Guntur Napitupulu.
Bertindak sebagai moderator adalah Harry Ara Hutabarat., SH., M.H., seorang pengacara muda yang sedang naik daun. Sedang pembawa Firman Tuhan adalah Pdt.Binsar Sirait (Ketua Umum PWKRI). MC adalah Tio Sianipar. Ketua Panitia seminar ini adalah Hotben Lingga,M.Th. dari DPP PCPI.