Terpikat oleh Kasih yang Mengubah Segalanya
Oleh: Johanes Libu Doni, SS, (Penerjemah Ahli Muda, Mahkamah Agung RI)
Di tengah dunia yang semakin gaduh oleh kebencian, kekerasan, dan kepalsuan, kasih Tuhan menjadi pelita yang dinanti oleh jiwa-jiwa yang letih dan kehilangan arah. Kasih-Nya bukan hanya penghiburan spiritual, melainkan daya ilahi yang mampu membebaskan manusia dari jerat dosa dan kehampaan batin. Seperti seorang wanita berdosa di Betania, kita semua sejatinya sedang berjalan atau terseok menuju terang kasih yang tidak pernah padam itu.
Kasih yang Menyapa Jiwa Terluka
Injil Lukas menggambarkan secara menyentuh perjumpaan antara Yesus dan seorang perempuan yang dikenal sebagai pendosa. Ia datang membawa buli-buli pualam berisi minyak wangi, membasahi kaki Yesus dengan air mata, menyekanya dengan rambutnya, dan menciumnya tanpa henti. Ia tidak datang dengan kata-kata, melainkan dengan air mata dan tindakan kasih yang tulus ungkapan jiwa yang telah lama haus akan penerimaan.
Dalam masyarakat Yahudi waktu itu, perempuan seperti ini dianggap sampah. Ia dikucilkan, dihakimi, dan dianggap najis. Namun Yesus, yang adalah kasih itu sendiri, justru menyambutnya. Ia tidak hanya menerima perempuan itu, tetapi membelanya di hadapan Simon si Farisi.
Yesus berkata, “Dosanya yang banyak telah diampuni, sebab ia telah banyak berbuat kasih.” (Luk 7:47)
Kasih yang Menembus Benteng Penolakan
Kisah ini bukan sekadar kisah penyembuhan spiritual, tapi cermin bagi realitas hidup kita hari ini. Banyak orang merasa ditolak oleh keluarga, masyarakat, bahkan oleh institusi keagamaan.
Mereka membawa luka batin, kesepian, dan rasa tidak berharga. Dalam kondisi seperti itu, kasih Tuhan menjadi satu-satunya sumber air hidup yang mampu menyegarkan kembali jiwa yang kering.
Namun, kasih Tuhan tidak memaksa masuk. Jiwa yang dipenuhi oleh iri hati, kedengkian, atau hawa nafsu, sering kali menolak kehadiran kasih ilahi itu. Maka, dibutuhkan kerendahan hati, sebagaimana perempuan dalam Injil, yang tidak peduli lagi pada pandangan orang. Ia hanya ingin dekat dengan Yesus, karena hanya Dia yang bisa menyembuhkan luka jiwanya.
Ketika Agama Menjadi Dinding
Ironisnya, dalam cerita itu, justru Simon tuan rumah yang religius gagal menunjukkan kasih. Ia tidak mencium Yesus, tidak meminyaki-Nya, bahkan tidak menyediakan air untuk membasuh kaki-Nya. Ini adalah sindiran halus dari Yesus: bahwa formalitas keagamaan tanpa kasih, hanyalah topeng tanpa jiwa.
Rasul Paulus dengan lantang menulis, “Sekalipun aku memiliki iman yang sempurna untuk memindahkan gunung, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, aku sama sekali tidak berguna.” (1 Kor 13:2).
Kasih yang Memulihkan dan Menyelamatkan
Perempuan itu tidak meminta pengampunan dengan mulutnya, tetapi Yesus melihat hatinya. Dan karena kasihnya yang besar, Yesus berkata, “Imanmu telah menyelamatkan engkau, pergilah dengan selamat!” (Luk 7:50).
Keselamatan bukan diberikan kepada mereka yang sempurna, tetapi kepada mereka yang datang dengan hati hancur dan jiwa yang sungguh merindukan kasih sejati.
Ini adalah pesan penting bagi dunia yang saat ini lebih banyak menilai manusia dari masa lalunya, bukan dari pertobatannya. Dunia suka mengingat dosa-dosa lama, tetapi Tuhan justru fokus pada hati yang baru. Maka, siapapun kita apapun latar belakang dan sejarah kelam kita kasih Tuhan selalu siap menyambut, menyembuhkan, dan membarui.
Kita Semua Adalah Wanita Itu
Setiap kita, di titik tertentu, adalah seperti perempuan berdosa itu. Kita pernah tenggelam dalam kekelaman, tersesat dalam hawa nafsu, atau dihantam rasa tidak layak. Namun kasih Tuhan memikat kita bukan karena kita layak, tetapi karena Dia memang mengasihi tanpa syarat. Kita hanya perlu datang, seperti perempuan itu: dengan ketulusan, dengan air mata, dan dengan keyakinan bahwa hanya dalam Yesus kita menemukan hidup yang sejati.
Penutup: Di Mana Posisi Kita?
Apakah kita seperti Simon, yang merasa benar dan menilai orang lain dari masa lalunya? Ataukah seperti perempuan itu, yang datang dengan hati remuk dan rindu untuk dipulihkan?
Yesus telah menunjukkan siapa yang lebih memahami kasih sejati. Pertanyaannya: apakah kasih itu sudah hidup di dalam hati kita, atau masih sebatas doktrin di kepala?



















