Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Example floating
Example floating
Example 728x250
Opini & Analisa

Meningkatkan Efektivitas Penanganan Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak

×

Meningkatkan Efektivitas Penanganan Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak

Sebarkan artikel ini
Example 468x60

Meningkatkan Efektivitas Penanganan Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak

 

Example 300x600

Oleh: Jeannie Latumahina
Ketua Umum RPA Indonesia.

 

Terakhir ini kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Indonesia semakin mengkhawatirkan, terutama di tengah tekanan ekonomi dan gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang melanda berbagai sektor. Dari data resmi menunjukkan lonjakan kasus kekerasan berbasis gender yang signifikan dalam beberapa tahun terakhir.

Pada 2024, tercatat sekitar 330.097 kasus, naik 14,17% dari tahun sebelumnya, dengan kekerasan seksual sebagai jenis yang paling banyak terjadi. Anak perempuan usia 13–17 tahun menjadi kelompok paling rentan, dan hingga pertengahan 2025, lebih dari 13 ribu kasus kekerasan telah dilaporkan, didominasi oleh kekerasan seksual yang banyak terjadi di lingkungan rumah tangga.

Faktor utama yang memicu kekerasan ini adalah pola asuh keluarga yang kurang tepat, penggunaan gadget tanpa pengawasan, serta tekanan sosial dan ekonomi yang semakin berat.

Terdapat korelasi kuat meningkatkan kekerasan ini akibat kondisi ekonomi yang memburuk, terutama akibat PHK massal di sektor padat karya, turut menyumbangkan memperparah situasi ini. Banyak perempuan kehilangan pekerjaan, sehingga pendapatan keluarga menurun drastis dan telah memicu stres serta ketegangan dalam rumah tangga. Sehingga ketergantungan ekonomi perempuan pada pasangan semakin tinggi, membuat mereka lebih rentan terhadap kekerasan dan sulit mencari perlindungan.

Beban ganda sebagai pencari nafkah sekaligus pengurus rumah tangga memperbesar risiko kekerasan, terutama di masa krisis yang berkepanjangan.

Sementara pemerintah juga telah mengambil berbagai langkah strategis untuk menanggulangi kekerasan ini. Penguatan regulasi dan kebijakan pencegahan kekerasan, seperti Peraturan Menteri Agama No. 73 Tahun 2022 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di lingkungan pendidikan, menjadi fondasi penting. Selanjutnya pemerintah melalui koordinasi lintas sektor dan tingkat pemerintahan juga diperkuat melalui rapat sinkronisasi kebijakan di tingkat provinsi dan kabupaten/kota.

Pendirian Rumah Aman dan penguatan Unit Pelaksana Teknis Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) terus dikembangkan sebagai tempat perlindungan dan layanan bagi korban. Kemudian melalui kampanye nasional penurunan kekerasan, pelatihan aparat penegak hukum, serta integrasi penanganan medis akibat kekerasan ke dalam cakupan BPJS Kesehatan juga menjadi fokus utama.

Lebih daripada itu pengawasan ruang siber lebih diperketat untuk mencegah kekerasan daring, termasuk pembentukan direktorat khusus di tingkat wilayah agar penegakan hukum lebih responsif.

Disisi lain kita ketahui adanya peran Relawan Perempuan dan Anak juga sangat vital. Relawan Perempuan dan Anak (RPA) Indonesia, yang dipimpin oleh Jeannie Latumahina, telah berjalan beberapa tahun terakhir di banyak provinsi turut aktif memperjuangkan hak-hak perempuan dan anak secara gratis, mulai dari advokasi hukum, pendampingan korban, hingga pemulihan trauma.

Relawan Perempuan dan Anak Indonesia, sangat gencar melakukan edukasi masyarakat dan mengawal proses hukum agar pelaku mendapat hukuman setimpal, sehingga mendatangkan efek jera, khususnya di wilayah rawan seperti Jakarta Utara, Jakarta Pusat, Depok , Bogor dll. RPA Indonesia juga fokus menangani kasus kekerasan seksual yang dialami kelompok rentan, termasuk anak dan perempuan disabilitas, serta bermitra dengan berbagai lembaga untuk semakin memperkuat perlindungan dan keadilan. Selain itu, di tingkat daerah ada Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A), oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), serta Gerakan Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak (GN AKPA) turut berkontribusi dalam merumuskan kebijakan, evaluasi, layanan perlindungan, dan memperkuat sinergi lintas sektor.

Meski telah berbagai upaya telah dilakukan, tantangan besar masih menghambat efektivitas penanganan kekerasan. Implementasi regulasi yang belum merata dan lambat, stigma sosial, budaya patriarki, keterbatasan anggaran dan sumber daya manusia, serta pengawasan digital yang kurang efektif menjadi penghalang utama.

Bagaimanapun juga adanya ketergantungan ekonomi perempuan akibat PHK juga menjadi hambatan besar dalam pemberdayaan dan perlindungan.

Untuk mengatasi masalah ini secara komprehensif, sangat diperlukan penguatan kapasitas sumber daya manusia di lembaga penanganan kekerasan, pelatihan aparat penegak hukum dan tenaga pendamping korban agar lebih responsif dan sensitif gender. Pengembangan sistem informasi terpadu seperti SIMFONI PPA sangat penting untuk pendataan dan monitoring kasus secara real-time agar kebijakan lebih tepat sasaran. Selanjutnya perluasan dan penguatan Gerakan Nasional Anti Kekerasan melalui revisi dan perluasan Inpres Nomor 5 Tahun 2014 juga diperlukan untuk menciptakan ekosistem pencegahan dan rehabilitasi yang terintegrasi.

Pemberdayaan ekonomi perempuan harus menjadi prioritas untuk mengurangi ketergantungan ekonomi yang menjadi akar kekerasan, dengan memperluas program kewirausahaan berperspektif gender dan akses pendidikan anak. Peningkatan kesadaran masyarakat melalui sosialisasi komprehensif tentang kekerasan berbasis gender dan perlindungan anak, termasuk di ranah daring, perlu terus digalakkan. Penguatan layanan perlindungan korban melalui peningkatan anggaran, fasilitas, dan kemudahan akses, terutama di daerah terpencil, juga harus menjadi perhatian utama.

Pengalaman negara lain akan dapat menjadi rujukan penting. Di Eropa, model Barnahus yang diadopsi di Latvia berhasil menciptakan proses peradilan ramah anak dan terintegrasi bagi korban kekerasan, mempercepat penanganan dan mengurangi trauma. Di Amerika Latin, organisasi Pro Mujer di Bolivia mengembangkan program pendampingan psikologis oleh perempuan penyintas kekerasan yang membangun solidaritas komunitas. Di Afrika, program Prevention+ yang dijalankan Rutgers WPF Indonesia dan mitra di beberapa negara telah berhasil mengubah norma sosial melalui pelibatan laki-laki dan anak laki-laki dalam pencegahan kekerasan serta pelatihan aparat penegak hukum untuk meningkatkan sensitivitas gender.

Dengan pendekatan multisektoral dan komprehensif yang melibatkan reformasi hukum, pemberdayaan korban, edukasi masyarakat, dan perubahan norma sosial terbukti efektif dalam menekan angka kekerasan.

Sehingga dengan mengadopsi praktik terbaik dari dalam dan luar negeri serta memperkuat sinergi antara pemerintah, relawan seperti RPA Indonesia, lembaga swadaya masyarakat, sektor swasta, dan masyarakat luas, diharapkan angka kekerasan terhadap perempuan dan anak dapat ditekan secara signifikan. Korban pun dapat memperoleh perlindungan dan pemulihan optimal, sehingga tercipta masyarakat yang lebih adil, aman, dan setara bagi perempuan dan anak di Indonesia.

Tentunya dukungan dari berbagai pihak dan pendekatan yang menyeluruh menjadi kunci keberhasilan dalam menghadapi tantangan ini demi masa depan yang lebih baik bagi generasi mendatang.

Rabu , 16 Juli 2025

Example 300250
Example 120x600

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *