Mengandalkan Keuangan Berbasis Iman, Indonesia Tempuh Jalur Inovatif untuk Pembangunan Berkelanjutan
Jakarta, 28 Juni 2025
Indonesia menaruh harapan besar pada pendekatan finansial yang inovatif dalam rangka mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau SDGs, yakni serangkaian target global untuk mengakhiri kemiskinan, kelaparan, dan ketimpangan, serta mengatasi perubahan iklim dan menjaga kelestarian lingkungan.
Dalam tujuh tahun terakhir, Indonesia telah berhasil menghimpun hampir 12 miliar dolar AS dari penerbitan obligasi tematik, termasuk obligasi biru dan instrumen investasi berbasis prinsip syariah. Upaya ini didukung oleh sejumlah mitra pembangunan, termasuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Deputi Bidang Pembiayaan dan Investasi Pembangunan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, Putut Hari Satyaka, berbincang dengan UN News menjelang Konferensi Pendanaan Pembangunan yang akan digelar di Sevilla pada 30 Juni.
*UN News: Berapa besar dana yang dibutuhkan Indonesia untuk mencapai SDGs, dan seberapa besar kesenjangan pendanaannya?*
*Putut Hari Satyaka:*
Kesenjangan pendanaan untuk mencapai SDGs merupakan tantangan besar, khususnya bagi negara-negara berkembang, dan Indonesia tidak terkecuali. Total kebutuhan pendanaan untuk memenuhi seluruh 17 tujuan dan targetnya diperkirakan mencapai 4,2 triliun dolar AS, sementara kesenjangan pendanaannya masih sebesar 1,7 triliun dolar AS.
*UN News: Bagaimana cara menutup kesenjangan ini?*
*Putut Hari Satyaka:*
Kami perlu menerapkan pendekatan yang terintegrasi dan transformatif, bukan sekadar “business as usual.” Ada dua hal utama yang perlu dilakukan.
Pertama, kami harus meningkatkan efisiensi, ketangguhan, dan transparansi dalam pengelolaan keuangan publik. Ini termasuk menyelaraskan anggaran dengan target SDGs, memperkuat efisiensi belanja, serta memastikan sumber daya difokuskan pada sektor-sektor yang hasilnya mampu berkontribusi secara langsung terhadap pembangunan berkelanjutan.
Kedua, kami perlu lebih kreatif dan inovatif, yakni dengan memperluas penerapan metode pembiayaan inovatif yang telah ada serta menjajaki pendekatan baru. Instrumen yang menonjol mencakup pembiayaan campuran (_*blended finance*_), obligasi tematik, dan pembiayaan berbasis iman (_*faith-based financing*_).
Indonesia telah berhasil mencapai beberapa kemajuan dalam hal ini. Kami telah membangun ekosistem yang mendukung berbagai instrumen inovatif, menarik beragam pemangku kepentingan, merumuskan regulasi yang mendukung, serta menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pertumbuhan pasar.
*UN News: Apa itu pembiayaan berbasis iman, dan bagaimana pengalaman Indonesia sejauh ini?*
*Putut Hari Satyaka:*
Dalam konteks Indonesia, pembiayaan berbasis iman mengacu pada praktik keuangan yang berlandaskan prinsip-prinsip agama, khususnya hukum syariah dalam Islam. Dengan jumlah umat Muslim mencapai 241,5 juta jiwa atau sekitar 85 persen dari populasi, Indonesia memiliki tradisi yang kuat dalam pembiayaan sosial berbasis agama seperti zakat dan wakaf.
Yang baru adalah pemanfaatan instrumen tersebut untuk mendukung pencapaian SDGs. Indonesia telah menunjukkan kemajuan signifikan dalam menjadikan keuangan syariah sebagai bagian dari agenda pertumbuhan inklusif.
Saat ini, pertumbuhan keuangan syariah mencapai 14 persen per tahun, melampaui pertumbuhan keuangan konvensional. Kami juga mendorong pengembangan _*green sukuk*_, yaitu obligasi syariah yang khusus digunakan untuk membiayai proyek-proyek ramah lingkungan.
Hal ini mencerminkan komitmen kuat Indonesia dalam membangun ekosistem keuangan yang kompetitif untuk mendukung instrumen berbasis iman. Kami akan terus memperkuat kolaborasi, mendorong inovasi, dan memastikan pembiayaan berbasis iman memainkan peran penting dalam pembangunan ekonomi nasional.
*UN News: Apakah Indonesia berhasil menghimpun pendanaan baru melalui instrumen ini? Sebab, ada kritik bahwa pendekatan ini hanya cara lain untuk mengakses sumber dana yang sama.*
*Putut Hari Satyaka:*
Ya, kami berhasil menghimpun dana baru. Dengan populasi Muslim terbesar di dunia, Indonesia memiliki potensi besar untuk menyalurkan pembiayaan berbasis iman demi mendukung SDGs.
Pada 2018, Indonesia menerbitkan _*green sukuk*_ berdaulat pertama di dunia dan berhasil mengumpulkan 1,25 miliar dolar AS untuk membiayai proyek energi terbarukan dan adaptasi iklim. Antara tahun 2019 hingga 2023, pemerintah juga menghimpun sekitar 1,4 miliar dolar AS melalui _*green sukuk*_ retail domestik, yang melibatkan investor individu dalam pendanaan iklim. Ini menunjukkan potensi kuat _*green sukuk*_ baik di pasar domestik maupun internasional.
Kami juga melihat potensi besar dalam pembiayaan sosial berbasis Ilmu Islam. Potensi zakat nasional diperkirakan mencapai 18–25 miliar dolar AS per tahun. Namun, realisasi penghimpunannya masih di bawah lima persen dari potensi tersebut. Ini berarti ada peluang besar untuk memperkuat pembiayaan sosial.
*UN News: Apa pelajaran yang bisa dipetik dari pengalaman ini, dan saran apa yang dapat diberikan kepada pemerintah daerah atau negara lain yang ingin mengembangkan pembiayaan berbasis iman?*
*Putut Hari Satyaka:*
Meski telah mencatat banyak kemajuan, kami menyadari masih banyak ruang untuk perbaikan dan pengembangan. Beberapa hal yang bisa menjadi pelajaran antara lain adalah:
Pertama, peningkatan kesadaran publik menjadi sangat penting. Karena pembiayaan berbasis iman juga merupakan bentuk pembiayaan berbasis komunitas, partisipasi masyarakat dimulai dari pemahaman mereka terhadap pentingnya instrumen ini dan bagaimana dana tersebut akan digunakan.
Kedua, koordinasi antar pemangku kepentingan sangatlah krusial. Tanpa koordinasi yang baik, tumpang tindih menjadi sulit untuk dihindari. Koordinasi yang erat, termasuk dengan pemerintah daerah, merupakan area yang perlu ditingkatkan untuk memperluas pembiayaan berbasis iman di Indonesia.
Terakhir, membangun kepercayaan publik akan memerlukan waktu. Pembiayaan berbasis iman sangat bergantung pada kepercayaan masyarakat, baik terhadap lembaga pengelola dana maupun terhadap penggunaan dana itu sendiri. Seperti instrumen keuangan lainnya, kami belajar bahwa transparansi, akuntabilitas, dan komunikasi yang konsisten adalah kunci untuk mendapatkan dan mempertahankan kepercayaan tersebut.
Link: https://news.un.org/en/story/2025/06/1165026