Kambing Hitam Itu Bernama UU TNI
Jakarta, Gramediapost.com
Sejak 20 Maret 2025, ketika RUU TNI disahkan menjadi UU, demo anarkhis terjadi di Jakarta dan diikuti oleh daerah-daerah. Tidak seperti biasanya, di kota-kota kecilpun tidak mau tertinggal. Tercatat di Tasikmalaya, Kediri, Malang, Tuban, Banyuwangi, Medan, Kupang, Semarang, Surabaya dll hampir semua berlangsung anarkhis. Ada apa?.
Dari perspektif sebab dan akibat, dapat diinterpretasi demo anarkhis dan militan yang berkembang karena adanya provokasi baik melalui media maupun media-media sosial. Adalah fakta para pen-demo sejatinya tidak memahami substansi perubahan UU TNI.
Belakangan uji materi atas UU yang belum berlaku tersebut diajukan oleh 9 mahasiswa Fakultas Hukum UI dengan mendalilkan proses perubahan tidak memenuhi ketentuan, karena prosesnya janggal dan tergesa-gesa.
Seperti diketahui, tema utama demo adalah kembalinya dwi fungsi ABRI. Begitupun, apabila para pen-demo mau mengerti substansi UU TNI yang baru disahkan, perubahan hanya dilakukan pada Pasal 7, Pasal 47 dan Pasal 53.
Pasal 7 tugas TNI dalam OMSP ditambah dua poin yaitu: a. Membantu dalam upaya menanggulangi ancaman siber; b. Membantu dalam melindungi dan menyelamatkan warga negara serta kepentingan nasional di luar negeri.
Pada pasal 47 terdapat sejumlah penambahan jabatan di K/L yang dapat didukuki prajurit aktif seperti: Badan Narkotika Nasional; Badan Nasional Pengelola Perbatasan; Badan Nasional Penanggulangan Bencana; Badan Keamanan Laut; Kejaksaan Agung Republik Indonesia; dan Mahkamah Agung. Pada jabatan-jabatan di K/L yang tidak dapat diduduki oleh prajurit aktif tetap mempersyaratkan mundur atau pensiun dari dinas aktif.
Sekedar pengetahuan bahwa di Kejaksaan Agung ada jabatan Jaksa Agung Muda Pidana Militer; di Mahkamah Agung ada Kamar Peradilan Militer; dalam setiap penanggulangan bencana TNI paling siap; dalam pengamanan perbatasan TNI memang dibutuhkan; dan kebutuhan TNI dibutuhkan untuk menghadapi ancaman siber pertahanan. Sedangkan pasal 53 terkait dengan penambahan usia pensiun yang bervariasi.
Penambahan pada Pasal 7, poin 15 dan 16 didahului dengan frasa “membantu dalam”.
Makna penambahan frasa ini, TNI tidak akan dapat menjalankan tugas itu tanpa permintaan K/L. Pasal 7, ayat (2) b. poin 1, 2 dan 3 yang ketiganya didahului dengan diksi mengatasi, apakah separatis bersenjata, pemberontakan bersenjata atau terorisme.
Tugas-tugas ini tidak mungkin dilaksanakan apabila tidak ada permintaan Polri. Itupun harus ada pernyataan pengerahan TNI oleh Presiden dengan persetujuan DPR sebagaimana tertulis pada Pasal 17 dan 18 UU No. 34/2004 yang tidak diubah. Dari perspektif supremasi sipil, pasal ini jelas menunjukkan bahwa supremasi sipil berlaku di Indonesia.
Fungsi sosial politik ABRI telah dikubur sejak diundangkannya UU No. 34/2004 yang membatasi fungsi TNI sebagaimana Pasal 6: Ayat (1), TNI sebagai alat pertahanan negara, berfungsi sebagai: a. Penangkal terhadap setiap bentuk ancaman militer dan ancaman bersenjata dari luar dan dalam negeri terhadap kedaulatan, keutuhan wilayah, dan keselamatan bangsa; b. Penindak terhadap setiap bentuk ancaman sebagaimana dimaksud pada hayat (1) huruf a, dan; Pemulih terhadap kondisi keamanan negara yang terganggu akibat kekacauan keamanan. Ayat (2), dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1), TNI merupakan komponen utama sistem pertahanan negara.
Oleh karena itu masyarakat yang masih berpikir dwi fungsi akan kembali sebagaimana survei Litbang Kompas yang menyebut 65,9% responden khawatir perluasan jabatan sipil ke TNI memundurkan reformasi, berita Kompas TV, Politik 26 Maret 2025, sebaiknya membaca dengan cermat konten 3 pasal yang mengubah UUD TNI. Benarkah UU TNI memundurkan reformasi?
Adalah fakta setelah 25 tahun reformasi, kehidupan berbangsa dan bernegara tidak mengalami perbaikan.
Pancasila hanya slogan dalam kehidupan sehari-hari. Sistem politik berjalan sangat liberal dan pemilu diwarnai politik uang dan dinasti. Kehendak mewujudkan keadilan sosial yang terwujud kesenjangan sosial. Budaya feodalistik semakin menguat di mana-mana. Hukum menjadi alat sandera kekuasaan dan wani piro. Gaya dan seragam militeristik di kalangan ASN menjadi-jadi, serta banyak lagi yang dapat diungkapkan.
Secara akumulatif, persatuan dan kesatuan bangsa serta kepercayaan kepada pemerintah terus merosot dari waktu kewaktu. Inilah realita output reformasi selama 25 tahun yang memberlakukan paksa UUD NRI 1945 sebuah UUD hasil 4 kali amandemen, bukan akibat perluasan jabatan TNI. Artinya akurasi survei tersebut patut diragukan dan dipertanyakan.
Apa bila belakangan ini beberapa aktivis mengangkat isu hanya people power yang akan dapat menggagalkan UU TNI. Inilah paradoks aktivis?. Mengapa kerusakan kehidupan berbangsa dan bernegara akibat UUD NRI 1945 tidak menjadi perhatian mereka.
Apakah isu UU TNI adalah pesanan pihak lain yang membiayai?, sebab isu UU TNI tidak relevan dan tidak ada “makan siang gratis”. Begitupun pemerintah juga harus dikritisi agar konsisten bekerja untuk mencapai tujuan bernegara.
Sebagaimana banyak diketahui melalui media sosial, belakangan ini berhembus isu George Soros kembali mengguncang ekonomi Indonesia seperti tahun 1998. Apa yang sedang ia lakukan mencuat diberbagai portal berita dengan memanfaatkan media-media di Indonesia, seperti Tempo walaupun disangkal, Kontan, Suara.com serta Hukum on line. Begitupun ada sejumlah LSM yang disebut mendapat aliran dana yaitu Amnesty Internasional Indonesia, Human Right Watch serta beberapa lainnya. Semuanya dilakukan melalui Media Development Investment Fund (MDIF) miliknya.
Mencermati isu yang terus dikembangkan dan gerakan-gerakan yang mengarah pada destabilisasi politik, terbaca jelas bahwa isu UU TNI adalah akses untuk membuat prahara nasional. Kelompok yang menyebut diri Koalisi Masyarakat Sipil dengan berbagai gerakan massa yang dibangunnya sekadar mengkambing hitamkan UU TNI untuk menjustifikasi gerakan mereka.
Apapun situasi yang akan terjadi, suasana ini harus diakhiri agar Indonesia dapat memfokus pada upaya pencapaian cita-cita Indonesia emas tahun 2045, yaitu MPR-RI memiliki kemauan melakukan Kaji Ulang terhadap UUD NRI 1945 yang menjadi sumber masalah Indonesia.
Bambang Darmono, Forum Komunikasi Purnawirawan TNI-Polri.