Prabowo Diminta Segera Selesaikan Soal Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu di Papua
Jakarta, Gramediapost.com
Ketua Lembaga Swadaya Masayarakat (LSM) Papua Bangkit, Hengky Jokhu meminta Presiden Prabowo Subianto untuk menyelesaikan persoalan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang berat di Papua. Pentingnya negara bertanggungjawab menyelesaikan pelanggaran HAM berat masa lalu tsb, mengingat peristiwa pembunuhan tokoh papua Parmenas H. Yoku, terjadi pada tanggal 18 Desember 1963, Ketika status irian barat (papua barat) masih dibawah yuridiksi United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA), sebuah badan dibawah Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB).
Sehingga penghilangan nyawa tokoh papua, yang menjadi orang papua pertama korban kekejaman apparat keamanan Indonesia, perlu mendapat perhatian dari Presiden Prabowo selaku Kepala Negara Republik Indonesia.
Dia berharap Presiden Prabowo bisa menyelesaikan persoalan tersebut dengan menginisiasi kegiatan Penyelesaian non Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia (PPHAM).
Hal tersebut harus melibatkan para Keluarga Korban warga Kampung Ifar Besar, Distrik Sentani, Kabupaten Jayapura, Papua.
“Dasar Hukumnya yakni Kepres No. 17 Tahun 2022 tentang pembentukan tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM berat masa lalu dan Inpres No. 2 Tahun 2023 tentang pelaksanaan rekomendasi Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran HAM berat masa lalu,” kata dia dalam keterangannya, Selasa (11/2/2025).
Di Kabupaten Jayapura khususnya ada beberapa peristiwa pelanggaran HAM berat mulai dari tahun 1963 sampai tahun 2000-an. Di Kampung Ayapo ada 8 orang yang hilang hingga hari ini kasus tersebut belum selesai.
Sementara, di Kampung Ifar Besar ada tiga orang yakni Almarhum Permenas Joku adalah salah satu tokoh Irian Barat yang pada Juli 1963, diundang oleh SEKIB (secretariat khusus urusan Irian Barat, dibawah Departemen Dalam Negeri), datang ke Jakarta dalam rangka sosialisasi penggabungan Irian Barat kedalam Indonesia, tetapi beliau tidak setuju Irian Barat masuk Indonesia, lebih setuju wilayah dan penduduk papua yang masih tertinggal, tidak masuk wilayah Indonesia. Pada 18 Desember 1963, beliau diundang dalam acara ramah tamah lepas-sambut pasukan operasi ketertiban.
Acara berlangsung di sebuah gedung di Kota Sentani. Sepulang dari pertemuan tsb, Ia dieksekusi dengan tragis dengan cara dicekik lehernya lalu dibuang dibawah jembatan kali yabaso. Jasad beliau ditemukan pagi hari 19 Desember 1963, terbaring di bawah jembatan sekitar 200 meter dari rumahnya di ujung landasan bandara sentani, dalam keadaan meninggal dunia. Kematiannya mirip dengan kondisi yang dialami oleh almarhum Theys Eluay (2001).
Parmenas Joku adalah tokoh papua pertama Korban Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu. Aset pribadi berupa lahan peternakan sapi luas ± 4 Ha, yang dikelola keluarga almarhum, telah di rampas dan kuasai Pemerintah (Kantor UPBU Sentani), tanpa kompensasi kepada keluarga almarhum.
Kemudian, korban kedua adalah almarhum Yulianus Yoku anak muda yang ikut semacam pergerakan Papua Merdeka. Keluaga almarhum masih hidup dan almarhum berstatus belum berkeluarga saat dieksekusi.
Yulianus Yoku dikejar dari Kampung Ifar Besar oleh oknum anggota TNI dan beliau berenang menyebrang ke Kampung Yobeh, lalu disana ia ditembak dibawah kolong rumah. Peristiwa naas itu terjadi pada pagi hari di bulan Juli 1969 setelah Pepera. Oknum pelaku penembak almarhum, yakni Kopral dua Wempi Malonda dari Kodam XV Merdeka/Manado.
Korban ketiga, terjadi pada pertengahan 1972, (Alm) Yonatan Yoku pegawai harian Tower (Meteo) kantor Pensip Sentani, dicurigai oleh aparat TNI, sebagai anggota OPM, maka dikenakan wajib lapor. Seminggu sekali datang melapor ke Kantor Koramil Sentani (dulu disebut Kantor Puterpra = Pusat Teritori Prajurit). Setiap kali melapor, ditemani keluarganya.
Pada suatu ketika di bulan November 1972, karena merasa aman-aman saja, maka Yonatan Yoku datang melakukan wajib lapor di kantor Koramil, tanpa ditemani keluarganya. Namun anehnya sejak masuk melapor ke kantor Koramil, Yonatan Yoku tidak pernah keluar dari kantor tsb, hingga hari ini. Keluarga almarhum telah bertanya ke pihak Koramil, hingga Kodam XVII/Cenderwasih, tidak pernah mendapat jawaban.
Hengky Jokhu mantan aktivis 98 itu mengatakan, peristiwa tersebut terjad pada November 1972 ketika Yonatan Yoku datang melakukan wajib lapor yang ketiga di kantor Koramil, namun almarhum tidak pernah keluar dari Koramil hingga hari ini. ” Kebetulan putranya masih hidup dan memiliki saudara perempuannya,” ucapnya.
“Kami mengambil inisiatif untuk melupakan masa lalu, karena (percuma) juga menuntut proses peradilan dapat berjalan untuk pelanggaran HAM Berat masa lalu, yang mana dipastikan para pelakunya sudah tidak ada, Karena peristiwanya sudah cukup lama, ya kan. Siapa yang mau diminta pertanggungjawab, pastinya negara tidak mungkin mau. Peristiwa pelanggaran HAM berat ini terjadi di era orde lama dan orde baru,” Dimana pendekatan keamanannya sarat kepentingan militeristik sambungnya.
Pada era reformasi sekarang ini penghargaan terhadap HAM semakin baik, kondisi politik sekarang lebih demokratis, apalagi di era kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto, telah dibentuk Kementerian Hak Asasi Manusia, yang dipimpin oleh Putera Papua, maka tidak ada alasan jika Kabinet Merah Putih tidak mampu menyelesaikan Pelnggaran HAM Berat Masa lalu. Teristimewa pelanggaran HAM Berat terhadap warga papua, tatkala irian barat dari segi hukum international, belum menjadi bagian dari wilayah Indonesia.
Pemerintah perlu tahu, bahwa kami keluarga besar Yoku yang berada di Indonesia ataupun di luar negeri, tidak akan pernah melupakan kejahatan kemanusiaan tsb, teristimewa pembunuhan atas diri Parmenas Yoku, dimasa wilayah Irian Barat dibawah perwalian UNTEA/PBB.
“Sekarang ini sebagian keluarga mencoba melupakan masa lalu. Kami juga tahu tidak mungkin masa depan kita lebih baik, jika kita harus meratapi masa lalu itu terus-menerus. Oleh karena itu, kita harus menatap masa depan dengan wawasan berpikir yang lebih baik dan maju, mencoba melupakan masa lalu. Karena kami keluarga besar dari tiga korban ini tidak ingin tersandera oleh peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu,” kata Hengky Jokhu.
Oleh karena itu, Hengky Jokhu meminta Presiden Prabowo menyelesaikan semua bentuk
pelanggaran HAM berat masa lalu, dengan pendekatan hukum dan peraturan yang berlaku antara lain pendekatan non-yudisial.
“Maka itu, kami berinisiatif merangkum semua peristiwa dari tiga keluarga korban ini untuk melaporkan ke pemerintah dalam hal ini Kementerian hak asasi manusia dan kami tidak menuntut apa-apa ke pemerintah. Itu tergantung dari kebijakan pemerintah.
Apabila dari pemerintah memiliki niat baik untuk memperbaiki atau membantu. Maka itu, intinya kami sepenuhnya mendorong untuk bantuan bersifat perbaikan kualitas pendidikan, kualitas kesehatan dan juga peningkatan kualitas sumberdaya manusia di Kampung Ifar Besar,” ujarnya.
“Jadi, kami berharap peristiwa keji dan tragis di masa lalu seperti itu, tidak terulang lagi bagi segenap tumpa darah Indonesia. Kami mendorong segenap keluarga kami meraih masa depan yang lebih baik. Mengabaikan dan melupakan semua peristiwa-peristiwa pelanggaran HAM yang terjadi dalam keluarga ini. Namun dengan catatan, kami ingin agar pemerintah dapat memperhatikan dan memperbaiki kualitas masyarakat di dikeluarga dan kampung kami,” tambahnya.
Pihaknya juga akan membuat resume dari testimoni ini. Dengan dokumen-dokumen
seadanya, kemudian pihaknya akan melaporkan ke Menteri HAM.
“Karena itu, merupakan arahan dari Menkopolhukam di era pemerintahan yang lalu, yakni mendorong penyelesaian Non-Yudisial.
Terus tembusannya tentu kepada pemerintah daerah, Komnas HAM, kemudian instansi-instansi terkait lainnya yang ada di Provinsi Papua ini dan juga kepada sanak keluarga diaspora di negeri Belanda, Australia dan negara-negara pasifik lainnya. itulah intisari dari pertemuan testimoni tersebut,” pungkasnya.