PEMANTAUAN OMBUDSMAN REPUBLIK INDONESIA DAN DUGAAN MALADMINISTRASI DALAM PENANGGULANGAN DAN PENGENDALIAN PMK
Jakarta, Gramediapost.com
Ombudsman RI telah mengumpulkan data dan keterangan dari berbagai pihak terkait penanggulangan dan pengendalian Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) pada hewan ternak. Untuk itu, Ombudsman RI menyampaikan keterangan pers mengenai “Dugaan Maladministrasi dalam Penanggulangan dan Pengendalian PMK”, pada Kamis, 14 Juli 2022, did Ruang Antonius Sujata, Lantai Dasar Kantor Ombudsman RI. Jl. HR Rasuna Kav. C19 Kuningan, Jakarta Selatan
Narasumber: Anggota Ombudsman RI Yeka Hendra Fati
Berikut Siaran Pers yang dipaparkan oleh Anggota Ombudsman RI Yeka Hendra Fati:
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Salam sejahtera bagi kita semua. Shalom. Om swastyastu. Namo buddhaya. Salam kebajikan.
Rekan rekan media yang berbahagia, perkenankan dalam kesempatan ini saya Yeka Hendra Fatika selaku Anggota Ombudsman Republik Indonesia, akan menyampaikan beberapa hal terkait perkembangan terkini merebaknya wabah PMK di Indonesia.
Seperti kita tahu bahwa dalam beberapa waktu terakhir ini kita disibukkan dengan mewabahnya Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) yang kembali mengguncang Indonesia, setelah dinyatakan bebas PMK pada tahun 1990 oleh OIE (World Organization for Animal Health). Morbiditas (tingkat ketertularan) virus yang relatif tinggi (bisa mencapai 100%) menyebabkan virus ini dapat menginfeksi semua hewan ruminansia (terkecuali kuda) dengan cepat dan massif. Meskipun tingkat kematian akibat PMK dibawah 5%, namun dampaknya sangat merugikan peternak. Hewan sembuh tidak akan kembali kepada produktifitas semula. Bisnis usaha ternak terganggu dan merugikan. Kredit macet peternak meningkat, hingga terganggunya kinerja ekspor.
Sebagaimana kita ketahui bahwa pada awalnya tugas penanganan wabah PMK merupakan tanggung jawab Menteri Pertanian. Kemudian pada 24 Juni 2022, pemerintah menerbitkan Keputusan Ketua KPC-PEN No.2 Tahun 2022 untuk membentuk Satuan Tugas Penanganan Penyakit Mulut dan Kuku (Satgas PMK), dan komando penanggulangan dan pengendalian PMK berada dalam koordinasi pihak BNPB.
Kelalaian Badan Karantina
Rekan media yang saya hormati, penyakit mulut dan kuku atau yang biasa kita sebut PMK pertama kali masuk ke Indonesia pada tahun 1887 melalui importasi sapi perah dari Belanda. Dengan berbagai penanganan dan pemberantasan melalui vaksinasi massal, pada tahun 1983 Indonesia mendeklarasikan bebas PMK dan pengakuan status bebas PMK di Indonesia oleh OIE (World Organization for Animal Health) di tahun 1990. Artinya, dimasa lalu waktu yang diperlukan bagi Indonesia untuk terbebas dari wabah PMK selama 1 abad.
Berdasarkan informasi dan dokumen yang dikumpulkan Ombudsman, PMK kembali masuk Ke Indonesia di Tahun 2015. Namun informasi ini tidak disampaikan ke publik, atau ditutup tutupi oleh pemerintah saat itu. Meskipun demikian, terdapat hal positif yang bisa diambil pelajaran oleh kita semua, atas penanggulangan PMK saat itu, yaitu, pemerintah berhasil memberantas PMK dengan menerapkan Vaksinasi Masal dan serampak, dibarengi dengan pengendalian lalu lintas hewan rentan. Sehingga penularannya dapat dihentikan dalam waktu sangat cepat.
Namun demikian, pekerjaan rumah sebagai tindak lanjut dari peristiwa tersebut tidak dilakukan oleh pemerintah saat itu. Pekerjaan rumahnya adalah, peningkatan kewaspadaan secara extraordinary dalam bentuk; pertama, Badan Karantina tidak boleh lalai dalam pemasukan hewan dan produk hewan ke SELURUH wilayah Indonesia. Proses lalu lintas, harusnya diperketat dengan kewaspadaan tinggi. Kedua, pemerintah pusat dan daerah memperkuat lembaga otoritas veteriner. Alih alih diperkuat, banyak sekali pemerintah daerah yang menghapuskan Dinas Peternakan, dan tidak memiliki pejabat otoritas veteriner.
Kawan kawan media yang saya banggakan. Lemahnya fungsi pengawasan Badan Karantina terlihat dari munculnya beberapa kasus wabah penyakit ternak di Indonesia. Sejak Akhir Tahun 2019 sampai dengan Bulan Mei 2022 Indonesia telah dimasuki 3 jenis penyakit eksotik dan menyebar didalam negeri. terdapat 3 keputusan menteri Pertanian tentang kejadian wabah dimaksud, yaitu 1) Kepmentan No. 820 Tahun 2019 tentang Wabah Demam Babi Afrika (African Swine Fever – ASF); 2) Kepmentan No 242 Tahun 2022 tentang wabah Penyakit Kulit Berbenjol (Lumphy Skin Disease – LSD); 3) Kepmentan No 403 Tahun 2022, dan Kempentan No. 404 Tahun 2022 Tentang Wabah PMK di Prov. Jatim dan Prov. Aceh.
Ketiga penyakit hewan menular tersebut yaitu ASF, LSD dan PMK adalah penyakit yang sangat merugikan industri peternakan di Indonesia, Dalam waktu cepat sejak ditetapkannya wabah oleh Menteri penyakit tersebut menyebar ke provinsi lainnya dan pulau pulau lainnya.
Setiap Negara memiliki unit instansi yang bertanggung jawab menjaga bordernya masing masing terhadap masuk dan menyebarnya penyakit hewan menular dari Luar Negeri. Di Indonesia Tugas dan Fungsi mencegah masuk dan menyebarnya penyakit hewan menular (termasuk penyakit eksotik, ASF, LSD dan PMK) di border diemban oleh Badan Karantina Pertanian – Kementan, melalui unit unit kerjanya yaitu Pusat Karantina Hewan dan Keamanan Hayati dan Unit Pelaksana Teknis (UPT) yang berada disetiap Provinsi serta Pelabuhan dan Bandara di Indonesia. Tugas fungsi pencegahan tersebut juga meliputi pencegahan menyebarnya penyakit di dalam negeri terutama antar pulau. Setiap tahunnya Badan Karantina Pertanian menghabiskan anggaran kurang lebih 1 Trilyun.
Tidak sedikit uang rakyat digunakan untuk menjalankan tugas pokok dan fungsi Badan Karantina, namun demikian lembaga tersebut gagal dalam membendung pelbagai penyakit eksotik di wilayah Indonesia.
Ombudsman berpandangan terdapat duguaan sangat kuat Maladministrasi yang dilakukan Badan Karantina dalam bentuk kelalaian dan pengabaian kewajiban dalam melakukan tindakan pencegahan setelah mengetahui adanya dugaan kuat telah terjadi infeksi PMK di beberapa daerah di Indonesia.
Perkembangan PMK di Indonesia
Rekan Rekan Media, seperti kita ketahui bersama, bahwa per tanggal 28 April 2022, PMK terdeteksi di Kab Gresik- Jawa Timur. Dan kemudian menyebar kewilayah lainnya. Kemudian pada tanggal 05 Mei 2022 Dinas Peternakan Provinsi Jawa Timur mendeklarasikan adanya wabah PMK di Jawa Timur, yang kemudian ditindaklanjuti dengan penetapan wabah PMK oleh pihak Provinsi Jawa Timur pada tanggal 06 Mei 2022. Selanjutnya pada 9 Mei 2022 Pemerintah melalui Kementerian Pertanian menetapkan wabah PMK pada dua daerah provinsi, yaitu Jawa Timur dan Aceh.
Merujuk laporan hasil investigasi dugaan kasus PMK di Jawa Timur oleh BB Veteriner Wates Yogyakarta tanggal 6 Mei 2022 terkait pemeriksaan tanda klinis (symptom) penyakit, derajat keparahan penyakit, pola dan laju penularan antar ternak dan antar farm, serta pemeriksaan dan pengujian laboratorium mengindikasikan bahwa kasus penyakit hewan menular yang terjadi di Kabupaten Gresik, Lamongan, Mojokerto dan Sidoarjo Provinsi Jawa Timur, pada akhir April s.d. awal Mei 2022, disebabkan oleh infeksi virus Penyakit Mulut dan Kuku (PMK). Jadi secara resmi, bukti wabah PMK ini terjadi sejak 6 Mei 2022.
Pada 10 Juni 2022, Ombudsman memperoleh informasi bahwa berdasarkan laporan analisis bioinformatika virus PMK oleh BB Veteriner Wates Yogyakarta, virus PMK yang dikoleksi dari penyakit ternak sapi dan kambing pada Mei 2022 di Indoneisa tergolong dalam serotipe O, topotype ME-SA, galur (lineage) Ind-2021, dan sub-linage ‘e’ atau disebut juga sebagai O/ME- SA/Ind-2001e. Hal ini membuktikan secara jelas bahwa carier PMK di Indonesia adalah sapi dan kambing.
Ombudsman menilai, rentang waktu dari 6 Mei 2022 (laporan investigasi dugaan kasus PMK) ke 10 Juni 2022 (laporan analisa bioinformatika virus PMK), adalah rentang yang sangat lama. Terdapat dugaan kelalain yang dilakukan oleh otoritas veteriner, mengingat laporan bioinformatika virus PMK semestinya dapat diberikan selambat lambatnya pada tanggal 16 Mei 2022.
Pada 20 Juni 2022, Food and Agriculture Organization (FAO) mengeluarkan sebuah rekomendasi rencana aksi jangka pendek, menengah dan panjang terkait penanganan PMK di Indonesia.
Dalam jangka pendek, FAO merekomendasikan untuk :
1. Memberlakukan kebijakan proteksi ketat hewan bernilai tinggi dan meminimalisir dampak penyebaran virus melalui mekanisme peningkatan biosekuriti.
2. Peningkatan kapasitas penanganan PMK, serta cakupan vaksinasi.
3. Menyiapkan rencana strategi penanganan PMK yang berbasis risiko terutama kaitan dengan keterpenuhan informasi penting, identifikasi skema tindakan pengawasan yang cocok dan efektif berdasarkan pemetaan seluruh pemangku kepentingan, mitigasi risiko termasuk pola pergerakan/pengiriman hewan, serta kerjasama lintas sektor swasta dan publik. Penanganan wabah perlu memfokuskan diri pada satu atau dua sektor peternakan saja, misal breeding dan dairy.
Pada jangka menengah (2023-2025) FAO memberikan rekomendasi berupa implementasi strategi pengawasan dan/atau monitoring berbasis risiko kaitannya melihat aspek sejauh mana implementasi serta dampak yang menjadi tolok ukur.
Untuk jangka panjang, FAO berpandangan bahwa kebijakan penanganan PMK akan sangat bergantung pada pertimbangan faktor sosio-ekonomi. Selain itu adanya kebijakan pengawasan/kontrol yang ketat memerlukan komitmen jangka panjang dari semua pemangku kepentingan baik publik atau swasta.
Dengan tingginya morbiditas virus PMK, pada 13 Juni 2022 sebaran kasus sudah mencapai 17 provinsi dalam kurun waktu satu bulan, dan per 13 Juli 2022 wabah PMK sudah menyebar di 22 provinsi di Indonesia. Dengan demikian dalam satu bulan PMK terjangkit di 5 propinsi baru yaitu, Bali, Sulawesi Selatan, Kepuluan Riau, DKI Jakarta, dan Bengkulu. Ombudsman menilai, dengan adanya penyebaran PMK di 5 propinsi baru ini, dalam satu bulan terakhir menandakan Badan Karantina jelas jelas gagal dan tidak kompeten dalam menahan penyebaran PMK.
Rekan media yang berbahagia. Berdasarkan pantauan Ombudsman sampai dengan Selasa, 14 Juli 2022 pukul 08.56 WIB pada laman siagapmk.id, total hewan sakit mencapai 366.540 ekor, sembuh 140.321 ekor, mati 2.419 ekor, potong bersyarat 3.698 ekor, belum sembuh 220.102
ekor, cakupan vaksinasi 476.650 ekor, dan jumlah sebaran kasus pada 22 provinsi, untuk jenis hewan sapi, kerbau, kambing, domba, dan babi.
(berdasarkan data BNPB, total hewan sakit mencapai 368.059 ekor, sembuh 132.316 ekor, mati 2.235 ekor, potong bersyarat 4.775 ekor, belum sembuh 235.734 ekor, cakupan vaksinasi 450.490 ekor, dan jumlah sebaran kasus pada 22 provinsi, untuk jenis hewan sapi, kerbau, kambing, domba, dan babi) – dengan demikian, dalam satu bulan terakhir masih terdapat perbedaan data antara BNPB dan Kementan (Siagapmk.id, namun tidak signifikan).
Berdasarkan data tersebut duatas, diperkirakan potensi kerugian yang dialami oleh peternak sapi tidak kurang dari Rp788,81 miliar. Ombudsman berpandangan bahwa mitigasi dan8y penanganan kedepan perlu lebih ditingkatkan mengingat potensi nilai kerugian yang terus meningkat setiap harinya.
Kerugian diatas belum termasuk kerugian yang diderita oleh para petarnak sapi perah, disebabkan menurunnya secara drastis produksi susu sapi yang mereka hasilkan. Sebagai salah satu gambaran, berdasarkan data GKSI per 13 Juli 2022, sapi perah yang terinfeksi PMK sebanyak 19.267 ekor di Jawa Barat (24,65% dari total populasi sapi perah), 5.189 di Jawa Tengah (12,55% dari total populasi sapi perah), dan 55.478 ekor di Jawa Timur (31,19% dari total populasi sapi perah), dengan penurunan produksi susu masing-masing mencapai 30% (sekitar 137,14 ton), 40% (sekitar 66 ton), dan 30% (sekitar 535,71 ton). Potensi kerugiannya tidak kurang dari 6 milyar per hari, atau dalam satu bulan bisa mencapai 1,7 triliun rupiah. Penurunan produksi susu sapi rakyat ini berdampak terhadap meningkatnya impor susu.
Rekan media yang saya banggakan, berbagai tindakan penanganan wabah PMK terus dilakukan, terbaru dengan dikeluarkannya Kepmentan No. 517 Tahun 2022 tentang Perubahan atas Kepmentan No. 510 Tahun 2022 tentang Vaksinasi Dalam Rangka Penanggulangan Penyakit Mulut dan Kuku, pada tanggal 7 Juli 2022.
Ombudsman menilai, bahwa penetapan Kepmentan ini sangat lambat, sementinya hal ini bisa ditetapkan paling lambat Tanggal 23 Juni 2022.
Dalam beleid tersebut, jenis vaksin yang digunakan dalam penanganan wabah PMK adalah jenis inactive yang memiliki kesesuaian dengan serotipe virus PMK yang ada di Indonesia, serta telah mendapat rekomendasi dari Pejabat Otoritas Veteriner Nasional. Adapun vaksin yang digunakan diantaranya Aftopor dari Prancis, CAVac FMD dari China, Aftomune dari Brazil, Aftogen Oleo dari Argentina, dan Aftosa dari Argentina.
Dengan adanya Kepmentan No 517 Tahun 2022, Ombudsman menemukan kejanggalan yang berpotensi mengakibatkan kerugian negara dan masyarakat, karena pembelian vaksin oleh pemerintah dilakukan pada pertengahan Mei, sebelum penetapan vaksinnya yang baru ditetapkan pada Tanggal 7 Juli 2022. Dan ini, jelas jelas melanggar prosedur penanggulangan dan pengendalian PMK.
Penanganan wabah PMK perlu mengedepankan pendekatan penyelesaian terintegrasi secara hulu-hilir, yakni mulai tahap pengamatan dan identifikasi, pencegahan, penanganan, pemberantasan, dan pengobatan sesuai dengan tata aturan yang berlaku.
Rekan media yang saya banggakan, penanganan dan pengendalian PMK, bukan saja ada regulasinya yang mengatur dengan sangat jelas prosedur prosedur yang harus dilakukan, namun juga kita punya lesson learn bagaimana mengatasi masalah ini di masa lalu. Mestinya kita tidak perlu gagap, dan memiliki kompetensi dalam mengatasinya.
Mudahnya lalu lintas hewan yang keluar masuk dari satu daerah ke daerah lainnya disaat kondisi PMK terjadi di beberapa daerah membuktikan adanya potensi penyalahgunaan wewenang terkait penerbitan sertifikat kesehatan hewan. Kementerian Pertanian (Badan Karantina) telah lalai dalam melakukan pencegahan keluar-masuknya hewan dari daerah zona tertular PMK ke daerah lain yang belum tertular PMK, sehingga menyebabkan semakin bertambahnya penyebaran penyakit PMK, yang awalnya terkonfimrasi 2 provinsi pada 09 Mei 2022, menjadi 22 provinsi pada 13 Juli 2022.
Banyaknya hewan terjangkit PMK, yang berimplikasi pada tingginya jumlah hewan yang mati, banyaknya sapi terjangkit sehingga menyebabkan turunnya produktifitas, tingginya nilai kerugian ekonomi yang ditimbulkan secara keseluruhan, dan luasnya sebaran wilayah terdampak PMK, sudah memenuhi kriteria untuk ditetapkan sebagai bencana nasional. Sebagaimana ketentuan UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.
Terhadap lambatnya upaya penanggulangan dan pengendalian PMK oleh Kementrian Pertanian, Ombudsman RI berencana untuk meningkatkan status pengawasan pelayanan publik dari pemantauan terhadap investigasi dalam rangka pemenuhan aspek pelayanan publik.
Namun demikian, Ombudsman RI memberikan apresiasi terhadap Kementrian Pertanian RI, dan Jajaran Satgas PMK yang sudah berupaya dengan keras dalam penangulangan dan pengendalian PMK dalam kurun waktu tiga bulan terakhir ini. Dalam rangka mempercepat proses penangulangan dan pengendalian PMK selanjutnya Ombudsman RI menyarankan secara terbuka kepada Satgas PMK dan Kementrian Pertanian sebagai berikut ini :
1. Agar Satgas PMK meningkatkan status dari status keadaan tertentu darurat menjadi status wabah nasional dengan memperhatikan dampak dan cakupan penyebaran PMK.
2. Agar Satgas PMK segera melakukan konsolidasi semua tenaga kesehatan hewan dan membuat perencanaan yang matang dalam melakukan vaksinasi secara massif dan serempak sesuai regulasi yang berlaku.
3. Agar satgas PMK menjalankan semua tugas dan kewenangannya dalam melakukan penanggulangan dan pengendalian penyakit PMK sesuai dengan peraturan dan perundangan yang berlaku; membangun koordinasi dan jejaring lintas stakeholder dalam penanggulangan dan pengendalian penyakit PMK; serta memperkuat data yang transparan dan terpercaya.
4. Agar Pemerintah mereviu kembali kinerja instansi Badan Karantina Pertanian khususnya Karantina Hewan. Badan Karantina Hewan gagal mengidentifikasi risiko menyebarnya penyakit pmk dari jatim ke pulau lain, padahal jatim sudah dinyatakan terjadi wabah PMK. Beberapa implementasi kinerja Badan Karantina Hewan yang tidak harmonis dengan fungsi kesehatan hewan yang ada di pusat dan daerah yaitu:
a) Karantina Hewan tidak mempertimbangkan rekomendasi pemasukan dari provinsi daerah tujuan/penerima dan rekomendasi pengeluaran dari daerah/provinsi asal, padahal ini diatur oleh Peraturan Pemerintah no 47 tahun 2014 tentang Pengendalian Penyakit Hewan
b) Karantina tidak pernah menyampaikan sertifikat pelepasan kepada otoritas berwenang daerah tujuan (prov/Kab/Kota) atas hewan yang dimasukkan dari daerah lain. Hal ini mengakibatkan gagal atau sulitnya pelaksanaan kewaspadaan dini oleh otoritas daerah, padahal hal ini juga diatur oleh Peraturan Pemerintah No 82 Tahun 2000 tentang Karantina Hewan pada pasal 16 ayat (2).
7
5. Kementrian Pertanian, segera melakukan upaya perlindungan terhadap nasib peternak yang mengalami kerugian akibat PMK saat ini.
Demikian rilis ini Ombudsman sampaikan. Terimakasih atas perhatian kawan-kawan media semuanya.
Jakarta, 14 Juli 2022
Yeka Hendra Fatika
Anggota Ombudsman Republik Indonesia 2021-2026