Transformasi, Ancaman Bagi Masa Depan
Jakarta, Gramediapost.com
Antropolog dari Prancis Dr. Jean Couteau menilai ada ancaman pada masa depan yang disebabkan oleh transformasi. Beberapa transformasi berjangka panjang, terutama berhubungan dengan manusia dan alam, ketidakseimbangan demografis, pergeseran distribusi kekuatan ekonomi dunia antara kutub raksasa baru di China dan kutub kapitalistik dinamis baru yang berkembang di luar kekuasaan barat.
“Daripada fokus pada transformasi itu sendiri, saya memilij untuk menilai risiko masa depan yang disebabkan oleh transformasi dengan berfokus pada ketahanan wilayah geografis dan buday yang dipilih di dunia,” kata Dr. Jean Couteau saat menjadi narasumber pada the 5th Jakarta Geopolitical Forum 2021 yang mengangkat tema “Culture and Civilization: Humanity at the crossroad” secara daring, (21/10).
Menurut Jean, negara barat telah lama berhasil mempertahankan keadaan pertumbuhan dan stabilitas ekonomi melalui tiga cara. Tiga cara itu adalah di inovasi teknologi, perluasan pasar yang konstan melalui ekspor modal, dan akses berkelanjutan ke tenaga kerja murah melalui imigrasi atau delokalisasi.
Kebijakan-kebijakan tersebut membawa negara-negara barat berhasil mempertahankan tingkat pertumbuhan yang tepat, menjaga harga barang-barang konsumen tetap rendah, dan mempertahankan standar hidup yang tinggi. Namun, kontradiksi yang merusak kebijakan ini telah muncul, yaitu transformasi.
“Ekspor modal telah menciptakan pesaing ekonomi dan strategis yang secara drastis mengurangi daya tawar serikat pekerja,” kata Jean.
Secara budaya, sebagian negara-negara barat telah melepaskan sikap positivistik. Namun ketika kepercayaan akan kemajuan menurun, maka skeptisisme spiritual semakin luas sehingga harapan ideologis berjalan ke segala arah. Secara politis, hal ini mengkhawatirkan dan dapat menyebabkan krisis yang tidak terduga.
Menurut Jean, Perkembangan ini memiliki konsekuensi politik yang mendalam terhadap impor tenaga kerja asing dan melemahnya serikat pekerja, sehingga menghancurkan kekuatan politik kelas pekerja.
Di sisi lain, China berhasil dengan sistem ekonomi pasar yang dikelola dengan menciptakan sistem “masyarakat terkelola” yang lengkap, yakni penggabungan ideologi komunis dengan politik. Hal ini membutuhkan kendali yang ketat tas media modern dengan menggunakan kecerdasan buatan dan menekankan batasan kebebasan berekspresi.
Tingkat “otonomi orang” yang dicapai di bawah sistem Tiongkok dapat membebaskan China dari kontradiksi sosial dan gangguan politik yang menghantui negara-negara barat. Hal ini dikarenakan budaya Tiongkok selalu mengutamakan kebaikan bersama di atas individu. Komunisme yang bersandar pada analisis radikal barat tentang realitas ekonomi dan sosial, tidak akan berhasil tanpa latar belakang budaya tersebut.
Dalam jangka panjang, lanjut Jean, segalanya akan menjadi lebih sensitif. Tingkat otonomi orang yang disebabkan oleh pembangunan, dapat membuka kontradiksi masyarakat China yang mampu membawa gangguan dan pergolakan politik dengan konsekuensi internasional yang dramatis.
Dunia sedang menuju turbulensi dan krisis iklim sedang berlangsung. Di beberapa kalangan, kesadaran global sedang terbangun seputar isu ekologi dan pemanasan global. Dalam strata yang kurang berpendidikan, ketegangan tentang identitas nasional dan identitas agama mungki meningkat.
“Dengan demikian, dunia mungkin berada di persimpangan jalan antara pencerahan dan kegelapan,” kata Jean.
Oleh sebab itu, Indonesia harus tetap berada di luar pertikaian ekonomi dan budaya yang terjadi di Kawasan Asia yang lebih luas maupun yang sedang dilakukan. Di tingkat Indonesia, perlu mewaspadai perubahan demografis di wilayah multi agama.
“Untuk saat ini Indonesia belum keluar dari jalur,” kata Jean.
The 5th Jakarta Geopolitical Forum 2021 yang dilaksanakan secara hybrid pada Kamis dan Jumat, 21 dan 22 Oktober 2021, pukul 08.00 s.d. 15.00 WIB juga menghadirkan sembilan narasumber terkemuka lain, di antaranya, Mr. Rudy Breighton, M. B. A., M. Sc. dari Intercontinental Technology and Strategic Architect Boston; Prof. Dr. Robert W. Hefner, Former Director of the Institute on Culture, Religion, and World Affairs (CURA), Universitas Boston; Prof. Donald K. Emmerson Direktur Southeast Asia Forum (SEAF) di Shorenstein Asia-Pacific Research Center di Stanford University; Dr. Gita Wirjawan, Patron and Advisory Board of the School of Government and Public Policy (SGPP) dari Indonesia; Dr. Robertus Robert, Sosiolog Universitas Negeri Jakarta; Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia; dr. Roslan Yusni Hasan, Sp.BS., Neurosains dari Indonesia; Baskara Tulus Wardaya, Ph.D., Sejarawan Indonesia; dan Dimas Oky Nugroho, Ph.D., Cendekiawan sosial-politik.
(Hotben)