Haram Hukumnya Calon Dirjen Bimas Katolik Menyeret Gereja Untuk Tujuan Mendapatkan Jabatan
Jakarta, Gramediapost.com
Keluarnya Surat Keterangan Sekretaris Keuskupan Agung Jakarta, Rm. Adi Prasojo, walaupun bukan dimaksud sebagai dukungan terhadap salah satu Dirjen Bimas Katolik harus dilihat secara seimbang. Keluarnya surat tersebut karena adanya permintaan dari Yohannes Bayu Samudro salah seorang calon Dirjen Bimas Katolik yang masuk 3 besar (Prof. Adrianus Meliala, Suparman Sirait, dan Bayu Samudra) diusulkan Menteri Agama untuk dipilih Tim TPA menjadi Dirjen Bimas Katolik. Masalahnya adalah untuk apa dan tujuan apa surat itu diminta, Minggu (2/8/2020).
Apakah untuk persyaratan pendaftaran? Tentu saja tidak, karena surat tersebut keluar sesudah selesai seleksi administrasi, dikeluarkan tanggal 28 Mei 2020. Dapat diduga bahwa calon Dirjen Bimas Katolik tersebut meminta surat untuk tujuan tertentu, seperti dapat saja digunakan untuk meyakinkan pihak-pihak terkait seperti Pansel dalam penentuan untuk masuk 3 besar, sehingga calon tersebut dapat diusulkan menjadi Dirjen Bimas Katolik ke Presiden Tim Penilai Akhir (TPA). Apakah surat keterangan itu dapat meloloskan dan menjadikannya Dirjen Bimas Katolik, tentu terlalu naif untuk menilainya. Kalau demikian untuk apa Surat Keterangan tersebut ?
Masalahnya adalah mengapa seorang calon Dirjen Bimas Katolik menyeret lembaga gereja melampaui kewenangannya untuk ikut campur tangan dalam kewenangan tugas negara ? Bukankah Pemerintah telah memberikan kesempatan kepada Gereja (KWI) untuk mengirimkan perwakilannya ikut Panitia seleksi calon Dirjen Bimas Katolik agar dapat Putra putri terbaik yg menjadi Dirjen Bimas Katolik ?
Sangat memprihatinkan kalau seorang calon Dirjen Bimas Katolik tidak memahami dengan benar hubungan Gereja dengan Negara (Konsili Vatikan II) sehingga menarik Gereja untuk ikut bertindak dengan Surat Keterangan melampaui kewenangan Gereja dalam proses pemilihan Dirjen Bimas Katolik.
Sangatlah penting bahwa orang orang (apalagi calon Dirjen Bimas Katolik) mempunyai pandangan yg tepat hubungan antara negara dan Gereja (GS. 76). Seseorang tidak boleh bertindak atas nama Gereja, apalagi mengatasnamakan legitimasi Gereja untuk meloloskan dirinya mendapatkan jabatan Dirjen Bimas Katolik adalah haram hukumnya. Seharusnya ia bertindak atas nama sendiri melalui proses seleksi Dirjen Bimas Katolik, bukan atas nama Gereja yang dibawa bawa dengan surat yang berbau katabelece agar dapat meloloskannya mendapatkan jabatan Dirjen Bimas Katolik ?
Jika nilai-nilai moral teologis yang terkandung dalam Dokumen Gereja (Konsili Vatikan 2 GS. Art. 76) tidak dipahami orang yang ingin menjadi Dirjen Bimas Katolik, pantas kompetensi moral dan pengetahuannya tentang Gereja diragukan dan kapasitasnya menjadi Dirjen Bimas Katolik dipertanyakan. Jika demikian, bagaimana ia dapat memimpin Ditjen Bimas Katolik dan mampu membangun mitra kerjasama dengan lembaga Gereja yang wajib dipahami dan dihayati oleh seseorang yang ingin menjadi Dirjen Bimas Katolik.
Dan karakter seorang pemimpin Katolik apalagi Calon Dirjen Bimas Katolik yang tidak percaya diri, menggunakan cara-cara yg kurang elegan untuk memuluskan pencalonannya menjadi Dirjen Bimas Katolik sebaiknya tidak dipilih.
Para calon Dirjen Bimas Katolik harus menghormati proses seleksi yang transparan, akuntabel dan terbuka yang dilaksanakan panitia seleksi di Kementrian Agama. Usaha menteri Agama bersama Konfrensi Wali Gereja (KWI) untuk mendapatkan sosok Dirjen Bimas Katolik yang berintegritas tinggi, kredibel, memiliki kompetensi harus dijaga dan dihormati oleh calon Dirjen Bimas Katolik. Dan calon Dirjen Bimas Katolik berkewajiban menjaga marwah gereja Katolik, Bapak Kardinal, bukan sebaliknya menyeret gereja untuk melampaui kewenangannya.
Calon Dirjen seperti itu pantas untuk dipertanyakan integritasnya, bagaimana kelak jika sudah menjadi Dirjen Bimas Katolik?
Semoga TPA dibawah pimpinan Bapak Presiden dapat memilih Dirjen Bimas Katolik yang terbaik, berintegritas tinggi dan dapat membawa perubahan di kementrian Agama.