Pernyataan Sikap Federasi Serikat Pekerja Mandiri (FSPM) dan Federasi Serikat Buruh Makanan Minuman (FSBMM): Melawan Omnibus Law, Melawan Perbudakan Modern
Jakarta, Gramediapost.com
lndeks Kemudahan Berusaha tahunan World Bank menunjukkan perjuangan modal asing untuk memaksimalkan fleksibilitas dalam menghadapi apa yang disebut “kekakuan” [peraturan pemerintah dan perlindungan sosial].
lndeks Kemudahan Berbisnis termasuk kemudahan mempekerjakan dan memecat pekerja, memudahkan biava yang harus dikeluarkan pemberi kerja saat memberhentikan pekerja, dan melemaskan kekakuan jam kerja.
Berdasarkan RPJMN 2010-2014, pemerintah SBY bertujuan untuk menaikkan posisi Indonesia dari peringkat 129 ke 75.
Pemerintah .lokowl kemudian tetap menjadikan lndeks EoDB bagian dari RPJMN 2020-2024, dengan target mencapai peringkat ke-SO terlepas dari konsekuensi sosial dan dampaknya terhadap hak asasi manusia.
Dalam publikasi Doing Business 2020 milik World Bank, pemerintah Indonesia dikatakan “terjebak” pada peringkat ke-73 dibandingkan dengan “keberhasilan” yang diraih negara-negara seperti Thailand dengan pemerintahan militernya yang naik dari peringkat 34 ke peringkat 21.
Tetapi, lndeks Hak Global ITUC menunjukkan bahwa untuk 2019, Thailand menjadi negara yang kondisinya lebih buruk untuk pekerja, hingga peringkatnya jatuh ke kategori 5: “tidak ada jaminan hak”.
Merasa kecewa dengan peringkat EoDB Indonesia di peringkat ke-73, pemerintah Presiden Jokowi mendeklarasikan agenda dorongan agresif bagi Indonesia untuk mencapai peringkat ke-40 pada tahun 2021.
Laporan Doing Business 2020 dari Bank Dunia menyatakan bahwa Indonesia tidak memberikan cukup fleksibilitas dalam mempekerjakan pekerja: seharusnya hal tersebut lebih mudah, lebih cepat dan lebih murah untuk memberhentikan pekerja; dan harusnya lebih mudah untuk mempekerjakan pekerja dengan kontrak jangka waktu tetap tidak permanen; tanpa batasan berapa kali untuk memperbarui kontrak berjangka tersebut;
Omnibus Law menyerang hak-hak pekerja untuk memaksimalkan fleksibilitas modal asing, dan merupakan bagian dari agenda pemerintah untuk mencapai peringkat ke-40 dalam peringkat lndeks Kemudahan Berusaha dengan pekerja dan serikat pekerja.
RUU Omnibus Law khususnya tentang ketenagakerjaan pada awalnya adalah melakukan revisi terhadap UU Nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan yang memang cacat sejak lahir, yang ditandai dengan tidak adanya Naskah Akademik dalam penyusunannya, termasuk juga sudah compang-camping UU 13 tahun 2003 karena sudah 34 kali dilakukan Uji Materi di Mahkamah Konstitusi, sehingga memang seharusnya dilakukan revisi atas undang-unda ng tersebut.
Namun demikian, dengan munculnya RUU Omnibus Law ketenagakerjaan yang akan merevisi UU Nomor 13 tahun 2003 seperti tersebut di atas, ternyata draft RUU Omnibus Law menjadi sebuah Tsunami kehancuran terhadap Hukum ketenagakerjaan di Indonesia.
Omnibus Law yang pada mulanya untuk menyederhanakan peraturan perundang-undangan yang tumpang tindih, ternyata melenceng dari tujuan utamanya, dengan dalih ramah terhadap investasi agar tercipta la pangan pekerjaan, pemerinmh Indonesia justru menjadikan rakyatnya menjadi budak di negerinya sendiri.
RUU Omnibus Ketenegakerjaan nyatanya justru meluluhlantahkan sendi-sendi aturan perburuhan yang selama ini sudah dianggap cukup ”adil”, karena, apabila Omnibus Law dibiarkan berlaku mnpa koreksi, maka yang terjadi adalah;
1. Hilangnya laminan Pekerjaan ( No Job Security).
2. Hilangnya Jaminan Pendapatan (No Income Security).
3. Hilangnya Jaminan Sosial (No Social Security).
Tldak adanya jaminan akan pekerjaan, tidak adanya jaminan akan pendapatan, dan tidak adanya jaminan sosial membuat buruh di Indonesia semakin tidak mempunyai kekuatan tawar, dan ini sama saja membiarkan terjadinya Perbudakan modern.
Hormat Kami
Galih Tri Pan alu (Sekretaris Umum FSPM)
Eko Sumaryono (Sekretaris Umum FSBMM)