*EDITORIAL MEDIA INDONESIA*
*Jakarta Ramah Banjir*
*PEMASALAHAN banjir di Ibu Kota sudah menyentuh kedaruratan*. Sebagian warga Ibu Kota kini mengalami banjir yang bukan lagi lima tahun sekali atau setahun sekali. *Belum juga bulan kedua berakhir, sejak awal tahun ini beberapa wilayah di DKI Jakarta diterpa banjir hingga tujuh kali.*
*Setiap hujan deras mengguyur semalaman sudah hampir dipastikan bakal ada wilayah yang kebanjiran*. Saking seringnya, barangkali warga sudah terbiasa untuk terjaga sepanjang durasi hujan. *Dengan begitu, mereka sudah tidak kaget lagi saat air tiba-tiba masuk ke rumah hingga setinggi tempat tidur.*
*Tidak kaget lagi bukan berarti tidak terganggu*. Banjir membuat aktivitas sehari-hari warga terhambat, aset terendam air, dan timbul kesibukan ekstra untuk bersih-bersih rumah setelah air surut.
*Kekerapan banjir merupakan salah satu indikasi Pemprov DKI Jakarta lebih banyak bersikap reaktif ketimbang preventif.* Langkah-langkah yang diambil hanya untuk mengatasi dampak banjir. Alih-alih menuntaskan persoalan agar banjir tidak menerpa kembali, *Pemprov DKI hanya mengadakan toa untuk meneriakkan peringatan bagi warga bahwa banjir akan datang.*
*Menyalahkan kondisi di hulu juga menjadi lagu usang*. Terbukti, hanya oleh hujan lokal, banjir lagi-lagi bertandang ke wilayah Ibu Kota. *Sungguh malas mencari akar masalah di kandang sendiri.*
*Coba tengok _underpass_ Kemayoran*. Sejak banjir besar awal tahun, setidaknya sudah empat kali terowongan itu tergenang banjir.
*Ketinggian air kurang lebih sama hingga tidak bisa dilewati kendaraan*.
*Artinya, sama sekali tidak ada yang dilakukan untuk mencegah air kembali menggenangi*. Kalaupun ada, terulangnya banjir dalam jangka waktu yang begitu dekat memperlihatkan ketidakbecusan mendiagnosis penyebab banjir. *Bila diagnosis salah, obatnya pasti keliru.*
*Dari sisi teknis, setidaknya ada dua penyebab utama banjir.* Pertama, daya tampung sungai yang sangat kurang. *Kedua, sistem drainase yang buruk. Keduanya merupakan akar permasalahan banjir di Ibu Kota.*
*Peningkatan kapasitas dengan cara melebarkan sungai saja tidak cukup*. Perawatan, antara lain dengan pengerukan secara berkala tiap minggu, harus terus-menerus dilakukan. *Alangkah baiknya bila peningkatan kapasitas sungai juga dibarengi dengan menambah waduk-waduk dalam kota*. Tentu saja, waduk-waduk itu juga tidak boleh luput dari perawatan berkala.
*Demikian pula sistem drainase*. Pembersihan jangan sampai berhenti atau berjeda hingga hitungan minggu. *Bila menyempit, harus dinormalkan*. Jika drainase terlalu sempit dan dangkal, mesti dilebarkan dan diperdalam. *Bahkan, sudah banyak ahli yang menyarankan gorong-gorong yang mendukung sistem drainase DKI Jakarta diganti dengan gorong-gorong raksasa*.
*Dengan banyaknya pekerjaan untuk menuntaskan persoalan banjir, tentu tidak ada alasan anggaran pengendalian banjir yang hanya Rp2,5 triliun tahun ini tidak terserap habis*. Sungguh aneh bila sampai serapan rendah padahal persoalan masih menghadang.
*Lebih aneh lagi jika ketidakmampuan menggunakan anggaran secara efektif itu menjadi alasan untuk memotong anggaran yang begitu krusial*. Tidak mengherankan jika banjir semakin kerap datang.
*Pemprov DKI Jakarta sangat menggebu merevitalisasi trotoar untuk menjadikan Ibu Kota ramah pejalan kaki*. Walaupun masih lemah dalam menegakkan aturan di trotoar, semangat mengutamakan pejalan kaki itu patut diapresiasi. *Namun, jangan harap acungan jempol untuk wujud Jakarta yang ramah banjir. Gila apa?!*