Jakarta, Gramediapost.com
Lingkaran Jakarta menggelar “Diskusi “Merdeka Jiwa dan Raga’, di Restoran Kanorai, Stasiun Gambir, Jakarta (14/8/19).
Tampil sebagai narasumber adalah Yustinus Prastowo, Hendar Putranto, Arif Susanto, Edisius Riyadi dan Agus Sudibyo.
Dalam pemaparannya, Yustinus Prastowo, Direktur CITA, menyatakan,”Setelah 73 tahun merdeka, Indonesia masih bergumul dengan berbagai macam permasalahan perekonomian. Indonesia saat ini berada pada situasi di mana tren pertumbuhan ekonomi yang cenderung menurun sejak tahun 2012 diikuti turunnya kinerja perpajakan, perekonomian yang hanya terpusat pada kelompok atas, penurunan jumlah penduduk miskin yang tergolong masih lambat, Gini ratio yang masih cukup tinggi meski mulai menunjukkan tren menurun. Kondisi ini merupakan buah dari proses panjang kebijakan ekonomi politik di Indonesia yang berimplikasi pada pembiayaan pembangunan ekonomi yang tidak lagi mengandalkan pajak tetapi utang luar negeri, pemusatan kekayaan pada segelintir kelompok, ketimpangan yang menganga, kemiskinan yang cukup tinggi, risiko pengangguran terbuka yang menghantui, proyek neoliberalisme, konglomerasi, dan deindustrialisasi. Penyimpangan pada cita-cita pendiri bangsa dapat dinilai sebagai defisit visi. Jika berpedoman pada cita-cita para pendiri Republik, perekonomian nasional seharusnya terarah pada keselamatan rakyat (bonum commune), berprinsip keadilan sosial, dengan pemerintah yang aktif sebagai pengawas dan pengatur, koperasi sebagai pengejawantahan prinsip keadilan sosial dan keselamatan rakyat, dan pajak sebagai sumber utama pendapatan negara. Oleh karena itu dibutuhkan reorientasi kebijakan ekonomi yang ‘Pancasilais’, yang kembali menjadikan manusia Indonesia sebagai subyek pembangunan, pemegang kedaulatan sekaligus penikmat kemakmuran menjadi hal yang sangat penting. Sehingga pada akhirnya kontestasi politik membutuhkan subyek-subyek yang aktif agar ide yang mendasari berdirinya republik ini menang.
Hari-hari ini, ruang publik kita disesaki perbantahan yang sungguh menguras energi. Tema utamanya adalah kondisi utang luar negeri Indonesia, khususnya yang dilakukan oleh Pemerintah. Ujung perdebatan adalah janji kampanye Presiden Joko Widodo yang tidak akan menambah utang luar negeri jika berkuasa. Faktanya dia justru menambah utang luar negeri meskipun didaku penggunaannya untuk tujuan-tujuan investasi yang lebih produktif. Jokowi dianggap ingkar janji. Publik seakan tak mau tahu bahwa kondisi perekonomian nasional dan keuangan negara memang sedang sulit. Lebih parah lagi, perdebatan kebijakan ekonomi kita hampir tak dipandu visi jangka panjang yang cukup meyakinkan dan menjanjikan. Kita lebih gemar mengulik angka-angka statistik untuk membenarkan posisi masing-masing daripada menengok kembali apa dan bagaimana Republik ini dibangun dan dimajinasikan. Persoalan konstitusi jatuh ke sekadar persoalan akuntansi.
Pangkal perdebatan yang meruncing ini patut diduga karena cuaca ‘tidak ada alternatif’ (there is no alternative) di bidang ekonomi, yakni ketika kita cenderung menerima apa yang ada sebagai terberikan (given) dan tidak berusaha mempertanyakan, pengandaian, termasuk kesesuaiannya dengan ideologi Negara, yaitu Pancasila. Sistem ekonomi pasar kapitalistik telah ada bahkan sebelum Republik ini berdiri. Cukup pasti perumusan corak haluan ekonomi negara sebagaimana muncul dalam diskusi-diskusi di Badan Persiapan diwarnai oleh arus utama ideologi ekonomi yang perkasa saat itu, kapitalisme dan sosialisme. Memeriksa apa yang sekarang terjadi dan mengenang sekaligus menghadirkan kembali (anamnesis) pemikiran para pendiri bangsa merupakan keniscayaan.
Kerangka Pemikiran Kebijakan Ekonomi
ini tidak hendak menelusuri dan mendefinisikan apa itu Ekonomi Pancasila. Beberapa definisi telah disusun oleh beberapa pemikir namun pembakuan konseptual terhadap sistem ekonomi yang dilandasi Pancasila rawan menggelincirkan kita pada ideologisasi ekonomi, mengerdilkan kekayaan pemikiran dan orientasi, serta mengaburkan spirit pembebasan yang justru menjadi ikhtiar para pendiri bangsa. Kita juga tak perlu jatuh ke ideologi “bukan-bukan”. Sebaiknya diperiksa pendapat dan gagasan yang mengemuka dan penting dijadikan dasar pijakan rekonstruksi kebijakan ekonomi yang sesuai ideologi Pancasila. Visi yang mengemuka selama sidang BPUPKI cukup jelas, misalnya tertuang dalam risalah berikut.
Pada dasarnya, perusahaan yang besar-besar yang menguasai hidup orang banyak, tempat beribu-ribu orang menggantungkan nasibnya dan nafkah hidupnya, mestilah di bawah kekuasaan Pemerintah. Adalah bertentangan dengan keadilan sosial, apabila buruk baiknya perusahaan itu serta nasib beribu-ribu orang yang bekerja di dalamnya diputuskan oleh beberapa orang partikulir saja, yang berpedoman pada keuntungan semata-mata. Pemerintah harus menjadi pengawas dan pengatur, dengan berpedoman pada keselamatan rakyat. Bangunan Koperasi dengan diawasi dan juga disertai dengan kapital oleh Pemerintah adalah bangunan yang sebaik-baiknya bagi perusahaan besar-besar.
Cukup terang, para pendiri bangsa pertama-tama tidak hendak merumuskan satu sistem baru di luar kapitalisme dan sosialisme, melainkan menegaskan pentingnya jalan ketiga yang melampaui hal-hal buruk yang ada pada kedua sistem itu. Eksistensi perusahaan yang besar dan tidak dikendalikan birokrasi adalah pengakuan pada kapitalisme sekaligus sebagai kritik. Namun menyerahkan pengelolaannya pada beberapa orang partikulir akan mengancam keadilan sosial. Sebaliknya, keadilan sosial dapat dicapai melalui koperasi, yang melibatkan modal dan pemerintah sebagai pengawas dan pengatur. Sidang BPUPKI menegaskan pentingnya tanah sebagai faktor produksi yang terutama dalam masyarakat Indonesia, haruslah di bawah kekuasaan negara, dan cara menjalankan eksploitasi bisa diserahkan kepada badan yang bertanggung jawab kepada Pemerintah.
Hal lain yang penting adalah ideologi perekonomian yang hanya dapat diselenggarakan berangsur-angsur dengan didikan pengetahuan, organisasi, idealisme dan rohani kepada orang banyak. Para Bapak Bangsa sadar bahwa kinerja perekonomian tidak dapat bergantung pada massa atau rakyat yang tidak berpengetahuan, melainkan yang sadar akan hak dan tanggung jawab, memiliki kecakapan teknis. Menariknya lagi, para pendiri bangsa menyadari pentingnya mengintegrasikan idealisme (visi) dan rohani (moralitas) dalam ideologi perekonomian. Di sisi lain, sidang juga menyadari pentingnya keuangan negara diatur dan dikelola. Dasar politik keuangan adalah “mencocokkan pengeluaran (belanja) dengan pendapatan”. Kekurangan pendapatan diisi dengan pungutan pajak (baru), pinjaman dalam negeri, memperkuat simpanan, memperbesar produksi, dan mengeluarkan uang kertas baru.
Pajak sebagai sumber keuangan negara yang utama, sejak awal didasarkan pada Undang-undang. Hal ini untuk menarik batas tegas antara pajak di era kolonial dan kemerdekaan, yang meskipun sifatnya memaksa tetapi didasarkan pada persetujuan wakil rakyat.
Ringkasnya, sistem perekonomian nasional yang diimajinasikan adalah (i) yang terarah pada keselamatan rakyat (bonum commune), (ii) berprinsip keadilan sosial, (iii) pemerintah yang aktif sebagai pengawas dan pengatur, antara lain melalui badan usaha milik negara, (iv) koperasi adalah pengejawantahan prinsip keadilan sosial dan keselamatan rakyat, (v) pajak sebagai sumber utama pendapatan negara. Sidang memberi panduan yang cukup jelas, bahwa perekonomian Indonesia Merdeka akan berdasar kepada cita-cita tolong-menolong dan usaha bersama, yang akan diselenggarakan berangsur-angsur dengan mengembangkan koperasi. Bung Hatta mengajukan tiga soal yang perlu dipecahkan sebagai pedoman, yakni (i) ideologi, tentang bagaimana mengadakan susunan ekonomi yang sesuai dengan cita-cita tolong menolong?, (ii) praktik, yaitu politik perekonomian yang praktis dan perlu dijalankan dengan segera di masa yang akan datang, dan (iii) koordinasi, untuk mengatur pembangunan perekonomian Indonesia supaya sejalan dengan gerak pembangunan dunia. Bung Hatta sendiri meyakini semakin pudarnya individualisme dan mengarah kepada kolektivisme yang terwujud dalam ‘kooperasi’.
Kondisi Empirik: Menjauh atau Mendekat
Indonesia telah merdeka hampir 73 tahun. Setidaknya kita telah mengalami tiga rezim ekonomi yang berusaha bereksperimen, menafsirkan, dan menyusun model kebijakan ekonomi yang berdasarkan Pancasila. Pertama, sistem perekonomian di bawah Demokrasi Terpimpin Sukarno atau Orde Lama – sebagaimana tercermin dalam Deklarasi Ekonomi (Dekon) – menekankan bahwa jalan ke arah sosialisme Indonesia harus ditempuh secara gotong-royong antara pemerintah dan rakyat. Penerapan sistem tersebut akhirnya gagal karena inflasi melambung dan inefisiensi. Kedua, sistem ekonomi Orde Baru di bawah Demokrasi Pancasila-nya Soeharto yang dimulai pasca Orde Demokrasi Terpimpin runtuh dan mendasarkan pada teknokrasi dan bertumpu pada pengendalian inflasi, memperbesar kue ekonomi melalui pertumbuhan yang ditopang investasi asing, perdagangan luar negeri yang terbuka, dan trickle down effect melalui konglomerasi. Sistem ini akhirnya runtuh seiring krisis keuangan global tahun 1997-1998, dengan menyisakan penumpukan kekayaan nasional pada segelintir pengusaha, korupsi yang merajalela, dan matinya inisiatif ekonomi rakyat yang diserap dan disubordinasi pemodal besar. Dan ketiga, era pasca Orde Baru yang hingga saat ini masih bergumul mencari bentuk, terapung di antara kontinuitas dan kebangkitan Orde Baru, otonomi daerah yang luas, militerisme yang belum sepenuhnya melepaskan cengkeraman, dan problem ketimpangan yang lebar serta kemiskinan akut.
Beberapa indikator ekonomi dan pembangunan dapat kita gunakan untuk membaca situasi saat ini dan mengujinya, apakah kita sedang menuju pada arah yang benar yakni cita-cita para pendiri Republik, atau justru menjauh. Berikut ini disajikan beberapa informasi dan data statistik untuk sekadar memberikan penilaian apakah kebijakan ekonomi nasional selaras dengan cita-cita para pendiri bangsa, yaitu (i) Produk Domestik Bruto, penerimaan pajak, tax ratio, (ii) distribusi pendapatan, distribusi simpanan, dan struktur penerimaan pajak, (iii) angka kemiskinan, rasio gini, tingkat pengangguran, dan deklarasi harta amnesti, (iv) utang luar negeri, (v) pengeluaran subsidi dan belanja infrastruktur. Pajak dipilih sebagai jangkar yang mengaitkan gagasan keadilan sosial karena pajak merupakan instrumen redistribusi yang efektif. Pajak adalah transfer kesejahteraan dari the have kepada the poor (Acemoglu dan Robinson: 2005). Secara empirik penelitian Kenny dan Winner membuktikan bahwa terdapat kaitan yang erat dan berbanding lurus antara pengakuan hak dan kebebasan sebagai bentuk demokrasi yang semakin baik dengan peningkatan penerimaan pajak penghasilan orang pribadi. Penelitian Boix juga menunjukkan hal positif di mana pengeluaran untuk kesejahteraan meningkat dalam sistem demokratis. Transisi menuju demokrasi membutuhkan peningkatan penerimaan pajak dan belanja publik sejalan dengan pemenuhan janji politik terhadap konstituen. Penelitian Paola Profeta dan Simona Scabrosetti menunjukkan korelasi positif bahwa penerimaan pajak berbanding lurus dengan keterbukaan ekonomi. Negara kaya lebih demokratis dibandingkan negara miskin. Di samping itu hasil penelitian menunjukkan negara-negara yang lebih demokratis memiliki tingkat penerimaan pajak yang lebih tinggi.
Penelitian Deborah Brautigam dkk. menunjukkan bahwa di negara-negara berkembang, kebijakan perpajakan dan administrasi perpajakan yang baik mendorong penguatan peran warganegara, prinsip demokrasi, dan kapasitas negara sekaligus. Dia meyakini sistem perpajakan yang baik dapat memainkan peran sentral dalam perkembangan dan keberlanjutan kekuatan negara dan masyarakat. Ini tampak dalam dua prinsip, pembebanan pajak sebagai proses negosiasi berbasis tawar-menawar (revenue-bargaining policy) akan mendorong demokrasi partisipatif, dan pengembangan institusional bagi penguatan kapasitas negara untuk menjalankan fungsinya secara optimal bersumber pendapatan pajak. Negosiasi berbasis tawar-menawar (revenue-bargaining policy) membutuhkan cara pandang berbeda bahwa persoalan pajak bukan semata-mata persoalan ekonomi, yang dapat diserahkan begitu saja pada penyelenggara negara dan diasumsikan netral dan serba jelas sebagaimana dipahami dalam corak pemerintahan teknokratik. Lebih dari itu pajak adalah persoalan politik yaitu bagaimana kesetaraan politik warganegara juga tercermin dalam kesetaraan kesejahteraan.
Ahmed Riahi-Belkaoui secara empirik menunjukkan kaitan antara kepatuhan pajak, korupsi, dan birokrasi. Ia ingin menjawab mengapa individu melakukan penolakan untuk patuh terhadap pajak. Hasilnya, ketika pemerintah melakukan debirokratisasi dan meningkatkan kontrol terhadap korupsi, kepatuhan pajak mencapai tingkat tertinggi. Artinya kepatuhan pajak berkorelasi positif terhadap kontrol terhadap korupsi dan sebaliknya berkorelasi negatif dengan derajat birokratisasi. Dari 30 negara maju dan berkembang yang diteliti, Indonesia tercatat berada pada level kontrol terhadap korupsi terendah (skor -0.79885), negara paling birokratis ke-3 (skor 17.6), dan level kepatuhan pajak (skor 2.53) di urutan ke-19. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa agenda reformasi perpajakan yang penting untuk meningkatkan kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan (tax compliance) adalah iklim dan moral perpajakan (tax morale and climate) yang melindungi pembayar pajak dari korupsi dan birokrasi yang tidak efektif.
Terkait dengan tax morale (moralitas pajak) dan kaitannya dengan kepatuhan pajak, penelitian Benno Torgler menunjukkan bahwa pembayar pajak lebih terdorong untuk patuh terhadap undang-undang jika pertukaran antara pajak yang dibayar dan kinerja pelayanan pemerintah berimbang. Torgler juga menemukan korelasi positif antara relijiusitas dengan tingkat kepatuhan pajak. Terkait dengan institusi, ditemukan fakta bahwa demokrasi langsung, tingkat kepercayaan pada pemerintah, sistem hukum dan peradilan. Salah satu ukuran rendahnya moralitas pajak adalah tingginya tingkat ekonomi informal (shadow economy). Secara relasional, tingkat kepatuhan pajak juga dipengaruhi perilaku sesama pembayar pajak. Jika penghindaran pajak ditoleransi, maka cenderung mendorong ketidakpatuhan pembayar pajak. Di sisi lain ditunjukkan bahwa apabila administrasi perpajakan mencoba untuk bersikap jujur, informatif, tanggap dalam melayani, bertindak sebagai institusi pelayan, dan memperlakukan pembayar pajak sebagai mitra – pembayar pajak cenderung ingin bekerjasama dengan otoritas. Valerie Braithwaite juga mengelaborasi sebuah pendekatan baru tentang model tax compliance. Bertolak dari pengalaman Australia dan Selandia Baru yang memiliki sistem kepatuhan yang baik, Braithwaite mengusulkan pendekatan perilaku (behavioural approach) yang sudah dipakai otoritas perpajakan Australia dikaji ulang.
Sejak Orde Baru, terutama mulai 2005 terjadi lonjakan Produk Domestik Bruto (PDB) yang cukup signifikan. Hal ini antara lain dipengaruhi lonjakan harga komoditas. Penerimaan pajak pun secara nominal ikut naik. Kurun 2005-2018, tren pertumbuhan ekonomi yang meningkat dan cenderung menurun sejak 2012 diikuti turunnya kinerja perpajakan. Tax ratio atau perbandingan antara penerimaan pajak dan Produk Domestik Bruto terus menurun. Cukup jelas relasi antara kebijakan pajak dan perekonomian bersifat pro-siklikal, di mana penerimaan pajak yang tinggi juga bertumpu pada lonjakan harga komoditas sehingga rentan terhadap shortfall.
Tumbuhnya kue ekonomi yang ditandai melonjaknya PDB ternyata juga diikuti distribusi pendapatan yang tidak merata. Dalam sepuluh tahun terakhir terjadi kecenderungan peningkatan pendapatan yang lebih cepat pada kelompok masyarakat berpendapatan tertinggi, daripada kelompok masyarakat yang berpendapatan menengah dan terbawah. Dengan kata lain surplus ekonomi terpusat pada kelompok atas yang memiliki akses yang lebih baik terhadap sumber daya.
Data simpanan pihak ketiga di perbankan sebagaimana dilansir Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) juga menunjukkan indikasi ke arah ketimpangan dan penumpukan kekayaan hanya pada sekelompok masyarakat. Hanya 265 ribu rekening atau 0,1% dari total rekening di bank sebesar 275,76 juta rekening menguasai Rp3200 triliun atau 60% dari total simpanan. Sebaliknya, 270 juta rekening hanya menguasai Rp837 miliar simpanan.
Kue pertumbuhan ekonomi yang sebagian besar dinikmati elite dan tercermin dalam proporsi simpanan di perbankan juga berkorelasi dengan struktur penerimaan pajak selama sepuluh tahun terakhir. Penerimaan PPN yang bersifat regresif karena tidak membedakan kemampuan membayar proporsinya melebihi PPh non migas. Hal ini diperparah dengan penerimaan PPh Orang Pribadi yang lebih kecil dibanding PPh Badan, dan PPh Orang Pribadi non karyawan sangat jauh di bawah penerimaan PPh dari karyawan. Dengan kata lain, di Indonesia masih terjadi ‘paradox of redistribution’ di mana kelompok menengah masih menyubsidi kelompok kaya melalui pembiayaan APBN. Pemungutan pajak belum mampu menyasar dan menjangkau kelompok kaya yang memiliki kemampuan membayar (ability to pay) lebih besar.
Data realisasi program amnesti pajak pun mengonfirmasi problem ketimpangan yang menganga. Diikuti tidak lebih dari satu juta wajib pajak, program ini berhasil mengungkap secara sukarela harta tambahan sebesar Rp 4.718 triliun atau rata-rata harta tiap peserta amnesti adalah Rp 4,7 miliar. Faktanya terdapat 291.331 wajib pajak yang deklarasi harta berupa kas/setara kas di atas Rp 1 miliar dan proporsinya sebesar Rp 1.739 triliun atau 95,5% dari total deklarasi kas/setara kas.
Di sisi lain jumlah penduduk miskin masih cukup tinggi meski secara relatif jumlahnya menurun. Namun kecepatan penurunnya lebih buruk dibanding kurun 1980-1996. Krisis ekonomi 1997-1998 telah memukul kelompok rentan sehingga terpelanting menjadi penduduk miskin.
Masih tingginya jumlah penduduk miskin juga diperparah dengan data ketimpangan. Angka ini berkorelasi dengan pertumbuhan ekonomi dan distribusi pendapatan. Gini Ratio Indonesia pasca Orde Baru cenderung meningkat meski menunjukkan tren menurun sejak 2014. Namun penurunan ini cukup lambat dan kurang menunjukkan proses redistribusi pendapatan yang adil.
Di lain pihak, tingkat pengangguran terbuka yang pernah mencapai angka tertinggi di 2005 meski cenderung menurun namun penurunan ini cukup lambat. Dengan kata lain, problem reindustrialisasi yang mampu menyerap lapangan kerja lebih banyak juga menjadi tantangan bagi Indonesia.
Belum optimalnya penerimaan pajak sebagai penopang utama pembiayaan pembangunan, dan di sisi lain kebutuhan pembiayaan yang terus meningkat memaksa berpaling pada utang luar negeri. Persentase utang luar negeri (pemerintah dan swasta) meski masih terjaga dan di tingkat aman, cenderung meningkat sejak 2014.
Yang cukup melegakan, realokasi belanja APBN ke belanja yang lebih produktif porsinya meningkat signifikan. Pada gambar berikut terlihat realokasi subsidi energi ke subsidi non energi, termasuk alokasi belanja infrastruktur yang meningkat pesat di 2019, bahkan dua kali lipat anggaran infrastruktur di 2014.
Hendak ke Mana Kita?
Kita sudah berselancar di semesta data yang setidaknya mampu memandu kita untuk merefleksikan posisi Indonesia saat ini dan ke mana hendak menuju. Jika disarikan, kondisi yang dihadapi saat ini sebagai buah dari proses panjang diskursus, eksperimen, dan implementasi kebijakan ekonomi politik di Indonesia, antara lain bisa disimpulkan:
Pertama, kemandirian pembiayaan pembangunan ekonomi sebagai dicita-citakan, yang mengandalkan pajak, belum optimal sehingga memaksa kita berkiblat pada utang luar negeri sebagai salah satu sumber penopang,
Kedua, model kebijakan ekonomi yang memperbesar kue pembangunan lalu membagikannya secara merata lebih sebagai ilusi. Pasca Orde Baru tidak terjadi pemerataan pendapatan sebagai wujud keadilan sosial. Yang terjadi justru sebaliknya, pemusatan kekayaan pada segelintir kelompok, ketimpangan yang menganga, kemiskinan yang cukup tinggi, dan risiko pengangguran terbuka yang menghantui.
Ketiga, eksploitasi sumber daya alam telah memompa pertumbuhan dan menjadi mesin pengerek pembangunan ekonomi. Namun hal ini semu dikarenakan tidak menciptakan nilai tambah dan hanya melestarikan surpus yang dinikmati segelintir orang yang memiliki akses pada kekuasaan dan sumber daya. Apa yang menjadi cita-cita pendiri bangsa, bahwa perekonomian tidak semata bisa dijalankan oleh korporasi melainkan pemerintah yang aktif sebagai pengawas dan pengatur, telah dibelokkan sebagai proyek neoliberalisme, yaitu pemodal yang berkaitkelindan dengan penguasa politik merengkuh kewenangan untuk mempermudah penguasaan sumber daya.
Keempat, kooperasi sebagaimana dicita-citakan Bung Hatta, yang menjadi kumpulan orang yang sadar sebagai kolektivitas dan dipandu visi gotong-royong maju bersama, semakin jauh dari kenyataan. Konglomerasi telah menggantikannya. Terlebih, deindustrialisasi yang terjadi karena ketiadaan skenario membangun industri yang kokoh dan tangguh berperan besar dalam pelestarian ketimpangan dan kemiskinan.
Kelima, alih-alih bergerak maju, kita seharusnya memasang punggung ke masa depan dengan awas mencermati dan menimba inspirasi dari para pendiri bangsa. Indonesia yang dicita-citakan adalah masyarakat adil makmur yang berkeadilan sosial yang juga merupakan salah satu unsur Pancasila sila ke-5. Keselamatan rakyat (bonum commune) adalah prinsip tertinggi dari tujuan bernegara. Maka reorientasi kebijakan ekonomi yang ‘Pancasilais’ adalah yang kembali menjadikan manusia Indonesia sebagai subyek pembangunan, pemegang kedaulatan sekaligus penikmat kemakmuran. Kita tidak anti sistem pasar namun tak boleh menyerah(kan) pengelolaan negara pada pasar. Pemerintah harus hadir sebagai pengawas dan pengatur yang memastikan redistribusi sumber daya terjadi dan mereka yang paling berkekurangan merupakan pihak yang paling diuntungkan.
Keenam, ekonomi tidak dapat dipisahkan dari moralitas. Tiap kebijakan dan tindakan ekonomi berimplikasi pada nasib warga negara sehingga memiliki konsekuensi moral. Meskipun terdapat penghematan asumsi dalam tiap analisis ekonomi, namun asumsi homo oeconomicus jelas tak memadai lagi. Manusia sekaligus homo socious, homo religious dan seterusnya. Pendekatan multi-matra akan memampukan kita lebih peka dalam merumuskan kebijakan ekonomi yang berorientasi pada keutamaan moral: adil, fair, akuntabel, transparan.
Ketujuh, membaca kembali Pancasila dan keseluruhan narasi diskursus yang mewarnai, akhirnya membawa kita pada kenyataan pahit. Kita mengalami kemunduran karena terjadi defisit visi. Ada kemalasan dan keengganan melihat kembali (revisit) spirit dasar kebijakan ekonomi yang dicita-citakan. Tentu saja ini musti dibaca secara kritis sebagai upaya hegemoni kelompok mapan-berkuasa. Maka pendidikan politik, termasuk ekonomi, menjadi tugas berat berikutnya. Kontestasi politik membutuhkan subyek-subyek yang aktif agar idea yang mendasari berdirinya republik ini menang. Proyek anamnesis (mengenang dan menghadirkan kembali) Pancasila tak lain adalah upaya sadar menggugat kondisi saat ini dan mentransformasikannya dengan memijak alasan berdirinya (raison d’etre) negara-bangsa ini.”