“AKTIVITAS KEAGAMAAN DAN RUMAH IBADAH”
Oleh: Advokat Kamaruddin Simanjuntak, S.H.
Hari ini saya sulit tidur, karena akibat pernyataan Menteri Agama RI yang sulit saya cerna yaitu :
“Menteri Agama Lukman Hakim Saefuddin menegaskan BAHWA RUMAH ATAU TEMPAT TINGGAL BOLEH DIJADIKAN TEMPAT MELAKSANAKAN AKTIVITAS KEAGAMAAN (Ibadah :red). “TIDAK TERHINDARKAN, YA, JIKA ADA KEGIATAN-KEGIATAN KEAGAMAAN DI RUMAH KITA,” ujar Lukman di Kompleks Istana Presiden, Jakarta, Senin (12/2/2018).
Sebaliknya, hal yang tak diperbolehkan adalah mengubah fungsi rumah atau tempat tinggal menjadi tempat ibadah tanpa prosedur. “YANG TIDAK BOLEH ITU ADALAH MENJADIKAN RUMAH KITA SEBAGAI TEMPAT IBADAH. Sebab, tempat ibadah itu ada ketentuan-ketentuan tersendiri,” lanjut dia.”
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul “Menag Tegaskan Aktivitas Keagamaan Boleh Digelar di Rumah”,
Aktivitas keagamaan terdiri dari dua kata atau istilah yaitu “aktivitas” dan “keagamaan”, istilah aktivitas berasal dari bahasa Inggris activity, yang berarti aktivitas, kegiatan, kesibukan.
Sedangkan kata “keagamaan” berasal dari kata dasar “agama” yang mendapat awalan “ke-“ dan akhiran “-an”. Agama itu sendiri mempunyai arti kepercayaan kepada Tuhan, ajaran kebaikan yang bertalian dengan kepercayaan.
Jadi kata aktivitas keagamaan mempunyai arti segala aktivitas dalam kehidupan yang didasarkan pada nilai-nilai agama, yang diyakini agar tidak terjadi kekacauan di dalam kehidupan sehari-hari.
Tempat ibadah, rumah ibadah, tempat peribadatan adalah sebuah tempat yang digunakan oleh umat beragama untuk beribadah menurut ajaran agama atau kepercayaan mereka masing-masing !
Dalam Undang-Undang Dasar 1945 dinyatakan bahwa “tiap-tiap penduduk diberikan kebebasan untuk memilih dan mempraktikkan kepercayaannya” dan “menjamin semuanya akan kebebasan untuk menyembah, menurut agama atau kepercayaannya”.
Dalam Penetapan Presiden No 1 Tahun 1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, bagaimanapun, secara resmi hanya mengakui enam agama, yakni Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Buddha dan Khonghucu.
Baru-baru ini, aliran kepercayaan (agama asli Nusantara) telah diakui pula sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia tertanggal 7 November 2017.
Dasar hukum yang menjamin kebebasan beragama di Indonesia ada pada konstitusi kita, yaitu Pasal 28E ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (“UUD 1945”):
“Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.”
Pasal 28E ayat (2) UUD 1945 juga menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan. Selain itu dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 juga diakui bahwa hak untuk beragama merupakan hak asasi manusia.
Selanjutnya Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 juga menyatakan bahwa Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduknya untuk memeluk agama.
Dalam Pasal 28J ayat (1) UUD 1945 diatur bahwa setiap orang wajib menghormati hak asasi orang lain.
Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 selanjutnya mengatur bahwa pelaksanaan hak tersebut wajib tunduk pada pembatasan-pembatasan dalam undang-undang (BUKAN PEMBATASAN BERDASARKAN SKB 2-3 MENTERI … !)
Hak asasi manusia tersebut dalam pelaksanaannya tetap patuh pada pembatasan-pembatasan oleh Undang-undang. (INI JELAS KELIRU, SEHARUSNYA HAK AZASI TIDAK BOLEH DIBATASI, YANG BENAR ADALAH, SEHARUSNYA DIATUR OLEH UNDANG-UNDANG RI, INI MALAH DIBATASI OLEH SKB 2-3 MENTERI PULA, BUKAN OLEH UU RI ) Karena hak azasi itu adalah bawaan lahir sebagai anugrah Tuhan Elohim.
Surat Keputusan Bersama (“SKB 2-3 Menteri”) Yaitu : SKB Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri No. 03 Tahun 2008, No. KEP-033/A/JA/6/2008 dan No. 199 Tahun 2008 tentang Peringatan dan Perintah Kepada Penganut, Anggota dan/atau Pengurus JAI dan Warga Masyarakat (“SKB Tiga Menteri”) adalah merupakan KEKELIRUAN TOTAL DAN BERTENTANGAN SECARA SUBSTANSIF DENGAN UUD 1945,
Adapun keberadaan SKB 2-3 Menteri ini, selama ini telah terbukti dipakai dan disalahgunakan oleh : “Pejabat Politisi, Ormas Radikal dan Aparatur Negara” untuk menindas umat beragama Minoritas, dalam hal perolehan dan/atau mengurus perizinan rumah/tempat ibadah, guna melaksanakan aktivitas keagamaan !
Bahwa adapun selama ini, yang diasumsikan menjadi dasar hukum penerbitan SKB Dua – Tiga Menteri tersebut (namun secara substantive tidak relevan dengan yang diatur oleh SKB 2-3 Menteri, khususnya tentang syarat perizinan mendirikan bangunan rumah ibadah dan/atau pemberian IMB bangunan peribadatan ) antara lain adalah :
– Pasal 28E, Pasal 281 ayat (1), Pasal 28J, dan Pasal 29 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
– Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 156 dan Pasal 156a;
– Undang-Undang Nomor 1/PnPs/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama ;
– Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969 tentang Pernyataan Berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden sebagai Undang-Undang (“UU Penodaan Agama”).
DASAR DASAR HUKUM DI INDONESIA UNTUK MELINDUNGI KEBEBASAN BERAGAMA :
Adapun dasar dasar hukum di Indonesia untuk melindungi kebebasan beragama terhadap enam agama yang diakui oleh negara, yaitu Islam, Katolik, Kristen, Buddha, Hindu, dan Konghucu serta penganut agama selain keenam agama resmi yang juga tetap memperoleh jaminan penuh oleh Pasal 29 (2) UUD 1945 selama tidak melanggar hukum Indonesia, Konstitusi dan hukum yang mengatur kebebasan beragama di Indonesia adalah sebagai berikut:
1. UUD 1945
BAB XA. HAK ASASI MANUSIA
Pasal 28E
(1) Setiap orang berhak memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali;
(2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya;
Pasal 28I :
(1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.
BAB XI. AGAMA
Pasal 29.
(1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa;
(2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Pasal-pasal tersebut di atas penerapannya dibatasi oleh hak-hak asasi orang lain yang diatur dalam pasal 28J sebagai berikut:
(1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara;
(2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan (SEHARUSNYA PENGATURAN, BUKAN PEMBATASAN HAK AZASI) yang ditetapkan dengan undang-undang (BUKAN DENGAN SKB 2-3 MENTERI) dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
2. Ketetapan MPR tentang Pancasila tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila.
Butir-butir pengamalan Pancasila diuraikan dalam Ketetapan MPR No. II/MPR/1978 tentang Ekaprasetia Pancakarsa menjadi 36 butir, khusus Sila Pertama diuraikan menjadi 4 butir.
Badan Pembina Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (BP7) menguraikan kembali ke-36 butir tersebut pada tahun 1995 menjadi 45 butir, 7 diantaranya merupakan butir Sila Pertama sebagai berikut:
1. Bangsa Indonesia menyatakan kepercayaannya dan ketakwaannya terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
2. Manusia Indonesia percaya dan takwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
3. Mengembangkan sikap hormat menghormati dan bekerjasama antara pemeluk agama dengan penganut kepercayaan yang berbeda-beda terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
4. Membina kerukunan hidup di antara sesama umat beragama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
5. Agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah masalah yang menyangkut hubungan pribadi manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa.
6. Mengembangkan sikap saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing.
7. Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa kepada orang lain.
Pada tahun 1998, TAP MPR No. II/MPR/1978 beserta penetapan Pancasila sebagai asas tunggal dicabut melalui TAP MPR No. XVIII/MPR/1998 dengan alasan politis yaitu penghapusan produk Orde Baru.
Bahwa Penghapusan ini dinilai sebagai suatu KESALAHAN FATAL karena menyebabkan konflik SARA menjadi tidak terbendung.
Di sisi lain, wacana penetapan kembali Pancasila sebagai asas tunggal ditentang oleh sebagian Ormas dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Pansus RUU Ormas (2012) karena sempat menimbulkan ketegangan antara ormas dengan pemerintah Orde Baru yang dinilai represif.
Bahwa Wakil Ketua Gerakan Pemuda Ansor Jawa Timur, Andry Dewanto (2016), berpendapat bahwa pemerintah seharusnya tidak mengesahkan organisasi-organisasi yang bertentangan dengan paham Pancasila.
Demikian juga Ketua Pimpinan Besar Nahdlatul Ulama, Saifullah Yusuf (2016), juga menyatakan bahwa ajaran yang ingin mengubah ideologi Pancasila sangat tidak bisa dimaafkan.
3. Peraturan perundangan lain
1. UU RI Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
• Pasal 4. “Hak. untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun.”
• Pasal 22 (1). “Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”
• Pasal 22 (2). “Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”
2. UU Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.[9]
• Pasal 80. “Pengusaha wajib memberikan kesempatan yang secukupnya kepada pekerja/buruh untuk melaksanakan ibadah yang diwajibkan oleh agamanya.”
• Pasal 185 (1). “Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam … Pasal 80 … dikenakan sanksi pidana penjara … dan/atau denda … .
3. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP):
• Pasal 175. “Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan merintangi pertemuan keagamaan yang bersifat umum dan diizinkan, atau upacara keagamaan yang diizinkan, atau upacara penguburan jenazah, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan.”
Sudah seharusnya SKB 2-3 Menteri ini segera dicabut karena bertentangan dengan UUD 1945 dan segera diganti dengan Undang-undang RI tentang “Jaminan Kebebasan & Perlindungan Umat Beragama & Beribadah” menurut keyakinan dan kepercayaanya itu, agar selaras dengan amanat Konstitusi NKRI dan/atau UUD 1945 pasca Amandemen IV.
Bahwa apabila terjadi pelanggaran hukum dan/atau kejahatan hukum terhadap Agama dan Umat Beragama, maka Polri dan Kejaksaan RI dapat bertindak atas nama alat negara guna memberikan pelayanan perlindungan hukum kepada setiap WNI khususnya Korban kejahatan.
Sementara bila pengaturannya hanya sebatas SKB 2-3 Menteri, maka setiap kali SKB 2-3 Menteri tersebut dilanggar, maka aparat Polri & Kejaksaan RI tidak mempunyai kewenangan apapun untuk menindak & menegakkan SKB 2-3 Menteri dimaksud, karena pelanggaran terhadap SKB 2-3 Menteri hanya dianggap bersifat administratif saja dan upaya hukumnya adalah Gugatan TUN atau uji Materil ke MA RI, malahan yang dominan menegakkan SKB 2-3 Menteri tersebut selama ini justeru hanya “Ormas Radikal” tanpa dasar hukum, sementara Polri dan Kejaksaan cenderung hanya menjadi Penonton saja.
Demikian pencerahan dalam artikel ini, semoga bermanfaat
Horas
Advokat Kamaruddin Simanjuntak, S.H.