Jakarta, Gramediapost.com
Pasar Modal Indonesia masih sangat baik, tercermin dari masih maraknya aktivitas perusahaan yang menggalang dana.
Perkembangan Pasar Modal Indonesia ke arah yang lebih baik merupakan cita-cita yang diinginkan seluruh stakeholders pasar modal. Namun demikian, dibutuhkan kerja sama dari seluruh pihak agar dapat menjaga Pasar Modal Indonesia di kondisi yang stabil dengan mengerahkan seluruh upaya terbaik.
Hari Jumat, 7 September 2018, Bursa Efek Indonesia (BEI) bersama self-regulated organization (SRO) menyelenggarakan Diskusi Panel Investor Gathering yang diselenggarakan di Main Hall BEI dengan mengangkat tema “Menyikapi Volatilitas Perdagangan Saham di Bursa Efek Indonesia”. Diskusi panel ini mengundang Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal Otoritas Jasa Keuangan Hoesen, Kepala Grup Riset Ekonomi Departemen Kebijakan Ekonomi & Moneter Bank Indonesia Reza Anglingkusumo, Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Republik Indonesia Suahasil Nazara, dan Chief Economist PT Standard Chartered Bank Indonesia Aldian Taloputra.
Hoesen memaparkan bahwa dinamika yang terjadi di sektor keuangan masih banyak dipengaruhi oleh faktor eksternal, meliputi perang dagang antara AS dan Tiongkok serta meningkatnya eskalasi krisis di Argentina, Afrika Selatan, dan Turki. Meski menghadapi tantangan ekonomi global, Hoesen menyampaikan bahwa kinerja Pasar Modal Indonesia masih sangat baik, tercermin dari masih maraknya aktivitas perusahaan yang menggalang dana melalui pasar modal, yang mana diharapkan dapat melampaui pencapaian tahun 2017 yang sebanyak 46 emiten saham dan obligasi baru.
“Di samping itu OJK juga terus berkoordinasi dengan Pemerintah dan Bank Indonesia untuk menjaga stabilitas di Sektor Jasa Keuangan,” papar Hoesen.
Secara khusus, OJK terus fokus untuk melaksanakan pendalaman di Sektor Jasa Keuangan khususnya di Pasar Modal dengan berbagai kebijakan di sisi demand, supply, dan infrastruktur. Dari sisi demand, OJK akan mengedepankan berbagai program, meliputi Pengaturan Perusahaan Efek Daerah dan Perantara Pedagang Efek Efek Bersifat Utang dan Sukuk, Pengembangan Transaksi Online Pemasaran Reksa Dana, Simplifikasi Pembukaan Rekening, dan Mendorong Pendirian Perusahaan Efek Daerah.
Sementara program dari sisi supply, meliputi Mendorong Penerbitan Produk Mikro (Reksa Dana), Pengembangan Obligasi dan Sukuk Daerah, Dana Tapera, Rencana Variasi Produk Reksa Dana Syariah, Pengembangan Produk Derivatif, dan Percepatan Proses Penawaran Umum. Dan terakhir program dari sisi infrastruktur meliputi Lembaga Pendanaan Efek, Penyelesaian T+3 menjadi T+2, Implementasi e-Registration, Implementasi Electronic Trading Platform Tahap 2, dan Implementasi e-Bookbuilding.
Ketidakpastian Ekonomi Global
Reza menyampaikan bahwa ketidakpastian ekonomi global meningkat di tengah pertumbuhan ekonomi yang tidak merata yakni kuatnya laju ekonomi AS dibandingkan negara di kawasan Eropa, Jepang, serta Tiongkok. Ketidakpastian turut diikuti dengan kenaikan Fed Fund Rate, ketegangan perdagangan antara AS dengan sejumlah negara, serta risiko rambatan dari gejolak ekonomi di Turki dan Argentina.
“Ketidakpastian ini memicu pembalikan modal asing dan apresiasi nilai tukar Dolar AS secara luas sehingga turut menekan nilai tukar mata uang global khususnya negara Emerging Market termasuk Indonesia,” kata Reza.
BI melihat meningkatnya tren impor perdagangan di Indonesia mencerminkan meningkatnya permintaan dan aktivitas ekonomi domestik, namun di sisi lain turut berdampak pada meningkatnya defisit transaksi berjalan yang mencapai US$8 miliar di Kuartal II 2018. Untuk itu, dibutuhkan penguatan di bidang ekspor barang dan jasa sehingga mampu menekan tren defisit transaksi berjalan di tahun 2018 sesuai dengan target di kisaran 2,5 persen – 3 persen dari GDP. Secara khusus untuk menekan defisit transaksi berjalan, BI mendukung implementasi program B20, sinergi dalam akselerasi penerimaan devisa, dan serta mendukung kebijakan fiskal untuk mendorong ekspor dan mengurangi impor.
Ke depannya, BI melihat prospek nilai tukar Rupiah diperkirakan tidak seberat tahun 2018 ini seiring terkendalinya laju inflasi dan prospek pertumbuhan ekonomi Indonesia ke depan. BI memproyeksikan pertumbuhan ekonomi tahun 2018 dan 2019 masing-masing berkisar di 5,0 persen – 5,4 persen dan 5,1 persen – 5,5 persen. Adapun laju inflasi diperkirakan stabil di kisaran 3,5 persen+1 persen untuk tahun 2018 dan 2019.
Pada kesempatan lain Suahasil menyampaikan bahwa tantangan pertumbuhan ekonomi Indonesia ke depannya bersumber dari dinamika perekonomian global yakni tekanan pasar keuangan akibat normalisasi moneter AS, moderasi ekonomi Tiongkok, proteksionisme, perang dagang AS dan Tiongkok, ketegangan geopolitik dan perubahan iklim atau cuaca ekstrim. “Namun Perekonomian Indonesia masih jauh lebih baik dibandingkan negara lain yang disebabkan oleh pertumbuhan ekonomi yang sehat, terkendalinya inflasi, ruang moneter yang memadai (suku bunga dan cadangan devisa), terjaganya kepercayaan konsumen, dan stabilitas politik,” jelas Suahasil.
Dalam menghadapi defisit transaksi berjalan, Suahasil mengemukakan strategi perbaikan melalui kebijakan fiskal diantaranya pengendalian impor melalui penggunaan B20, kenaikan tarif impor barang konsumsi, peningkatan komponen lokal pada proyek infrastruktur serta mendorong ekspor dan investasi. Di tahun 2019, rancangan APBN turut mendorong investasi dan daya saing melalui pembangungan sumber daya manusia dengan peningkatan kualitas belanja yang didukung penguatan akuntabilitas.
Aldian turut memaparkan bahwa laju pertumbuhan ekonomi global akan melambat seiring dengan berakhirnya kebijakan relaksasi moneter dari berbagai bank sentral utama dunia. Di sisi lain, isu perang dagang AS dan Tiongkok juga masih menjadi tema utama dalam pengambilan keputusan investasi tingkat global.
“Ini semua turut memberi dampak terhadap pergerakan Rupiah dan defisit transaksi berjalan Indonesia. Aldian mengemukakan beberapa kebijakan yang dapat dilakukan Pemerintah seperti menunda proyek infrastruktur yang non-prioritas, implementasi B20, kebijakan pajak impor dan promosi pariwisata,” ujar Aldian.
Standard Chartered memproyeksikan pertumbuhan ekonomi di tahun 2018 dan 2019 masing-masing pada kisaran 5,1 persen dan 5,2 persen. Sementara nilai tukar Rupiah pada kisaran Rp14.200 dan Rp14.600 di tahun 2018 dan 2019.
Self Regulatory Organization (SRO) terus berkoordinasi dengan Otoritas Jasa Keuangan, Bank Indonesia, dan Pemerintah dalam menjaga stabilitas perekonomian, khususnya Pasar Modal Indonesia. Diharapkan sinergi dan koordinasi ini dapat terus menjaga stabilitas di sektor keuangan seiring fundamental perekonomian Indonesia yang sangat baik ke depannya.