Jakarta, Gramediapost.com
Tekad reformasi, 20 tahun lalu, lahir bukan hanya dari gerakan mahasiswa dan para elit politik, melainkan juga dari gerakan perempuan. Sayangnya, beban dan perjuangan perempuan luput dalam penilaian politik dan narasi sejarah gerakan reformasi. Padahal, sejak krisis ekonomi 1996 dan sepanjang krisis politik yang berpuncak pada Kerusuhan 13-14 Mei 1998, perempuan bergerak, baik secara terorganisir maupun spontan, untuk menanggapi krisis-krisis tersebut. Perempuan bangkit sebagai warga yang melawan kekerasan dan ketidakadilan serta membela sesamanya yang dijarah dan diperkosa secara biadab dan yang kehilangan anak dan anggota keluarganya dalam aksi penembakan dan pembakaran.
Sesungguhnyalah, demokrasi yang dibangun selama 20 tahun ini berdiri di atas penghancuran harga diri dan martabat perempuan, di atas kaki dan tangan perempuan yang melawan kekuasaan yang menyeleweng dan menindas. Kenyataan ini jangan pernah dilupakan! Apalagi kini, saat mana demokrasi telah direduksi menjadi kesibukan elektoral yang dikuasai elit-elit politik sekedar untuk merebut kekuasaan setiap lima tahun.
Gerakan perempuan membangun emosi politik (political emotion), yaitu politik empati yang bersumber pada etika kepedulian (ethics of care) untuk melawan otoritarianisme yang patriarkis-militeristik (bapak-isme). Ketika terjadi krisis ekonomi, Suara Ibu Peduli dibentuk memobilisasi empati massa dan membangun solidaritas terhadap para ibu yang tak sanggup membelikan anaknya susu. Susu dalam arti simbolis adalah makna gizi dan nutrisi bagi anak-anak, dan dalam arti harfiah negara bahkan tidak mampu memenuhi hal-hal mendasar mengenai asupan gizi dan nutrisi itu sendiri. Ketika berjatuhan korban-korban akibat penyerangan rezim terhadap “kekuatan-kekuatan yang melawan”, termasuk pembantaian, penculikan dan pemenjaraan aktivis muda, gerakan perempuan membentuk crisis centre untuk pemulihan baik bagi korban dan keluarga korban yang mengalami trauma dan ketakutan sangat mendalam. Gerakan perempuan juga berjuang untuk melawan stigma terhadap korban dan keluarganya. Pun ketika terjadi penyerangan seksual, penembakan, pembakaran, selama 12-14 Mei 1998, crisis centre yang dibangun oleh gerakan perempuan berupaya untuk membangun gerakan empati yang meluas ke seluruh Indonesia. Dalam proses itu gerakan perempuan juga melakukan pendataan terhadap korban kekerasan seksual dalam wadah Tim Relawan untuk Kemanusian divisi “perempuan”. Tetapi gerakan perempuan bukan mengejar jumlah angka korban kekerasan seksual dan kekerasan lainnya, melainkan berupaya menciptakan etika kepedulian dalam gerakan reformasi, dalam solidaritas sosial. Sebab, gerakan perempuan menginginkan perubahan reformasi dan demokrasi dilambari oleh etika kepedulian, dan bukan egoisme kelompok, kebrutalan, kesewenang-wenangan, diskriminasi maupun penistaan terhadap perempuan, anak, dan kelompok masyarakat lainnya yang miskin.
Tampaknya sedikit yang menyadari segala pesan dan tindakan gerakan perempuan pada 20 tahun yang silam. Maka kami harus menekankan kembali bahwa seluruh pesan dan tindakan yang dibangun oleh gerakan perempuan dalam perjuangan reformasi saat itu adalah untuk membangun budaya politik baru, yaitu politik yang berlandaskan etika kepedulian yang diwarnai empati terhadap satu sama lain, solidaritas terhadap satu sama lain, dan memberi kesempatan tumbuh terhadap satu sama lain. Sebaliknya, gerakan perempuan melawan politik maskulin yang menggunakan cara brutal dan sewenang-wenang untuk melanggengkan atau merebut kekuasaan. Dengan kata lain budaya politik yang ditumbuhkan gerakan perempuan itu untuk menciptakan demokrasi yang sejati dan bukan demokrasi yang otoriter dan fasis.
Setelah Kerusuhan 13-14 Mei 1998, gerakan perempuan berjuang untuk meminta pertanggungjawab penyelenggara negara terhadap tindakan brutal selama kerusuhan tersebut. Gerakan perempuan menuntut Presiden Habibie selaku kepala negara untuk meminta maaf kepada para korban dan publik atas munculnya kejadian kekerasan tersebut. Tetapi permintaan maaf itu sampai 20 tahun ini belum pernah dinyatakan oleh berbagai presiden setelah reformasi. Meski pun demikian, gerakan perempuan berhasil menuntut kepada negara untuk mengeluarkan keputusan pembentukan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan). Gagasan utama pembentukan Komnas Perempuan adalah melanjutkan kembali perjuangan untuk melawan berbagai bentuk kekerasan terhadap perempuan, dan mendorong organisasi-organisasi masyarakat untuk mengambil peranan dalam gerakan pemulihan korban. Mandat itulah yang mendorong lahirnya gerakan women’s crisis centre di seluruh Indonesia. Sekali lagi, gerakan ini untuk mewujudkan lebih konkrit makna dari etika kepedulian sebagai budaya politik baru dalam demokrasi di Indonesia.
Pada tanggal 22 Desember 1998, gerakan perempuan menyelenggarakan kongres di Yogyakarta yang memandatkan sebuah agenda afirmatif kuota 30 persen keterwakilan perempuan dalam lembaga politik formal. Tentu saja bahwa gerakan afirmatif kuota 30 persen ini merupakan sarana untuk menciptakan habitus budaya politik baru yang berlandaskan etika kepedulian. Maka gerakan crisis centre, Komnas Perempuan dan gerakan afirmatif (melalui pembentukan Koalisi Perempuan Indonesia) kuota 30 persen itu dapat kami nyatakan sebagai “menara gerakan” dan institusionalisasi budaya politik baru yang berlandaskan pada etika kepedulian untuk menyumbangkan bangunan demokrasi di Indonesia 20 tahun ke depan (sejak 1998).
Saat ini, reformasi telah melewati 20 tahun kemudian. Dua puluh tahun adalah usia satu generasi. Kita boleh berdiam sejenak dan bertanya: Adakah gagasan gerakan perempuan itu terwujud? Adakah etika kepedulian telah mentransformasi budaya politik baru dalam demokrasi yang berlangsung di Indonesia saat ini? Adakah transformasi dalam kehidupan korban khususnya dan perempuan secara umum hingga memenuhi kapabilitas manusia seutuhnya?
Berdasarkan refleksi “20 tahun reformasi” oleh sebagian pelaku gerakan perempuan pada 11 Mei 2018, kami menilai bahwa:
1.Dalam Bidang Politik
Mencatat adanya kemajuan yang telah dicapai oleh gerakan afirmatif dalam politik formal. Kuota 30 persen adalah upaya mengubah posisi perempuan secara struktural melalui sistem dan kebijakan. Tujuannya adalah menciptakan situasi yang kondusif bagi kemunculan perempuan sebagai agen perubahan melalui feminisasi politik dimana niatnya tidak hanya sekedar mencapai angka 30 persen. Kuota hanyalah pintu menuju perubahan yang substantif dalam relasi kuasa yang timpang antara laki-laki dan perempuan di semua aspek kehidupan.
Tetapi dalam perwujudannya, partisipasi perempuan dalam ruang politik formal itu tidak bisa bebas dari sistem politik praktis yang bersifat oligarkis dan berbasis dinasti. Kendati muncul kandidat-kandidat perempuan dalam kontestasi pemilu, yang terjadi adalah pelanggengan politik maskulin yang penuh penyalahgunaan kekuasaan dan kesewenang-wenangan.
Capaian gerakan perempuan lainnya adalah terbitnya UU P-KDRT yang melindungi ranah privat perempuan dalam relasinya dengan pasangan hidup, orang tua, dan anggota keluarga lainnya, dari tindakan kekerasan. Terbitnya undang-undang ini cukup banyak membantu para perempuan dalam mencari keadilan bagi dirinya.
Secara keseluruhan, di bidang politik, 20 tahun reformasi memang menghasilkan kesetaraan, tetapi belum mencapai keadilan. Cuaca politik di Indonesia selama 20 tahun ini malahan terjebak dalam polarisasi politik guna mendukung dinasti dan oligarki politik untuk berkuasa. Selain itu menguatnya politik identitas mempersubur tumbuhnya gerakan-gerakan atas nama agama yang menggunakan cara terror dan mendomestikkan kembali perempuan.
2.Dalam Bidang Ekonomi-Sosial
Dalam bidang ekonomi, reformasi tidak cukup memperbaiki penghasilan perempuan sehingga mencapai kesetaraan dengan laki-laki untuk kerja yang sama nilainya. Kesenjangan sosial justru semakin menguak besar sambil ekonomi nasional bertumbuh. Menguatnya gerakan buruh perempuan, petani perempuan, dan protes terhadap ruang hidup mereka yang telah dirampas untuk kepentingan industri, menandaskan krisis ekonomi 20 tahun lalu belum beranjak sampai saat ini. Dalam banyak kasus perempuan makin tersingkir dari ruang hidupnya, baik sebagai pencari nafkah maupun melangsungkan kehidupan secara keseluruhan.
Diterapkannya Millenium Development Goals (MDGs) pada 2015 dan dilanjutkan oleh Sustainable Development Goals (SDGs) pada 2015 di Indonesia untuk mencapai kesetaraan sosial dan peningkatan kualitas hidup pun masih memperlihatkan angka kematian ibu melahirkan dan bayi masih cukup tinggi, perkawinan anak perempuan cukup signifikan, kelaparan balita dan kegagalan tumbuh (stunting) masih dijumpai di Papua daan Indonesia bagian Timur lainnya.
3.Dalam Bidang Budaya
Selama 20 tahun reformasi, narasi gerakan perempuan hanya samar-samar berkumandang dan menghadapi tantangan berat dalam menciptakan wacana reformatif dan demokrasi. Maka impian untuk membangun budaya politik baru berlandaskan etika kepedulian justru sedang menghadapi tantangan berat oleh sikap intoleran dan egoisme kelompok, politik brutal dan devide et impera, korup, dan maraknya teror bom bunuh diri yang menggunakan perempuan dan anak sebagai martir.
Dua puluh tahun reformasi ini di bidang budaya sungguh mengalami ancaman yang serius. Norma-norma intoleran telah mewarnai kurikulum pendidikan, mulai dari PAUD, TK, SD sampai universitas. Pengajaran tentang sastra, seni, dan kemanusiaan telah direduksi ke dalam pengajaran agama yang intoleran. Anak-anak telah dibentuk untuk intoleran, anti terhadap komunitas di luar dirinya, bahkan dibenarkan untuk melakukan kekerasan terhadap orang yang mereka tempatkan liyan. Khusus bagi perempuan telah diatur sejak cara berpakaian, cara mengembangkan kapabilitasnya, memilih pasangan hidup, perkawinan dan menentukan jumlah anak. Norma intoleran ini justru hadir untuk menghancurkan etika kepedulian yang 20 tahun berusaha dibangun oleh gerakan perempuan.
4.Dalam Konteks Geopolitik Regional/Global
20 tahun reformasi tidak dapat terisolir dari konteks global masa kini yang sama mengarah pada otoritarianisme: termasuk terorisme yang menjadi gerakan global yang meluas.
Ruang-ruang negosiasi di PBB dan forum-forum manca negara lainnya nyaris tersandera oleh kekuatan konservatif dan otoritarian, acapkali atas nama perlindungan bagi keluarga dan menentang cara pandang tentang seksualitas yang manusiawi. Indonesia terseret pada kondisi geopolitik yang tengah menggoyahkan tatanan dunia, dan perempuan di seluruh dunia ikut terseret pada arus tersebut. Konservatifisme dan otorianisme menjadi nafas dan logika yang tengah menguat di berbagai negara dan yang menambah pekerjaan gerakan perempuan dimana-mana. Tema tentang keluarga dijadikan alat politik global. Sekularisme yang sebenarnya memberi ruang-ruang budaya dan pemikiran yang membebaskan dan melahirkan kesetaraan dan demokrasi, diganti dengan tema yang tunggal seperti keagamaan.
Namun demikian terdapat keberhasilan perempuan dalam mereformasi kebijakan keamanan di level global dengan hadirnya Rekomendasi Umum 30 CEDAW tentang perempuan dan konflik, (termasuk 1325). Masuknya perempuan di parlemen dapat melahirkan amandemen HAM dalam konstitusi, termasuk proses penting melahirkan Mahkamah Konstitusi, LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban), serta Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan).
5.Dalam Konteks Gerakan Perempuan
Sesungguhnya dalam 20 tahun ini gerakan perempuan telah menyebar dan tidak terpusat di kota besar maupun NGO perempuan. Pada level daerah, bahkan satuan administrasi desa atau kelurahan telah muncul kelompok-kelompok perempuan “ibu rumah tangga” untuk mengadvokasi jaminan sosial, anggaran untuk Posyandu dan PKK atau untuk pengembangan sosial-ekonomi kelompok, dan lainnya. Sebagian dari mereka merupakan aktivis PKK dan Posyandu yang berkembang progresif berkat kerjasama dengan aktivis perempuan NGO atau lainnya. Para perempuan ini telah bertarung secara politik dalam pemilu kepada desa atau merebut jabatan ketua RT/RW. Upaya politik mereka ini meskipun masih kecil persentasenya tetapi secara kualitatif cukup berhasil.
Selain itu juga tumbuh serikat-serikat, seperti serikat buruh perempuan –termasuk buruh migran, serikat tani perempuan, serikat kepala keluarga perempuan (PEKKA), kelompok perempuan adat yang melawan industri ekstraktif, dan lainnya. Mereka berorganisasi dan melawan kekuatan ekonomi-politik yang merampas sumber-sumber penghidupannya.
Di kalangan generasi muda perempuan kampus, telah tumbuh minat berkelompok melalui seni visual dan gerakan pop-art. Mereka telah menghasilkan karya-karya milenial sebagai bentuk protes maupun karya testimoni berdasarkan pengalaman empirik mereka tentang kerusuhan Mei 1998.
Kemajuan lainnya adalah telah bertumbuh keberanian dan rasa percaya diri perempuan untuk melaporkan kepada institusi berwenang, seperti Komnas Perempuan, mengenai pelbagai pelanggaran hak asasi, termasuk perampasan ruang hidup, yang mereka alami. Dalam konteks keterbukaan ini juga telah tumbuh gerakan LGBTQ dan penerimaan publik terhadap mereka —meski dalam skala kecil.
Pada catatan penutup ini, kami kembali pada pertanyaan di muka: Adakah gagasan gerakan perempuan itu terwujud? Adakah etika kepedulian telah mentransformasi budaya politik baru dalam demokrasi yang berlangsung di Indonesia saat ini? Adakah transformasi dalam kehidupan korban khususnya dan perempuan secara umum hingga memenuhi kapabilitas manusia seutuhnya?
Kami harus mengakui bahwa perjuangan gerakan perempuan sejak reformasi hingga 20 tahun ini telah berhasil mencapai pengakuan formal (recognition) oleh negara. Tetapi pengajuan formal itu tidak sebanding dengan adanya redistribusi kuasa (power) untuk perempuan dari aras makro maupun mikro. Perempuan memperoleh kuota 30 persen dalam pemilu, tetapi tidak sama dengan memiliki power terhadap keberhasilannya dalam pemilu. Pun perempuan yang berada di parlemen tidak sama dengan memiliki power di dalamnya. Begitu juga di dalam keluarga, para ibu atau isteri yang melakukan kerja domestik sekaligus pencari nafkah masih dianggap sebagai pencari nafkah sampingan. Apalagi dalam hal produksi nilai dan norma, para perempuan semakin kehilangan kedaulatan bahkan untuk mengatur dirinya, seksualitasnya, tubuhnya dan visi hidupnya.
Dengan kata lain, demokrasi yang saat ini diklaim sebagai keberhasilan reformasi sesungguhnya adalah demokrasi minus etika kepedulian, minus redistribusi power, minus transitional justice, dan pada akhirnya menjadi demokrasi yang mengambang —yang tidak mencapai substansinya. Maka kita makin jauh dari budaya politik yang sehat untuk membangun karakter bangsa yang kokoh.
Rekomendasi:
1.Kepada legislatif, agar mendorong pengarusutamaan kepentingan, peran, dan partisipasi perempuan dalam penyusunan kebijakan baik di tingkat pusat maupun daerah yang menghapus hambatan dan stereotype kultural maupun sosial tentang peran perempuan, termasuk penghapusan terhadap kekerasan terhadap perempuan di ruang privat maupun publik, dengan mengedepankan pemajuan dan perlindungan HAM dalam peraturan perundang-undangan Indonesia;
2.Kepada eksekutif, agar mengembangkan tata kelola pemerintahan yang berkeadilan gender, baik dalam perumusan program pembangunan, perumusan anggaran, dan pengawasan pelaksanaan program pemerintah;
3.Kepada lembaga yudikatif, agar mengembangkan tata kelola peradilan yang berkeadilan gender dan peka terhadap ketimpangan gender, khususnya terhadap perempuan, yang masih sering terjadi di dalam proses pengusutan, pengadilan, maupun pemulihan bagi perempuan korban;
4.Kepada institusi pertahanan dan keamanan, agar menjaga keamanan, perlindungan masyarakat, termasuk perempuan dan anak-anak, dari ancaman, teror, dan ketakutan.
5.Kepada para politisi, aktor, dan partai-partai politik, agar membangun budaya politik yang peduli pada keamanan, perdamaian, tidak bermuatan menghasut, dan mengedepankan keadilan bagi masyarakat umum dan perempuan;
6.Kepada masyarakat, agar tetap menjaga dan membangun perdamaian, tidak menyebar kebencian, dan menciptakan budaya demokrasi yang sehat.
Pernyataan ini disampaikan oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) berdasarkan konsultasi dengan masyarakat dan gerakan perempuan.
Kontak Narasumber:
Azriana Manalu, Komisioner (0811 6724 41)
Mariana Amiruddin, Komisioner (081210331189)
Yuniyanti Chuzaifah, Komisioner (081311130330)
Adriana Venny, Komisioner (08561090619)
Masruchah, Komisioner (087887233388)
Khariroh Ali, Komisioner (081284659570)
Indriyati Suparno, Komisioner (081329343547)