Oleh: Yerry Tawalujan
Dalam politik, segala sesuatu mungkin terjadi. Sebab politik itu sendiri adalah seni mengelola kemungkinan. Seperti kata Otto von Bismarck, “Politics is the art of possible, the attainable, the art of the next best”.. (Politik adalah seni tentang yang mungkin, yang bisa dicapai, seni dari yang terbaik berikutnya)
Jokowi-Prabowo berpasangan capres-cawapres di 2019? Mengapa tidak? Kalau itu terwujud, ketegangan seperti yang terjadi di Pilkada DKI dapat dihindari. Politik identitas dengan label agama bisa diminimalkan. Hoax berbalut fitnah dengan issue PKI bakal terkubur. Perang opini brutal di media sosial bisa ditangkal.
Pertanyaannya, siapa yang paling diuntungkan dengan skenario ini? Apakah Jokowi yang diuntungkan?
Jokowi jelas sudah diatas angin. Tidak ada satu pun lembaga survey yang tidak menempatkan Jokowi sebagai capres dengan tingkat elektabilitas tertinggi.
Jokowi bukan tipe pemimpin yang “membiarkan negara jalan sendiri” dan menuai demo “negeri auto pilot” seperti yang pernah dialami salah satu presiden sebelumnya. Jokowi adalah pemimpin yang total bekerja. Tiada hari tanpa kerja. Dari ujung Papua sampai ujung Sumatera infrastruktur terbangun massif.
Jokowi juga bukan (sekelas) Ahok yang suka teledor dengan mulutnya berujung blunder dan terjungkal. Setiap langkah Jokowi diperhitungkan cermat. Jurus-jurus politiknya telak dan akurat.
Buktinya segala macam serangan politik mulai dari demo bergelombang tujuh juta orang, hoax bin fitnah, antek asing sampai aseng, semua rontok. Luluh lantak tanpa efek.
Tahun 2014 saja saat “belum apa-apa” Jokowi sudah berhasil membuat Prabowo bertekuk lutut, apalagi sekarang dengan semua pencapaian yang sudah diraihnya?
Ditambah lagi dengan dukungan 5 parpol yang menguasai 51, 97 persen suara parlemen, makin perkasalah Jokowi.
Jika skenario ini (Prabowo cawapres untuk Jokowi) terjadi, Jokowi memang akan diuntungkan sedikit. Prabowo bisa menarik suara (yang sebelumnya anti) untuk berbalik mendukung Jokowi. Walaupun itu tidak signifikan. Karena dikotomi suara pendukung dan anti Jokowi sudah demikian tajam, diperuncing dengan politisasi agama dan politik identitas. Merapatnya Prabowo ke Jokowi tidak serta merta membuat semua suara pendukung Prabowo bulat beralih ke Jokowi.
Jika Gerindra merapat ke PDIP, maka gerbong suara “pengguna politik identitas dan politisasi agama” akan tetap solid dibawah komando PKS. PAN dan PKB akan masuk gerbong ini. Panglima perangnya bisa jadi Gatot Nurmantyo. Kemungkinan besar Demokrat pun akan merapat ke koalisi ini.
Jadi Jokowi tidak akan terlalu diuntungkan dengan skenario duet bareng Prabowo.
Lalu siapa yang diuntungkan? Jelas Prabowo lah yang lebih untung. Daripada (hanya) menjadi calon yang terus menerus nyaris menjadi presiden, lebih baik jadi cawapres yang dijamin pasti duduk menjadi Wakil Presiden.
Dengan menjadi cawapresnya Jokowi, Prabowo tidak perlu lagi menggalang logistik sampai triliunan rupiah. Pertaruhan menjadi lebih murah dan mudah dengan hasil yang lebih pasti.
Apalagi jika nanti telah duduk di kursi Wapres, tidak ada yang bisa menjamin peristiwa pemakzulan seperti yang menimpa Gus Dur tidak akan terulang lagi. Jika itu terjadi, maka Prabowo bisa langsung melenggang mulus ke singgasana presiden tanpa harus menunggu Pilpres 2024.
Jadi, mungkinkah terjadi duet Jokowi-Prabowo?
Mungkin pertanyaan yang lebih tepat adalah: “Mungkinkah Jokowi senaif itu menerima Prabowo sebagai cawapres mendampinginya?”
Karena politik itu adalah seni kemungkinan, maka segala sesuatu adalah mungkin.
*Yerry Tawalujan*, pemerhati politik