Jakarta, Gramediapost.com
Fraksi PDI Perjuangan, di DPR RI menerima Jaringan Kerja Prolegnas Pro Perempuan untuk menyampaikan aspirasi terkait isi Rancangan Undang-Undang RUU PKS khususnya terkait dengan 9 bentuk-bentuk tindakan Kekerasan Seksual yang akan diatur dan mempunyai payung hukum pidana menjerat pelaku Kekerasan Seksual dan Melindungi Korban.
Fraksi PDI Perjuangan diwakili oleh Diah Pitaloka, Alfia Reziani, dan Itet Tridjajati Sumarijanto. JKP3 diwakili antara lain oleh HWDI, PJS, ICRP, LBH APIK menyampaikan alasan pentingnya perlindungan korban dalam RUU PKS, terutama untuk kekerasan seksual yang belum diatur terkait perlindungan maksimal korban dan menjerat pelaku dalam UU lain, termasuk KUHP, UU tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang juga UU UU 8/ tahun 2016 tentang Perlindungan Disabilitas.
JKP3 menjabarkan 9 Bentuk Kekerasan Seksual termasuk kekhususan dan perbedaan dari tindak pidana lainnya. Rancangan Undang-undang ini diharapkan mampu menjerat pelaku dengan pasal berlapis, atas tindakan Kekerasan seksual: 1. Perkosaan,2.Perbudakaan Seksual, 3.Eksploitasi Seksual, 4. Penyiksaan Seksual 5. Pemaksaan Pelacuran, 6.Pemaksaan Perkawinan, 7 Pemaksaan Kontrasepsi, 8.Pemaksaan Aborsi, 9.Pelecehan Seksual. Disamping itu terdapat satu pasal yang dicantumkan atas usulan Komisi Nasional Perempuan, yaitu Pasal 104. JKP3 menganggap pasal 104 yang mendiskriminasi perempuan disabilitas dengan membolehkan kontrasepsi tanpa sepengetahuan perempuan disabilitas. Dimana hal ini tidak sesuai dengan UU 8/ tahun 2016 tentang Perlindungan Disabilitas dan Undang- undang No 19 Tahun 2011 Tentang Pengesahan Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas. RUU Penghapusan Kekerasan Seksual diharapkan dapat menjerat pelaku kekerasan seksual hingga kini, disebabkan oleh belum adanya Hukum yang mengaturnya banyak pelaku Ekspolitasi seksual bebas dan mungkin dapat melakukan tindakan kekerasan seksual lagi dan korban terus bertambah. Termasuk sebagai tindakan kekerasan seksual bentuk Eksploitasi Seksual yaitu ketika Pelaku memiliki Kuasa atas korban dengan iming-iming atau ancaman terhadap pelaku misalnya “mahasiswa bimbingan skripsi yang diperkosa karena diancam tak diluluskan”, sedangkan dalam Perkosaan dan Pemaksaan Pelacuran juga dijelaskan perbedaan hakikinya. Pada Pemaksaan pelacuran ada pihak yang memaksa korban untuk menjadi pelacur dan si Pelaku mendapatkan imbalan/keuntungan, sedangkan ketika seoang memaksa korban untuk melakukan hubungan seks paksa (terlacurkan) terjerat dalam Pemerkosaan.
Fraksi PDI Perjuangan mengapresiasi masukan dari JKP3 dan menyampaikan antara lain, perlunya dikembangkan pendidikan berbasis gender di sekolah-sekolah, termasuk juga melakukan kunjungan kerja untuk memantau proses pemaksaan kontrasepsi yang terjadi terhadap penghuni di panti-panti disabilitas.
Adapun terkait berbagai bentuk Pelecehan seksual yang selama ini pelakunya belum pernah dijerat hokum, tercetus antara lain usulan untuk hukuman denda. JKP3 dalam akhir pertemuan kembali menekankan bahwa dengan RUU PKS yang disahkan akan menjadi terobosan dan perubahan budaya terhadap cara pandang masyarakat terhadap perempuan, khususnya pada korban kekerasan seksual yang hingga kini belum diatur dalam UU manapun.
Kordinator JKP3 RATNA BATARA MUNTI (081318501072)