Jakarta, Gramediapost.com
Virus Hepatitis C telah menjadi salah satu penyebab utama penyakit hati kronik di seluruh dunia. Badan Kesehatan Dunia memperkirakan ada 71 juta orang di dunia yang terinfeksi hepatitis C kronis. dan 10 juta orang di antaranya tinggal di wilayah Asia Tenggara termasuk Indonesia. [1] Virus Hepatitis menyebabkan lebih dari 1 juta kematian pada tahun 2015. Angka ini serupa dengan kematian yang disebabkan oleh tuberkulosis (TB) dan lebih tinggi dari kematian terkait HIV. Namun, jumlah kematian terkait virus Hepatitis meningkat dari waktu ke waktu sementara kematian terkait TB dan HIV menurun.[2]
Sedangkan di Indonesia sendiri menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 prevalensi orang yang terinfeksi hepatitis C 2,5% atau sekitar 5 juta orang. Berdasarkan data tersebut di atas sudah selayaknya permasalahan terkait Hepatitis C menjadi perhatian pemerintah dan juga Indonesia merupakan negara yang ikut menjadi bagian dalam penyusunan rencana aksi dan strategi badan kesehatan dunia wilayah Asia Tenggara (SEARO) yang untuk mengeliminasi hepatitis C di tahun 2030.
Dalam beberapa dekade terakhir, untuk pengobatan penyakit Hepatitis C, Indonesia menggunakan kombinasi obat gabungan interferon dengan ribavirin yang dipakai selama 48 minggu. Sayangnya, kombinasi menimbulkan efek samping yang berat seperti depresi, anemia, kelelahan, demam, sakit kepala, dan nyeri otot dan juga kombinasi kedua jenis obat tersebut memiliki tingkat kesembuhan yang hanya sekitar 45%.
Saat ini sendiri sudah ada obat dari golongan Direct Acting Antiviral (DAA) dengan tingkat kesembuhan yang lebih tinggi yang dapat menyembuhkan 95% dari orang dengan infeksi hepatitis C dan memiliki lebih sedikit efek samping dibandingkan dengan pengobatan berbasis interferon. Sayangnya akses untuk tes, diagnosis dan pengobatan di Indonesia masih rendah apabila dibandingkan dengan negara-negara di Asia lainnya.
Walaupun pengobatan dengan DAA memiliki tingkat kesembuhan yang tinggi, tidak semua DAA bisa digunakan untuk semua genotipe (jenis virus Hepatitis C). Ada 6 genotipe virus Hepatitis C yaitu genotipe 1 sampai genotipe 6. Obat yang tersedia di Indonesia hanya Sofosbuvir dan Simeprevir yang hanya bisa digunakan untuk genotipe 1 dan genotipe 4.[3]
Daclastavir, sebagai salah satu jenis obat Hepatitis C yang yang bisa digunakan untuk semua genotipe pada tanggal 19 Oktober 2017 lalu sudah resmi keluar ijin edarnya untuk produk generiknya dari Badan Pengawas Obat dan Makanan.
Persaudaraan Korban Napza Indonesia (PKNI) sebagai jaringan komunitas pengguna napza di Indonesia yang rentan pada penyakit Hepatitis C serta terus mengawal proses ijin edar obat-obatan Hepatitis C menyambut baik dengan keluarnya ijin edar obat yang bisa menyelamatkan banyak nyawa ini.
Koordinator Nasional PKNI, Edo Agustian mengatakan; “Kami menyambut gembira dengan Daclatasvir yang telah disetujui di Indonesia. Kami berharap akan lebih banyak perusahaan yang mendaftarkan produk Daclatasvir generik sehingga Pemerintah Indonesia memiliki pilihan obat dengan harga terjangkau dan kualitas yang lebih baik.”
“Dengan adanya obat Hepatitis C yang bisa digunakan untuk semua genotipe diharapkan nantinya akan makin banyak juga pasien Hepatitis C yang mengakses obat Hepatitis C, khususnya obat jenis Daclastavir yang juga bisa efektif untuk pasien dengan koinfeksi HIV.” Tandas dr. Irsan Hasan, Sp.PD-KGEH sebagai Ketua Umum dari Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia.”
Demikian rilisan pers ini dibuat untuk disiarkan segera untuk informasi lebih lanjut bisa menghubungi Edo Andries di nomor telepon 0818101047.
[1] Hepatitis C Fact Sheet, WHO, April 2017
[2] WHO Global Hepatitis Report, 2017
[3] Konsensus Nasional Penatalaksanaan Hepatitis C di Indonesia, 2017
Regards,
Edo Andries
Media and Communication Officer
PKNI-Indonesian Drugs User Network
p:6221 837 978 25
m: 62818101047
f:6221 837 978 26
a:Jl. Tebet Timur Dalam XI no.94 Tebet Jakarta Selatan 12820, Indonesia
w:www.pkni.org
e: media@pkni.org