Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Example floating
Example floating
Example 728x250
Nasional

Kasus First Travel, Bukti Negara Tidak Hadir

29
×

Kasus First Travel, Bukti Negara Tidak Hadir

Sebarkan artikel ini
Example 468x60

Oleh: Marlin Dinamikanto

 

Example 300x600

Sejumlah korban First Travel mengisi formulir di Posko Pengaduan Korban PT First Travel di Bareskrim Polri, Jakarta, Selasa (22/8)0. ANTARA FOTO/Reno Esnir/kye/17.

Jakarta, Suarakristen.com

Tercatat setiap tahunnya antara 800 hingga 1 juta umat Islam Indonesia menjalankan ibadah umrah ke tanah suci Mekah dan Madinah. Perputaran uangnya luar biasa besar. Sejumlah kalangan pun berusaha masuk ke sana. Sebagian besar memang berniat menjadi bagian dari mata rantai bisnis yang menggiurkan itu. Tapi sebagian lagi mungkin tertarik dengan “money games” yang berujung penipuan.

Besarnya perputaran uang, antara Rp16 hingga Rp20 triliun per tahun dalam bisnis umrah mestinya membuat pemerintah sejak awal pasang kuda-kuda. Perlindungan dan pengamanan para calon jemaah mestinya diperketat. Termasuk pengamanan atas tarif biaya umrah yang sangat tidak masuk akal yang tentu saja berpotensi merugikan para calon jemaah yang mendaftar umrah.

Sebagaimana diberitakan sejumlah media, First Travel memasang tarif Rp14,3 juta untuk calon jemaah umrah. Berapa harga tiket dari Jakarta ke Bandara King Abdul Aziz, Jeddah? SaatNusantara.news berselancar di lamanTraveloka.com harga paling murah untuk keberangkatan 22 hingga 31 Agustus 2017 ini adalah Rp13.100.000 untuk sekali berangkat. Artinya tarif yang ditawarkan First Travel sangat tidak masuk akal.

Terkesan aneh, ketika banyak jamaah yang membeli paket umrah First Travel, Kementerian Agama tidak mengetahuinya. Padahal biaya yang ditawarkan hampir setengah biaya resmi. Tahun 2015 saja, menurut Asosiasi Muslim Penyelenggara Haji dan Umrah Republik Indonesia (Amphuri), standar minimal biaya umrah mencapai US$1.700, atau sekitar Rp23 juta.

Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin berkelit, bahwa saat ini pemerintah memang lebih fokus pada penyelenggaraan ibadah haji sehingga menyerahkan penyelenggaraan umrah melalui biro travel. Kementerian Agama hanya berwenang memberikan izin usaha. “Kementerian Agama berencana mengkaji penetapan batas minimal biaya umrah, agar masyarakat tidak selalu menjadi korban. Karena kan masyarakat selalu ingin mencari yang paling murah. Padahal yang murahnya kelewat ekstrem itu justru yang harus dicurigai karena itu sesuatu yang enggak masuk akal,” ujar Lukman, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (16/8/2017).

Mungkin terlalu berlebihan apabila calon jemaah umrah korban penipuan First Travel menuntut ganti rugi kepada pemerintah. Karena calon jemaah yang menjadi korban penipuan juga patut dalam posisi bersalah karena mudah tergiur oleh tawaran tarif yang di luar akal sehat.

Namun tentu saja pemerintah tidak bisa lepas tanggung-jawab begitu saja atas terjadinya tindak pidana penipuan yang mengorbankan 50-an ribu calon jemaah umrah dengan total kerugiaan mencapai Rp700-an miliar itu.

Dalam hal ini, pertama, Kementerian Agama adalah instansi yang mesti bertanggung-jawab. Paling tidak Kementerian Agama, dalam hal ini Ditjen Haji dan Umrah, terlambat melakukan antisipasi sehingga muncul agen perjalanan seperti PT First Anugerah Karya Wisata (First Travel) yang diduga melakukan praktek “permainan uang”. Fungsi pengawasan Dirjen Haji dan Umrah memang benar-benar mesti dipertanyakan.

Selama ini, ujar pengamat masalah haji dan umrah dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Ade Marfuddin, pemerintah lebih fokus mengurus permasalahan haji. Padahal antusias masyarakat menjalani ibadah umrah juga tinggi. Per tahunnya mencapai antara 850 ribu hingga 1 juta orang dengan rentang waktu yang lebih panjang.

“Mestinya Kementerian Agama cukup memiliki waktu untuk sosialisasi kepada calon jemaah tentang batas tarif yang masuk akal dan biro-biro perjalanan umrah yang telah mendapatkan izin dari pemerintah,” ujar Ade kepadaNusantara.news, Selasa (22/8) siang.

Selama ini Ade menilai pembinaan dan pengawasan pemerintah terhadap biro perjalanan umrah sangat tidak memadai. Terlebih nomenklatur yang ada dalam UU No.13 Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji memang hanya ada Komisi Pengawasan Haji Indonesia (KPHI). Tentang pengawasan ibadah umrah tidak disinggung sama sekali.

Untuk itu Ade menghimbau dilakukan revisi atas UU No.13 tahun 2008 dengan memasukkan pengaturan, pengawasan dan perlindungan terhadap calon jemaah dan penyelenggara umrah. Dengan begitu jemaah akan terlindungi dari kemungkinan menjadi korban “permainan uang”.

Untuk lebih memastikan calon jemaah yang sudah dipungut biaya segera diberangkatkan, Ade juga menghimbau pemerintah mewajibkan setiap biro perjalanan umrah menyerahkan deposit dalam jumlah tertentu sesuai perencanaan berapa calon jemaah yang hendak diberangkatkan. “Biro perjalanan juga harus melaporkan berapa jamaah yang diberangkatkan pertahun. Uang deposito akan diberikan kepada jamaah yang gagal berangkat,” tutur Ade.

Ade juga mendesak pemerintah benar-benar menegakkan aturan tarif biaya umrah batas atas dan batas bawah. “Kalau ada yang menawarkan tarif di bawah batas bawah segera tegur karena sudah pasti akan merugikan jemaah,” tegas Ade.

Selain itu Ade juga menghimbau  Kemenag melakukan sosialisasi kepada calon jamaah untuk tidak memaksakan diri. Masyarakat juga harus tahu sabar menunggu antrean keberangkatan jadi bagian kesempurnaan ibadah.

Kepala Biro Humas, Data, dan Informasi Kemenag Mastuki menjelaskan, pihaknya berupaya merevisi Peraturan Menteri Agama Nomor 18 Tahun 2015 tentang Pengawasan dan/atau Izin Penyelenggeraan Umrah. Mereka mengevaluasi peran regulator, pengawasan, hak dan kewajiban bertransaksi, pelaporan keuangan, serta penetapan harga.

Selain Kemenag, instansi kedua yang mesti bertanggung jawab atas penipuan yang dilakukan First Travel adalah Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Sebab OJK sebagaimana diatur dalam UU No 21 Tahun 2011, memiliki tugas dan wewenang dalam hal pengaturan, pengawasan, pemeriksaaan dan penyidikan.

Biro penyelenggara umrah yang menghimpun hingga ratusan miliar dana calon jemaah mestinya juga berada dalam yuridiksi pengawasan OJK sejak awal sehingga sejak awal bisa diantisipasi sebelum munculnya kasus penipuan. Terlebih modus yang dilakukan First Travel sebagaimana diungkap oleh Bareskrim Mabes Polri adalah menginvestasikan uang jemaah ke sejumlah properti dan lembaga keuangan.

Sedangkan instansi ketiga yang tidak bisa lepas dari tanggung-jawab adalah Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan (PPATK). Sebab tugas pokok dan fungsi PPATK sebagaimana diatur dalam UU No 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan UU No.9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pembiayaan Terorisme, PPATK bertugas dan berwenang melakukan pengawasan transaksi keuangan yang mencurigakan.

Persoalannya, kenapa gerak-gerik transaksi mencurigakan yang dilakukan First Travel tidak terpantau sejak awal oleh PPATK?

Nah, mestinya pimpinan ketiga instansi itu tidak bisa lepas dari tanggung-jawab, sehingga dugaanmoney games yang dilakukan First Travel tidak terulang yang berpotensi merugikan calon jemaah umrah. Jika negara hadir untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga negara, kasus penipuan ini pasti sudah tercium sejak awal.

Example 300250
Example 120x600

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *