Oleh: Hotben Lingga
Jakarta, Suarakristen.com.
“Di jaman informasi dan teknologi yang cepat berubah ini, setiap lembaga pendidikan (dalam hal ini Perguruan Tinggi/PT) dituntut untuk mampu merumuskan visi-misi serta produktif. Produktif yang dimaksudkan di sini tidak sekadar menghadirkan lulusan yang mampu berkreasi dan “bertarung” dalam dunia kerja di tengah masyarakat tetapi juga mendesain kurikulum tepat guna atau inovatif. Hal ini disebabkan adanya korelasi antara lulusan dengan proses belajar-mengajar. Ini berarti kurikulum menjadi salah satu faktor penting dalam PT yang mencakup dan terintegrasi dengan kegiatan akademik lainnya seperti halnya 4 (empat) komponen utama yang menjadi indikator penilaian 100 besar PT di Indonesia seperti yang dipublikasi, yaitu: a) Kualitas SDM; b) Kualitas Kelembagaan; c) Kualitas Kegiatan Kemahasiswaan; serta d) Kualitas Penelitian dan Publikasi Ilmiah. Data 100 besar PT terbaik di Indonesia tahun 2017 menampilkan beberapa PT dengan identitas dan atau dikelola langsung oleh gereja. Dari 100 besar itu, ada 12 PT Kristen Protestan dan Katolik, dan bila dibagi maka ada 5 Universitas Kristen Protestan. Dalam rangka penguatan SDM umat Kristen tersebut, salah satu tugas besar kita adalah memperjuangkan agar 3 Sekolah Tinggi Agama Kristen Protestan bisa ditingkatkan statusnya menjadi tiga universitas Kristen Protestan negeri.”
Kenyataan di lapangan berdasarkan data Economy Indicator, mengetengahkan seolah-olah pendidikan Indonesia terlalu betah di posisi menengah dan juru kunci sejak tahun 2009.
Alasan inilah yang membidani lahirnya Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI). KKNI adalah kerangka penjenjangan kualifikasi sumber daya manusia Indonesia yang menyandingkan, menyetarakan, dan mengintegrasikan sektor pendidikan dengan sektor pelatihan dan pengalaman kerja dalam suatu skema pengakuan kemampuan kerja yang disesuaikan dengan struktur di berbagai sektor pekerjaan.
Indonesia telah memiliki standar untuk mengukur sebuah PT dengan standar kualifikasi yang kita kenal dengan sebutan akreditasi. Dalam usaha peningkatan mutu, PT diharapkan mencapai standar baku yang dideskripsikan dalam borang yang harus diisi. Borang sendiri merupakan seperangkat uraian ideal bagaimana menjadi PT yang bermutu di Indonesia. Hasil akhirnya juga dibagi dalam hitungan abjad seperti klaster akreditasi A dan klaster akreditasi B. Walau kadang ada saja komentar yang mempersoalkan seperti pertama, usaha penyesuaian itu tetap dinilai oleh manusia yang disebut assesor saat melakukan visitasi. Tidak dapat dipungkiri lagi bila subjektifitas selalu menjadi alasan dalam hal melakukan penilaian. Kedua, butuh proses bagi PT yang baru atau memang belum semapan PT yang mentereng sejak awal kemerdekaan Republik untuk mengejar konten borang dalam sekejab. Walau demikian, haruslah disadari bahwa, bila PT berusaha sungguh-sungguh mengejar tuntutan borang, maka akan terlihat perubahan PT ke arah yang lebih baik. Pembenahan PT mesti terus dilakukan walau tanpa mengusulkan akreditasi karena tuntutan borang yang berujung pada penilaian akreditasi telah termaktub gambaran dari peran PT dalam pemberdayaan masyarakat dan peningkatan daya saing bangsa. Pengantar ini coba membimbing kita untuk mengerti peran-peran seperti apa dan kendala serta solusi yang harus diambil terlebih khusus pada PT Kristen.”Demikian disampaikan Dirjen Bimas Kristen Protestan, Prof. Dr. Thomas Pentury, dalam Diskusi Publik “Peran Perguruan Tinggi Kristen dalam Pemberdayaan Masyarakat dan Peningkatan Daya Saing Bangsa”, yang diselenggarakan oleh PP GMKI, di Graha Oikumene PGI, Jakarta (25/08/17).
Lebih lantut ungkap Dirjen Bimas Kristen Protestan,”Banyak istilah yang dipakai PT untuk menggambarkan kehadiran PT lewat mahasiswa di tengah masyarakat dalam bentuk mata kuliah lapangan. Contohnya istilah Kubermas (kuliah bersama masyarakat), KKN (Kuliah Kerja Nyata), PL (Praktek Lapangan), Pelatihan, dan istilah lainnya secara sosiologis menggambarkan kehadiran kampus di tengah masyarakat lewat mahasiswa dan adanya interaksi. Kehadiran mereka (ibarat) merupakan representasi kampus dalam kehidupan bermasyarakat dan semestinya hasil akhir dari kegiatan mahasiswa di tengah masyarakat merupakan the campus effect. Efek dari kehadiran kampus di tengah masyarakat harus berdampak untuk semua. Inilah salah satu wujud nyata peran PT bagi masyarakat. Pada fase ini, mahasiswa yang adalah representasi kampus seolah memiliki beban yang sama dengan kampus sehingga semua hal harus dikerjakan sempurna. Pertanyaan yang mesti digumuli adalah; bila mahasiswa telah selesai kuliah dan disebut alumni serta kembali ke tengah-tengah masyarakat dengan predikat “pengangguran”, apakah beban itu mesti ditanggung oleh alumni sendiri? Bila alumni tidak mampu melakukan apa-apa dalam masyarakat, berarti dia tidak punya peran apa-apa. Dan kalau alumni itu tidak punya peran apa-apa, bisa jadi slogan bahwa PT asal alumni itu belum mempunyai peran yang berarti di tengah masyarakat. Itulah mengapa sub-judul bagian ini adalah pemberdayaan peserta didik merupakan pintu pemberdayaan masyarakat.
Dalam berbagai kesempatan, orang selalu bertanya alias mempersoalkan beberapa Sekolah Tinggi Teologi penyelenggara Ilmu Teologi dan Pendidikan Agama Kristen yang diasuh oleh Dikti ataukah Bimas Kristen. Sebenarnya bukan soal di Dikti ataukah di Bimas Kristen tetapi apakah penyelenggaraan pendidikan sudah sesuai standar yang ditetapkan oleh pemerintah atau tidak. Hanya dengan demikian PT akan menghasilkan lulusan yang berdaya saing.”
Tegas Prof. Pentury lagi,”Untuk menghasilkan lulusan atau alumni yang baik tentunya sebuah PT mesti memiliki grand desain strategi yang mumpuni yang berisikan visi-misi, rencana jangka panjang dan sebagainya yang kemudian diserap dalam kurikulum dengan memerhatikan kebutuhan pasar atau lapangan di mana masyarakat berada. Mahasiswa merupakan elemen penting dalam PT. Pelayanan ekstra mesti diberikan kepada mereka. Keberadaan mahasiswa dalam kampus mesti dipahami sebagai perwakilan masyarakat. Karena itu, usaha memberdayakan mahasiswa harus ditaruh dalam pendekatan holistik termasuk memperlakukan mahasiswa secara manusiawi. Mahasiswa adalah objek sekaligus subjek pemberdayaan masyarakat dalam peran PT secara internal. Hal inilah yang dilakukan dalam pendidikan Finlandia, salah satu negara yang mutu pendidikannya baik di dunia,”
“Memberdayakan mahasiswa adalah usaha memberdayakan manusia. Selain grand desain strategi, kurikulum dan elemen penunjang lainnya, perlu juga diperhatikan model memanusiakan mahasiswa dengan sistem pembelajaran yang efektif serta menggairahkan manusia mencari serta menemukan pengetahuan. Proses belajar yang berlangsung di PT seharusnya memberikan jaminan mutu pada ketiga faktor kompetensi knowledge, skill, dan attitude. Biasanya ketidakmampuan bersaing ini disebabkan adanya kesenjangan antara kualifikasi yang diperlukan dengan kompetensi lulusan. PT harus menyiapkan lingkungan belajar yang kondusif untuk terbentuknya kompetensi tersebut, perguruan tinggi memerlukan exposure international, jaringan kerja sama dengan universitas di luar negeri, pertukaran mahasiswa, dan lain-lain. Hal-hal ini tertuang dalam borang akreditasi, standar kerja sama dan standar kegiatan kemahsiswaan. Namun yang terpenting juga adalah suasana pembelajaran. Penghayatan tentang pentingnya pendidikan serta usaha meraih tuntutan kompetensi dan segala tujuan dari akreditasi kadang menyebabkan iklim pembelajaran sering terganggu dan membuat mahasiswa seolah diperbudak oleh seperangkat pendidikan. Akhirnya kebanyakan kritikan atas pendidikan kita berujung pada dugaan bahwa sistem pendidikan di Indonesia adalah sistem pendidikan mengekang dan memperbudak. Bila demikian, maka pemikiran Paulo Freire tentang pendidikan yang membebaskan dapat menjadi acuan kritis menganalisa soal ini. Paulo Freire berpendapat bahwa pendidikan merupakan “senjata” perlawanan. Hal ini bisa dimengerti dari konteks Amerika Selatan saat Paulo hidup dan berkarya. Namun lebih jauh lagi, Paulo mengkritik pendidikan model bank yang hanya menampung beragam teori tanpa menerima kreasi (pendapat, gagasan, ide dan inovasi) dari peserta belajar. Setidaknya sedikit hal yang dapat kita belajar dari pemikiran Paulo Freire adalah usaha menumbuhkembangkan kreatifitas dan inovasi dari mahasiswa yang juga subjek dalam pembelajaran.”papar Senior GMKI Cabang Ambon tersebut.
Tegas Dirjen Bimas Kristen Protestan ini lagi, “Pendidikan yang membebaskan merupakan tugas gereja dan kehadiran PT yang dipelopori oleh gereja adalah langkah yang tepat. Namun gereja harus belajar dari pengalaman konflik PT di Indonesia yang melibatkan Yayasan dengan pihak Kampus yang diwakili senat. Konflik seperti ini sarat kepentingan politis kampus yang ujungnya memengaruhi kehidupan PT dan akhirnya bisa berujung pada tidak bisa menerima dan meluluskan mahasiswa. Bila demikian maka tidak ada peran signifikan gereja sama sekali bagi masyarakat. Sang Kepala Gereja dalam hidup-Nya melakukan gerakan pendidikan membebaskan kepada masyarakat saat itu dengan cara menyadarkan mereka bahwa kehidupan yang mereka alami saat itu justru membelenggu dan membatasi kreatifitas serta daya saing mereka. Hal ini sama dengan apa yang dikemukakan oleh Paulo Freire yakni kesadaran semu.
Gereja sebaiknya lewat tugas diakonianya terpanggil menjalankan perannya sebagal gereja yang sesungguhnya memberi arah dan menuntun warganya untuk sanggup menjawab realitas dunia tanpa harus kehilangan jati diri sebagal umat Tuhan, juga harus mampu membawa perubahan yakni perbaikan, transfomasi, kemajuan dan peningkatan peran di tengah hidup berjemaat dan bermasyarakat. Jadi kebanggaan dengan berdirinya sekolah-sekolah yang diasuh tentu harus kita dukung. Meski terjadi di sana-sini pergumulan dan persoalan mutu datau penurunan justru kita tidak usah mencari akjar persoalannya. Yang harus dijawab, apa yang dapat kita buat secara langsung dan berguna untuk menjawab persoalan tsb. Inilah tugas kita semua, termasuk tugas guru-guru agama Kristen. Pendidikan bukan cuma soal alih informasi, tetapi juga pembentukan watak dan mental. Dengan demikian Gereja dan pendidikan Kristen telah menjalankan amanat dan cara Sang Kepala Gereja karena telah menghasilkan cukup banyak anak muda yang memiliki prestasi akademis (=intelektualitas) tinggi,”
Sementara itu, pembicara lain, rektor Universitas Kristen Satya Wacana, yang baru terpilih, Dr. Neil Semuel Rupidara, menyatakan,”Baik secara global maupun khususnya di Indonesia, dunia pendidikan tinggi sedang mengalami transformasi. Dengan meningkat secara drastisnya produksi pengetahuan di dunia, universitas maupun lembaga pendidikan tinggi lainnya, termasuk di Indonesia, dituntut untuk berperan lebih kuat dalam proses produksi pengetahuan, juga dengan menghasilkan lulusan-lulusannya yang juga bercirikan penghasil pengetahuan (knowledge producers). Universitas dan peran penciptaan pengetahuan merupakan hal penting bagi kemajuan dan daya saing bangsa, baik secara ekonomi, maupun juga pada bidang-bidang lainnya. Dengan kemajuan teknologi yang sedemikian pesat, terutama di bidang teknologi komunikasi dan informasi, transformasi kelembagaan pendidikan tinggi perlu dicermati dengan baik. Misalnya, munculnya plaform pembelajaran online seperti Coursera yang memungkinkan siapapun penduduk bumi ini untuk tercatat berkuliah di matakuliah-matakuliah universitas terbaik di dunia, tanpa harus teregistrasi sebagai mahasiswa tetap, perubahan seperti ini mungkin akan mengubah wajah kelembagaan universitas ke depan yang belum dapat kita pastikan akan seperti apa.
Ungkap Dr. Neil Rupidara lagi,”Transformasi pada fungsi utama pendidikan tinggi secara kelembagaan ini memiliki implikasi yang besar. Oleh karena itu, dibutuhkan perhatian pada aspek-aspek yang berpengaruh secara relatif holistik, mulai dari level kebijakan dan peraturan pemerintah, hingga langkah-langkah penanganan di level individu perguruan tinggi. Contoh tentang data research funding tahunan yang dirilis dalam pertemuan 9th QS World Class Conference di Singapura April 2016 di mana Indonesia adalah salah satu negara dengan proporsi research funding terhadap Produk Domestik Bruto yang terkecil (sesuai data yang disajikan) adalah kondisi di mana belum seluruh faktor pendukung transformasi itu berada dalam keadaan yang baik. Bahwa Kemristekdikti telah melakukan berbagai upaya, termasuk dalam hal pendanaan riset itu sendiri sehingga telah menaikkan kinerja riset/publikasi total nasional yang makin meningkat hingga saat ini, masih ada banyak hal yang harus dilakukan.”
Menurut Rektor terpilih UKSW ini, peran universitas atau perguruan tinggi Kristen perlu dikritisi. Bahwa dalam pemeringkatan universitas secara menyeluruh maupun secara khusus misalnya dalam kinerja bidang penelitian, universitas-universitas Kristen juga telah cukup baik terepresentasi oleh misalnya UK Petra, UKSW, masih banyak upaya yang harus dilakukan. Di UKSW, kami menyadari bahwa dalam hal kompetisi antar universitas yang makin meningkat ini, aspek ukuran universitas itu penting (size does matter), bilamana ingin berada pada peringkat-peringkat pemeringkatan pada level atas. UKSW telah mencoba melakukan proyeksi perkembangannya ke depan dengan memasukkan pertimbangan ini. Di samping itu, penataan organisasi secara menyeluruh juga harus dilakukan untuk menopang upaya menempatkan posisi universitas Kristen seperti UKSW pada posisi-posisi strategis secara nasional.
Perlunya menempatkan universitas Kristen secara strategis ini ada dalam kepentingan menyuarakan kepentingan dan misi kehadiran Kristen di Indonesia. Dalam rangka itu, universitas-universitas Kristen harus menjadi salah satu yang terbaik. Tanpa itu, suaranya akan kurang didengar. Dalam hal kita menyuarakan perubahan kebijakan pendidikan tinggi di Indonesia, UKSW telah misalnya menyampaikan agar pemerintah meninjau kembali total satuan kredit semester (sks) untuk aras pendidikan S1, menguatkan orientasi riset dalam program-program pendidikan, khususnya pasca sarjana, serta memberikan ruang otonomi yang lebih besar kepada universitas agar masing-masing universitas bisa mengambil solusi terbaiknya merespon berbagai tantangan dan persoalan dalam rangka memajukan universitas dan meningkatkan kontribusinya bagi pembangunan dan daya saing bangsa.”
Pembicara ketiga dalam Diskusi Publik ini adalah Sahat MP.Sinurat, Ketua Umum PP GMKI.
Menurut Sahat, sinergi antara GMKI sebagai organisasi kader dengan Universitas-universitas Kristen dan Direktorat Bimas Kristen untuk memperkuat strategi pembangunan SDM umat Kristen perlu lebih ditingkatkan. Penekanan sinergitas pembangunan SDM umat di era globalisasi ini, yang akan menjadi salah satu prioritas PR besar Dirjen Bimas Kristen yang baru, patut didukung oleh Gereja-gereja dan organisasi-organisasi Kristen.