Jakarta, Suarakristen.com
Pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang disampaikan oleh Menteri Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto perlu untuk dikritisi dan dikawal. Langkah Pemerintah yang disampaikan pada Senin, 8 Mei 2017 memang menuai kontroversi di kalangan masyarakat. Sebagai organisasi yang masih mendukung Pemerintahan Presiden Joko Widodo untuk menyelesaikan tugas pemerintahan dan janji menyejahterakan masyarakat Indonesia dengan menjunjung tinggi HAM dan demokrasi, maka Pengurus Pusat Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), meminta Pemerintah untuk berhati-hati dalam mengambil tindakan tersebut.
GMKI menilai rencana pembubaran HTI yang telah digaungkan oleh Pemerintah harus dilakukan dengan memperhatikan prinsip due process of law, mengingat Indonesia adalah negara hukum. Harus diingat bahwa jaminan kebebasan berserikat, sebagaimana diatur dalam Pasal 28 dan 28E ayat (3) UUD 1945, kemudian diatur dalam Pasal 24 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia adalah hak konstitusional setiap warga negara dan hak asasi manusia. Selain itu, Indonesia juga memiliki kewajiban menghormati Pasal 22 Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR), yang telah diratifikasi oleh Indonesia dengan UU No. 12 tahun 2005, yang berisi penghormatan dan pemenuhan hak berserikat warga negara.
Sejalan dengan itu, GMKI juga memahami bahwa hak berserikat merupakan hak yang dapat dibatasi, namun merujuk pada Pasal 22 ayat (2) ICCPR, maka pembatasan itu harus dilakukan salah satunya dengan melalui Undang-Undang. Prasyarat pembatasan hak asasi melalui Undang-Undang juga diatur dalam Konstitusi Indonesia Pasal 28J ayat (2). Dengan begitu, maka jelas langkah pemerintah untuk melakukan pembubaran HTI harus tetap dilakukan dengan Undang-Undang yang berlaku yang merujuk pada UU No. 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Masyarakat (UU Ormas) yang telah mengatur secara rinci mengenai mekanisme pembubaran Ormas. Meskipun selama ini GMKI menyuarakan agar pemerintah menindak tegas berbagai ormas radikal, intoleran dan anti-Pancasila, bahkan Desember 2016 lalu GMKI juga melaporkan tindakan ormas radikal yang membubarkan ibadah Natal di Sabuga, Bandung, namun GMKI tetap berprinsip bahwa keadilan harus didapat oleh setiap warga negara Indonesia.
Oleh karena itu, GMKI akan mendukung langkah-langkah hukum yang diambil pemerintah, sepanjang tidak bertentangan dengan hukum dan konstitusi negara, serta akan mengawal janji Pemerintah untuk tunduk pada hukum dalam rencana pembubaran HTI ataupun berbagai ormas radikal, intoleran dan bertentangan dengan Pancasila lainnya.
GMKI sejak lama telah meminta Pemerintah untuk mengarustamakan Pancasila kembali ke tengah masyarakat. Apalagi selama belasan tahun pasca reformasi, bahkan sebelumnya di rezim Orde Baru, Pancasila cenderung menjadi jargon semata, sehingga terbuka ruang bagi ormas radikal ataupun yang bertentangan dengan Pancasila untuk menemukan anggota dan simpatisan. Kondisi ini menjadi tantangan bagi pemerintahan Presiden Joko Widodo yang saat ini masih berkomitmen untuk memerangi kelompok intoleran dan menjaga kesatuan bangsa namun di sisi lain tetap mempertahankan posisinya sebagai pemimpin yang harus menjaga demokrasi dan perlindungan serta penghormatan kepada hak asasi manusia.
Maka Dewan Kerukunan Nasional dan Unit Kerja Pemantapan Ideologi Pancasila harus segera dibentuk sehingga upaya pengarustamaan nilai-nilai Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika dapat dilakukan ke dalam berbagai sendi kehidupan bangsa, yakni di ruang-ruang perguruan tinggi, tempat ibadah, ruang-ruang publik, juga berbagai lembaga pemerintahan, seperti eksekutif, yudikatif, dan legislatif. GMKI menegaskan, semua lembaga pemerintahan seharusnya menjadi yang terdepan dalam menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika karena inilah konsensus bersama para pendiri bangsa yang menjadi pandangan hidup bangsa dan negara Indonesia.
Jakarta, 10 Mei 2017
*Pengurus Pusat Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia*
Sahat Martin Philip Sinurat
Ketua Umum
Alan Christian Singkali
Sekretaris Umum