Merayakan Dies Natalis Ke-22, Fisipol UKI Menyelenggarakan Seminar Nasional “Pilkada Dalam Upaya Penguatan Desentralisasi dan Otonomi Daerah”

0
616

Suasana Seminar

Oleh: Hotben Lingga

Jakarta, Suarakristen.com

“Pasal 18 UUD 1945 telah menekankan perlunya desentralisasi untuk mengelola Indonesia yang terbentang dari Sabang sampai Merauke. Perumus UUD tersebut meyakini bahwa pemerintahan tak akan effektif bila pemerintahan di pusatkan di pusat. Dalam kenyataannya, desentralisasi tersebut belum dilaksanakan dengan berbagai alasan politik yang belum kondusif. Hubungan Pusat-Daerah bersifat dinamis dari sentralistis ke desentralistis kembal lagi sentralistis sampai yang terakhir UU 23/2014 yang berusaha mencari keseimbangan hubungan Pusat-Daerah.

Sebelum Orde Baru terdapat UU No 1/1945 yang bersifat sentralistik; UU No 22/1948: desentralistik; UU No 1/1957: desentralistik; Per Pres No 6/1959 kembali ke sentralistik; UU No 18/1965 kembali ke desentralistik. Masa Demokrasi Terpimpin yang mengarah pada politik otoritarian dan menjelang Demokrasi Terpimpin runtuh, desentralisasi menjadi desentralistik. Soekarno sadar bahwa daerah perlu diberi kebebasan dan ini juga tampaknya merupakan strategi Demokrasi Terpimpin untuk menarik simpati daerah. Tetapi sudah terlambat, DT jatuh. Di era Orde Baru, selama 32 tahun, berlaku UU No 5/1974 yang sangat sentralistik. Dasar dari pemikiran hal ini adalah stabilitas politik yang diperlukan agar pembangunan dapat dipacu.

UU No 5/1974 adalah Undang-Undang Otonomi di Daerah. Kata di menunjukkan bahwa daerah tetap di bawah control pusat. Hal ini berarti bahwa daerah sama sekali tidak mempunyai otonomi untuk mengatur daerahnya sendiri. Daerah merupakan subordinat pusat. Kepala Daerah dipilih melalui DPRD dan harus mendapat persetujuan Pusat. Seperti dalam masalah Ismail Suko di Riau yang terpilih oleh DPRD pada 2 September 1985, kemudian dibatalkan oleh Presiden dengan hak prerogatifnya.

Runtuhnya OB melahirkan era Reformasi yang melahirkan perubahan politik di segala bidang termasuk politik yaitu demokratisasi. Perubahan politik tersebut berdampak pula pada hubungan Pusat-Daerah. Di masa transisi tersebut, di pemerintahan Habibiie, lahirlah UU No 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah. Rakyat daerah mempunyai kebebasan yang luas untuk mengelola daerahnya. Rakyat dapat mengajukan calon kepala daerahnya sendiri ke DPRD karena hal ini dianggap lebih demokratis. Tetapi sejak diberlakukannya UU tersebut pada bulan Mei 1999, Pemilihan Kepala Daerah dari gubernur, bupati dan walikota selalu diwarnai oleh berbagai kericuhan, demo, politik uang, masalah-masalah primordial dan sejenis itu,’demikian disampaikan Dr. Isbodroini Suyanto, ahli ilmu politik dan dosen Fisipol UKI, dalam Seminar Nasional “Pilkada Dalam Upaya Penguatan Desentralisasi dan Otonomi Daerah “, yang diselenggarakan oleh Fisipol UKI dalam rangka merayakan HUT ke-22 Fisipol UKI, di Kampus UKI Cawang, Jakarta. (9/11/16).

Baca juga  KADIN Indonesia Gelar RAPIMNAS 2022

Papar Dr. Isbodroini Suyanto lebih lanjut,” Pilkada atau Pemilihan Kepala Daerah, tak dapat dipisahkan dari otonomi daerah yang merupakan pengejawantahan dari desentralisasi. Membicarakan ketiganya berarti kita juga akan membicarakan tentang local politics dan local government. Payung besarnya adalah desentralisasi yang tidak mempunyai pengertian tunggal. Desentralisasi memang merupakan suatu keniscayaan bagi Negara modern agar mencegah centralized power di pusat. Jha Mathur menyatakan: away from center; Syarih Hidayat: transfer of administrative responsibility from center to local government dan Brian Smith: transfer of power from top to lower level in a territorial hierarchy.
Desentralisasi politik berarti, meningkatkan kekuasaan kepada penduduk dan perwakilan politik mereka dalam pembuatan keputusan politik. Tujuan lainnya adalah antara lain adalah, memperbaiki layanan publik, memperbaiki kinerja keuangan( penerimaan dan pengeluaran yang seimbang), menciptakan lingkungan yang lebih baik berdasarkan respon terhadap kebutuhan local dan mekanisme pasar.

Jadi, desentralisasi berkaitan dengan kekuasaan yang menyebar tidak terpusat, dan berkaitan pula dengan suatu wilayah artinya pembagian wilayah ke dalam unit-unit yang lebih kecil( Brian C Smith, 1985). Serta pejabat memahami kondisi masyarakatnya. Di Indonesia kita menyebutnya dengan Otonomi Daerah.”

Tegas Dr. Isbodroini Suyanto lebih lanjut,”Desentralisasi yang diimplementasikan dalam bentuk otonomi daerah merupakan suatu keniscayaan bagi Negara modern yang bersifat plural dan luas seperti Indonesia. Melalui desentralisasi itulah pemusatan kekuasaan dapat dihindari dan kesejahteraan daerah dapat cepat terwujud, karena elit lokallah yang lebih mengetahui dan memahami situasi daerahnya masing-masing, all politics is local. Pilkada berkaitan dengan memilih seorang Kepala Daerah. Dialah yang akan mengelola masyarakatnya, dialah yang seharusnya mengerti kehendak rakyat derahnya. Apakah Kepala Daerah tersebut akan berhasil atau tidak, tergantung dari masyarakat daerah terkait yang memilihnya. Seperti beberapa contoh di atas, banyak yang bermasalah tetapi juga terdapat beberapa yang baik mengelola daerah dan masyarakatnya.

Baca juga  Tim Ops Yustisi Gabungan Polsek Kep Seribu Selatan Beri Sanksi 8 Pelanggar ProKes

Masyarakat dengan pendidikan baik akan cenderung rasional dalam me- nentukan pilihannya. Masyarakat tidak akan mudah digoyang dengan emosi pri-mordial seperti agama, etnis, ras ataupun golongan. Peran partai politik dan berbagai kelompok kepentingan atau civil society berperan penting dalam memberdayakan masyarakat. Nilai-nilai demokrasi hendaknya disosialisasikan melalui lembaga-lembaga formal ataupun non-formal. Sekarang, media digital merupakan alat komunikasi yang efektif.

Jadi, keberhasilan seorang kepala daerah dalam mengelola daerahnya secara demokratis akan memperkuat desentralisasi di Indonesia.”

Tampil sebagai pembicara dalam seminar ini antara lain Dr. Theo Litaay dan Pipit Rochijat Kartawidjaja.

Hadir memberikan kata sambutan dalam seminar ini Rektor UKI‎ ‎Dr. Maruarar Siahaan, S.H., M.H., Ketua Yayasan UKI Salomo Pandjaitan, dan Dekan Fisipol UKI Angel Damayanti, M.Si., M.Sc. Tampak hadir dalam seminar tersebut seperti Imelda Masni J. Sianipar, S.IP., M.A.(Wakil Dekan FISIPOL UKI,), Dr. Antie Solaiman. Seminar ini diikuti oleh sekitar 300 orang mahasiswa Fisipol UKI serta keluarga besar UKI.

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Kristen Indonesia (FISIPOL-UKI) didirikan pada 9 November 1994 di bawah naungan Yayasan Universitas Kristen Indonesia (YUKI). FISIPOL-UKI sejak tahun 2000 telah terakreditasi oleh Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT) dan meluluskan lebih dari 650 orang alumni yang telah terjun mengabdi kepada masyarakat di lembaga-lembaga pemerintahan, swasta, organisasi internasional, perusahaan-perusahaan multi nasional maupun di media cetak dan elektronik.

Visi

Menjadikan FISIPOL sebagai fakultas unggulan, dibidang ilmu sosial dan ilmu politik yang mampu mengantisipasi perkembangan zaman yang berskala nasional dan internasional.

Misi

* Menghasilkan Sarjana-sarjana yang dijiwai nilai-nilai kristiani yang mampu menghadapi dan mengatasi tantangan di era globalisasi;

* Menghasilkan Sarjana-sarjana yang handal dan tangguh mengunakan teknologi modern untuk menunjang berbangai aktivitas pendidikan dan penelitian ilmiah yang bermanfaat bagi masyarakat;

Baca juga  Dengan Semangat Sumpah Pemuda: GMDM, BNN, Pemuda Indonesia Bersinar, Nawacita Indonesia dan Puluhan Ormas  Kobarkan Gerakan Anti Narkoba dan NKRI Harga Mati

* Menghasilkan Sarjana-sarjana yang berkompeten dan unggul dalam menghadapi dan mengatasi masalah-masalah yang berkaitan dengan Ilmu Hubungan Internasional dan Ilmu Komunikasi.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here