Oleh: Markus Saragih
GKI Yasmin dan tim pendamping lintas iman seperti SETARA Institute, PGI, LBH Jakarta, ANBTI, KontraS, HRWG, dan ILRC, menyerukan agar Walikota Bima Arya menghentikan upaya relokasi sepihak GKI Taman Yasmin, karena hal itu bukanlah solusi yang baik, tetapi justru jelas-jelas menabrak konstitusi dan prinsip-prinsip dasar Hak Asasi Manusia (HAM).
Selain itu, Pemkot Bogor di bawah kepemimpinan Walikota Bima Arya agar menghentikan kelanjutan taktik lama pecah belah di lingkungan internal Jemaat GKI Yasmin demi memuluskan upaya penutupan dan relokasi gereja sah GKI di Taman Yasmin. Ini adalah wujud perilaku pimpinan yang berkehendak buruk dan tidak etis dan sangat tidak pantas menjadi contoh bagi masyarakat.
“Kami juga mendesak pemerintah pusat, di bawah Presiden Joko Widodo, memastikan kepala daerah tunduk pada hukum dan konstitusi RI, dan tidak membiarkan adanya standar ganda dalam kasus pendirian rumah ibadah, yang digantungkan pada pertimbangan mayoritas-minoritas di suatu daerah, dengan memberikan keleluasaan bagi pihak yang dianggap mayoritas untuk mendiskriminasi kelompok agama yang dianggap minoritas, dan untuk membangkang dari kewajiban untuk patuh pada hukum dan konstitusi,” demikian seruan yang dibacakan Bona Sigalingging, Juru Bicara GKI Yasmin, saat jumpa pers di kantor LBH Jakarta, Rabu (11/11).
Sebab itu, Walikota Bogor Bima Arya diminta segera melaksanakan putusan Mahkamah Agung dan Rekomendasi Wajib Ombudsman RI dengan membuka gereja GKI di Taman Yasmin agar jemaat dapat mulai beribadah di dalam gereja sendiri yang sah di Jalan KH Abdullah bin Nuh Kav. 31 Taman Yasmin Bogor sejak ibadah Natal 25 Desember 2015 yang akan datang.
Juga mendesak pihak Kementrian Dalam Negeri untuk melibatkan pihak Jemaat GKI di Taman Yasmin dan komunitas lintas iman di kota Bogor dalam upaya mencari penyelesaian akhir GKI Yasmin, tidak hanya semata-mata mengikuti langkah pembangkangan hukum yang dilakukan pihak Pemkot Bogor.
Lebih jauh Bona menjelaskan: “Akhir Oktober 2015 jemaat GKI Yasmin mendapat informasi bahwa Pemkot Bogor meneruskan upaya relokasi GKI Yasmin, persis seperti yang pernah dicoba dilakukan oleh Walikota Bogor sebelumnya, Diani Budiarto. Ada tiga tempat yang ditawarkan sebagai relokasi yaitu di Jl. Dr. Sumeru, Bubulak, dan Kayu Manis.”
Pada kesempatan itu, Pdt. Henrek Lokra, Sekretaris Eksekutif Bidang Keadilan dan Perdamaian PGI menegaskan, bahwa perbuatan Bima Arya sangat tidak pantas dan tidak patut dijadikan panutan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Hal senada juga disampaikan Arif dari LBH Jakarta. Dia melihat, pemerintah pusat maupun daerah dalam menyelesaikan kasus GKI Yasmin seharusnya berdasarkan pada pendekatan Konstitusi dan Hak Asasi Manusia.
Sementara itu, Muhamad Subhi dari Desk Kebebasan Beragama, Beribadah Komnas HAM mempertanyakan mengapa Wali Kota Bogor Bima Arya malah membentuk tim rahasia untuk memindahkan atau relokasi GKI Yasmin, padahal, menurut Subhi, Komnas HAM pernah menyampaikan surat resmi, yang meneruskan usulan lintas iman bagi penyelesaian kasus GKI Yasmin, di lokasi Gereja GKI Yasmin dibangun gedung bertingkat, di mana lantai satu dari gedung tersebut digunakan untuk Gereja GKI di Taman Yasmin dan lantai lainnya dipakai sebagai Pusat Pengembangan ke-Bhinneka Tunggal Ika-an.
“Usul ini sudah dipercakapkan dengan GKI Yasmin, dan BPMSW Jawa Barat selaku pemilik tanah. Komnas HAM juga berikan pertimbangan yuridis dan HAM atas usul ini. Kami bingung, kenapa usul baik ini, yang berdasar bhinneka tunggal ika, kok malah diabaikan Bima Arya?” katanya.
Menyikapi perkembangan terakhir ini, Bona menegaskan pihak Gereja GKI Yasmin akan terus berjuang, dan tetap melakukan ibadah di depan Istana Negara sampai jemaat GKI Yasmin dapat beribadah di gerejanya yang sah.
Editor: Jeirry Sumampow
(Sumber: www.pgi.or.id)