Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Example floating
Example floating
Example 728x250
DuniaNasional

Indonesia Emas Tak Akan Tercapai Jika Generasi Muda Masih Menjadi Target Industri Rokok

×

Indonesia Emas Tak Akan Tercapai Jika Generasi Muda Masih Menjadi Target Industri Rokok

Sebarkan artikel ini
Example 468x60

Indonesia Emas Tak Akan Tercapai Jika Generasi Muda Masih Menjadi Target Industri Rokok

 

Example 300x600

Bogor, Gramediapost.com

 

Indonesia sedang menyiapkan generasi emas 2045. Namun di saat yang sama, masih ada bom waktu yang mengancam masa depan orang muda, yaitu tingginya angka perokok usia muda. Data terbaru dari Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 mencatat 5,18 juta anak usia 10-18 tahun aktif merokok, dan lebih dari 23% pemuda usia 15–24 tahun juga jadi konsumen rokok.

Situasi ini menjadi sorotan utama dalam forum Rembuk Pembangunan Pemuda 2025 yang digelar secara kolaboratif oleh Kementerian Pemuda dan Olahraga RI dan Indonesian Youth Council for Tactical Changes (IYCTC). Forum ini menjadi langkah strategi dalam mendorong integrasi isu pengendalian konsumsi rokok ke dalam agenda pembangunan pemuda.

Salah satu sorotan kuat datang dari *Dr. Drs. Yohan, M.Si, Deputi Pelayanan Kepemudaan Kemenpora RI*, yang menyatakan bahwa upaya penurunan prevalensi merokok harus dianggap sebagai indikator kinerja negara dalam meningkatkan kualitas hidup pemuda. “Angka merokok di kalangan pemuda secara langsung mempengaruhi skor Indeks Pembangunan Pemuda (IPP) kita. Jika ini tidak ditangani, bisa-bisa IPP tidak akan pernah mencerminkan kemajuan yang sesungguhnya,” ucapnya.

Pihaknya menekankan bahwa IPP bukan sekadar angka statistik tetapi menjadi alat ukur keberpihakan negara pada pemuda. Ia juga mendorong agar indikator pengendalian konsumsi rokok diperkuat secara lintas sektor, yaitu dari pusat hingga daerah. “Kami mendorong daerah untuk menyusun RAD Kepemudaan yang berisi strategi konkrit dalam menurunkan angka perokok muda. Ini bukan hanya kerja dinas pemuda, tapi butuh sinergi dengan dinas kesehatan, dinas pendidikan, bahkan Satpol PP,” lanjutnya.

Sebagai mitra sipil yang turut menginisiasi forum ini, *Manik Marganamahendra, Ketua Umum IYCTC* menggarisbawahi bahwa krisis rokok di kalangan pemuda bukan sekadar isu kesehatan, tapi persoalan ketimpangan kebijakan dan dominasi industri. “Indonesia saat ini menjadi negara dengan angka perokok laki-laki dewasa terbesardi dunia. Angka-angka ini tidak akan turun kalau industri tetap bebas membungkus rokok sebagai gaya hidup, sementara kebijakan kita terlalu lambat mengejarnya,” ujar Manik

Melalui Manifesto Orang Muda, IYCTC bersama jaringan pemuda di berbagai daerah menyerukan agar pengendalian konsumsi rokok dijadikan indikator eksplisit dalam penilaian Indeks Pembangunan Pemuda. Mereka juga menuntut keterlibatan bermakna orang muda dalam penyusunan dan monitoring kebijakan, termasuk Rencana Aksi Daerah dan penegakan Kawasan Tanpa Rokok (KTR).

Hal ini dipertegas oleh *dr. Beladenta Amalia, MPH., Ph.D, Project Lead Tobacco Control CISDI*, yang menyampaikan data mengejutkan dari studi kualitatif terbaru. “Tujuh dari sepuluh murid sekolah membeli rokok secara eceran, baik saat pertama kali mencoba maupun dalam konsumsi sebulan terakhir,” ungkapnya.

Yang lebih mencemaskan, lanjutnya, adalah besarnya pengeluaran remaja untuk rokok, antara Rp30.000 hingga Rp200.000 per minggu. “Itu setara dengan lebih dari setengah uang saku mereka, dan hampir separuh dari rata-rata pengeluaran per kapita mingguan penduduk Indonesia,” jelasnya. Fakta ini bukan hanya menunjukkan betapa mudahnya akses rokok di kalangan orang muda, tapi juga betapa lemahnya perlindungan ekonomi dan kesehatan terhadap mereka.

Dari sisi perlindungan anak, *Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI, Wiyarso Sunarso, Analisis Kebijakan Ahli Madya*, menegaskan bahwa pengendalian konsumsi rokok harus dilihat sebagai bagian integral dari pemenuhan hak anak. “Dalam kerangka Kota Layak Anak (KLA), indikator kawasan tanpa rokok (KTR) dan larangan iklan, promosi, serta sponsor (IPS) rokok sudah memiliki skor tertinggi dalam klaster kesehatan dasar dan kesejahteraan,” ucap Wiyarso.

Namun faktanya, masih banyak daerah yang belum menjalankan perda KTR secara utuh, sanksi yang tidak ditegakkan, dan bahkan menerima bantuan CSR dari industri rokok. Dalam konteks ini, anak-anak Indonesia masih dibiarkan tumbuh di tengah normalisasi zat adiktif yang mengancam masa depan mereka. “Hari Anak Nasional tahun ini seharusnya bukan hanya soal perayaan, tapi menjadi pengingat tegas untuk melindungi anak dari rokok dan menjadi tanggung jawab negara yang tak bisa ditunda lagi,” tutupnya.

Example 300250
Example 120x600

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *