Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Example floating
Example floating
Example 728x250
Nasional

Bencana Sumatera Menjadi Tragedi Hidrometeorologis, Wahyu Kurniawan, SH, MH: Ketika Negara Gagal Membaca Peringatan Alam

×

Bencana Sumatera Menjadi Tragedi Hidrometeorologis, Wahyu Kurniawan, SH, MH: Ketika Negara Gagal Membaca Peringatan Alam

Sebarkan artikel ini
Example 468x60

Bencana Sumatera Menjadi Tragedi Hidrometeorologis, Wahyu Kurniawan, SH, MH: Ketika Negara Gagal Membaca Peringatan Alam

 

Example 300x600

Foto: Istimewa

 

Jakarta, Gramediapost.com

 

Ratusan warga di Sumatera kembali menjadi korban dari bencana hidrometeorologis yang seharusnya dapat diantisipasi. Tercatat 303 jiwa meninggal dan Sumatera Utara mencatat angka paling tragis: 166 korban tewas dan 143 hilang. Di Aceh ada sebanyak 47 korban tewas, 51 orang hilang. Di Sumatera Barat 90 korban tewas, 85 orang hilang. Kerusakan luas terdampak dimana-mana, ribuan keluarga mengungsi dan infrastrsuktur dasar lumpuh. Derita ini bukan sekedar deretan angka, ini adalah wajah paling nyata dari kegagalan negara menjaga keselamatan warganya.

Respon pemereintah kembali menunjukkan pola klasik: hadir setelah korban berguguran. Padahal, kerentanan ekologis di Sumatera telah di peringatkan berkali kali oleh para ahli. Deforestasi masif, izin tambang yang meluas serta tata ruang yang mengabaikan daya dukung lingkungan telah menciptakan kondisi rapuh dan bencana ini hanya memantik bom waktu yang sudah lama dirakit oleh kebijakan buruk.

Lebih jauh lagi, ketidaksigapan biroktasi dalam mempercepat penanganan darurat memperlihatkan bahwa koordinasi lintas sektor masih jauh dari kata memadai. Penetapan status bencana yang berlarut, lambannya mobilisasi logistik, hingga minimnya transparansi data korban yang menciptakan kesan bahwa negara tidak memiliki mekanisme respon cepat yang terukur. Padahal, bagi masyarakat daerah rawan, setiap jam keterlambatan berarti nyawa tambahan yang hilang.

Ironisnya, orientasi pembangunan di banyak wilayah sumatera masih bertumpu pada eksploitasi sumber daya alam, sementara aspek keselamatan ekologis diabaikan. Alih fungsi hutan, izin tambang di kawasan resapan, serta lemahnya pengawasan atas indsutri ekstraktif menunjukkan bahwa bencana ini bukan datang secara tiba-tiba, melainkan merupakan produk langsung dari keputusan politik yang menempatkan ekonomi jangka pendek di atas keberlanjuyan hidup masyarakat.

Dengan skala kerusakan dan korban sebesar ini, pemerintah seharusnya tidak lagi sekedar menyalurkan bantuan, negara wajib melakukam koreksi struktural. Moratorium tambang di kawasan rawan, audit tata ruang berbasis sains, serta penetapan status bencana nasional adalah minimal yang harus diambil. Tanpa itu, bencana bukan hanya akan berulang, tetapi akan menjadi pola kematian yang dilegalkan oleh kelalaian kebijakan.

Sumatera adalah bagian integral indonesia. Ketika ratusan warga meninggal dan ribuan hidup dalam ketakutan, negara wajib hadir bukan sebagai pemadam sementara, tetapi sebagai pelindung yang memperbaiki akar masalah. Keselamatan publik tidak boleh kalah oleh kompromi politik dan ekonomi.

*Wahyu Kurniawan, S.H., M.H., adalah Akademisi & Praktisi Hukum (Mahasiswa Doktoral Hukum Undip Asal Kabupaten Rokan Hulu, Riau).

Example 300250
Example 120x600

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *