Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Example floating
Example floating
Example 728x250
Nasional

Celoteh Abah AAU : Melawan Militerisme, Bukan Institusi, Supremasi Sipil Adalah Harga Mati!

×

Celoteh Abah AAU : Melawan Militerisme, Bukan Institusi, Supremasi Sipil Adalah Harga Mati!

Sebarkan artikel ini
Example 468x60

Celoteh Abah AAU :
Melawan Militerisme, Bukan Institusi, Supremasi Sipil Adalah Harga Mati!

 

Example 300x600

Jakarta, Gramediapost.com

Harapan BARISAN PENEGAK SUPREMASI SIPIL : Jangan gunakan Komite Reformasi Polri yang di bentuk Presiden Prabowo jadi alat politik Dan membuka jalan masuknya Militerisme tunggangi pemerintahan Presiden Prabowo

Kita, sebagai warga negara Indonesia, memiliki rasa hormat yang tinggi terhadap Tentara Nasional Indonesia (TNI) sebagai penjaga kedaulatan dan keutuhan bangsa, serta Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) sebagai pilar utama penegakan hukum dan penjaga keamanan internal. Kedua institusi ini adalah alat negara yang vital. Namun, kami tegaskan: perlawanan kami bukan ditujukan kepada institusi, melainkan kepada ideologi dan praktik militerisme yang mengancam fondasi demokrasi.

Militerisme adalah kecenderungan menempatkan nilai, struktur, dan kendali militer di atas ranah sipil dan politik. Praktik ini, sebagaimana disoroti sejarah, telah berulang kali menghancurkan demokrasi dengan otoritarianisme dan penindasan. Indonesia memiliki pengalaman pahit di bawah rezim Orde Baru, di mana doktrin Dwifungsi ABRI menempatkan militer sebagai kekuatan sosial-politik yang dominan, mencengkeram birokrasi, mengontrol kebebasan sipil, dan melanggengkan kekuasaan otoriter selama 32 tahun.

Reformasi 1998: Penegakan Supremasi Sipil yang Berhasil

 

Titik balik Reformasi 1998 adalah momen kemenangan kedaulatan rakyat. Tuntutan utama rakyat, mahasiswa, dan aktivis adalah demiliterisasi politik dan penegakan Supremasi Sipil—prinsip yang menyatakan bahwa kekuasaan politik tertinggi harus berada di tangan pemimpin sipil yang dipilih secara demokratis, yaitu Presiden.

Keberhasilan monumental pasca-1998 telah berhasil membatasi secara signifikan peran militer dalam politik:
Pemisahan TNI dan Polri (2000): Langkah ini mengembalikan TNI murni ke fungsi pertahanan negara (national defence) dan mentransformasi Polri menjadi institusi sipil yang mengurusi keamanan dan ketertiban masyarakat (internal security) di bawah Presiden.

Penghapusan Hak Politik (2004): Fraksi TNI/Polri secara resmi dicabut dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), mengakhiri akses formal militer dalam proses legislatif dan politik praktis.

Reformasi Hukum Militer:

Pengesahan UU TNI Nomor 34 Tahun 2004 secara normatif mengukuhkan prinsip bahwa prajurit aktif harus mengundurkan diri atau pensiun jika ingin menduduki jabatan sipil.

Ini adalah pilar kunci kontrol sipil.

Supremasi sipil yang kita nikmati hari ini adalah hasil perjuangan yang tak ternilai. Jangan pernah berfikir untuk hancurkan mimpi itu karena kami pasti akan didepan untuk melakukan perlawanan kembali. Itu pasti!

Komitmen Presiden Sipil dan Independensi Polri

Meskipun fondasi normatif telah kuat, residu dan godaan militerisme selalu mengintai, seringkali melalui pintu belakang seperti pelibatan anggota aktif di jabatan sipil yang tidak terkait fungsi pertahanan. Oleh karena itu, komitmen dari kepemimpinan sipil menjadi krusial.

Presiden Prabowo Subianto—seorang sipil yang memegang tampuk kekuasaan tertinggi—dituntut untuk konsisten menjaga Demokrasi dan Supremasi Sipil. Beliau harus teguh berpihak pada Rakyat serta menempatkan TNI dan Polri sebagai alat negara yang profesional dan netral, bukan alat kekuasaan politiknya.

Menariknya, Presiden Prabowo sendiri memiliki pengalaman sebagai korban militerisme dan fitnah politik di era rezim otoriter sebelumnya.

Pengalaman ini harus menjadi pelajaran berharga yang mengukuhkan tekadnya: saat berkuasa sebagai sipil, beliau harus menjadi sosok sipil yang lebih sipil, yang sepenuhnya tunduk pada hukum dan konstitusi, serta mempertahankan supremasi sipil tanpa kompromi.

Menjaga Polri dari Intervensi

Supremasi sipil sangat bergantung pada pemisahan yang jelas antara pertahanan (TNI) dan keamanan/penegakan hukum (Polri). Dalam konteks ini, kita harus tegas mendukung:
Reformasi Polri dari Budaya Militerisme: Kita pasti Dukung Reformasi Polri dari segi penghapusan Budaya Militerisme dan Kesewenang-wenangan, serta menuntut reorganisasi sipil yang menekankan akuntabilitas, transparansi, dan pelayanan publik yang humanis.

Independensi Polri:

Jangan obok obok Polri dengan upaya politisasi atau pelemahan. Polri harus tetap independen dalam menjalankan fungsi dan tugasnya menciptakan Kamtibmas dan Penegakan Hukum berkeadilan, dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden.

Apapun alasannya, jangan biarkan upaya menghancurkan atau melemahkan Polri (sebagai institusi sipil) karena hal itu justru akan membiarkan Militerisme kembali mengisi kekosongan tersebut.

Presiden harus tetap berpijak pada supremasi sipil, memastikan bahwa fungsi keamanan domestik sepenuhnya di bawah kendali sipil dan hukum.

Perjuangan untuk menjaga supremasi sipil adalah tanggung jawab kolektif. Setiap langkah mundur adalah pengkhianatan terhadap cita-cita Reformasi 1998.

Rakyat Indonesia telah membuktikan kekuatannya, dan kami tidak akan pernah membiarkan masa kelam itu kembali.

Melawan Militerisme, Bukan Institusi:

 

Mempertegas Supremasi Sipil Adalah Harga Mati
Kita mencintai Tanah Air, dan kita menghormati Tentara Nasional Indonesia (TNI) sebagai garda terdepan pertahanan negara, serta Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) sebagai pilar utama penjaga keamanan dan ketertiban masyarakat.

Namun, tegas kami nyatakan: perlawanan kami bukan ditujukan kepada institusi TNI dan Polri, melainkan kepada ideologi dan praktik militerisme yang mengancam sendi-sendi demokrasi.

Militerisme adalah hantu masa lalu yang harus terus kita hadapi. Sejarah kelam Orde Baru menjadi pengingat abadi bagaimana dominasi militer dalam urusan sipil (Dwifungsi ABRI) menghancurkan demokrasi, melahirkan otoritarianisme, dan menindas kebebasan rakyat. Demokrasi yang dicengkeram kekuasaan militer adalah demokrasi yang cacat, yang hanya melayani kepentingan segelintir elit, bukan kedaulatan rakyat.

Titik Balik Reformasi 1998: Mimpi yang Berhasil Ditegakkan

Mei 1998 adalah titik balik monumental. Rakyat, mahasiswa, dan seluruh komponen sipil bersatu menuntut reformasi, dan salah satu tuntutan terpenting adalah pencabutan Dwifungsi ABRI dan penegakan Supremasi Sipil.

Dalam waktu singkat pasca-Reformasi, kita telah berhasil mencapai langkah-langkah historis:
Pemisahan TNI dan Polri (2000): TNI dikembalikan fokusnya sebagai alat pertahanan negara, sementara Polri menjadi lembaga keamanan internal yang berada di bawah Presiden.

Penghapusan Fraksi TNI/Polri di Parlemen (2004): Militer dan polisi secara formal ditarik dari politik praktis, mengakhiri hak mereka untuk berpolitik di lembaga legislatif.
Pengesahan UU TNI 2004: Secara normatif, undang-undang ini mewajibkan prajurit aktif mundur dari dinas jika ingin menduduki jabatan sipil, sebuah prinsip kunci kontrol sipil.

Supremasi sipil telah ditegakkan, setidaknya di atas kertas. Kekuasaan politik tertinggi berada di tangan pemimpin sipil yang dipilih secara demokratis oleh rakyat, yaitu Presiden. TNI dan Polri telah ditempatkan pada posisi yang benar: sebagai alat negara untuk pertahanan dan keamanan, bukan alat kekuasaan penguasa politik.

Menjaga Komitmen: Stabilitas, Demokrasi, dan Polri Independen

Mimpi supremasi sipil ini adalah hasil perjuangan berdarah dan keringat. Oleh karena itu, kita tidak akan pernah membiarkan upaya-upaya untuk meruntuhkan fondasi yang sudah dibangun.

Kepada Presiden sipil yang berkuasa, termasuk Presiden Prabowo Subianto, komitmen pada supremasi sipil adalah janji yang tidak boleh dilanggar. Kita menyaksikan rekam jejaknya: ia pernah menjadi korban fitnah politik di bawah rezim otoriter dan partai penguasa di masa lalu, dan kini sebagai seorang sipil yang memimpin negara, ia harus membuktikan dirinya adalah Presiden yang konsisten menjaga Demokrasi dan Supremasi Sipil, serta berpihak sepenuhnya pada kedaulatan rakyat.

Menempatkan TNI dan Polri sebagai alat negara, bukan alat kekuasaan, adalah bukti nyata komitmen itu.

Stabilitas Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Kamtibmas) harus diciptakan melalui jalur sipil-demokratis, didukung oleh penegakan hukum yang berkeadilan. Ini adalah tugas utama Polri sebagai institusi sipil yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden.

Kita mendukung penuh Reformasi Polri untuk membersihkan diri dari residu budaya militerisme dan praktik-praktik kesewenang-wenangan. Reformasi ini harus mencakup reorganisasi yang lebih menempatkan warga sipil pada fungsi-fungsi pengawasan, transparansi, dan akuntabilitas.

Namun, di saat yang sama, kita harus menjaga Polri agar tetap independen dan tidak mudah diintervensi oleh kepentingan politik atau kekuatan lain. Jangan pernah ada upaya untuk “mengobok-obok” Polri dengan tujuan melemahkan independensinya.

Melemahnya Polri yang sipil hanya akan membuka jalan bagi militerisme untuk kembali mengisi kekosongan di ranah keamanan domestik dan hukum, mengancam supremasi sipil yang telah kita perjuangkan.

Kami Siap Melawan Kembali!

Perjuangan supremasi sipil adalah perjuangan yang tak pernah usai, karena residu dan godaan militerisme selalu ada. Peningkatan peran militer di ranah sipil, meskipun atas nama stabilitas, adalah alarm bahaya.

Kita telah berhasil meruntuhkan hegemoni masa lalu. Kita telah menegakkan mimpi demokrasi.

Jangan pernah berpikir untuk menghancurkan mimpi itu! Kami, rakyat sipil, telah membuktikan bahwa kami mampu berdiri kokoh. Jika ada satu inci saja upaya untuk mengembalikan militerisme, untuk melanggar supremasi sipil, atau menjadikan alat negara sebagai alat kekuasaan, kami pasti akan berdiri di garis depan untuk melakukan perlawanan kembali. Itu pasti!

**”

Penulis:
Ade Adriansyah Utama SH MH
Celoteh.ABAH OFFICIAL Konten Kreator YouTuber Sosial politik hukum , Akademisi Magister Hukum Univ Bhayangkara Jakarta Raya , Aktivis 98 , Dir Eksekutif Komite Pendukung dan Pengawas PRESIISI(KP3) POLRI, MS INDONESIA Innisiator Team TAMPAK Kasus Duren 3 Sambo, Team Advokasi Kanjuruhan, team Hukum Sakatatal dan advokasi kasus Vina Cirebon , Innisiator Barisan Penegak Supremasi Sipil

Example 300250
Example 120x600

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *