Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Example floating
Example floating
Example 728x250
Nasional

Produsen Food Tray Dalam Negeri Tegaskan Siap Mendukung Program Makan Bergizi Gratis (MBG) dan Siap Penuhi Kebutuhan Program MBG

×

Produsen Food Tray Dalam Negeri Tegaskan Siap Mendukung Program Makan Bergizi Gratis (MBG) dan Siap Penuhi Kebutuhan Program MBG

Sebarkan artikel ini
Example 468x60

Produsen Food Tray Dalam Negeri Tegaskan Siap Mendukung Program Makan Bergizi Gratis (MBG) dan Siap Penuhi Kebutuhan Program MBG

 

Example 300x600

 

Jakarta, Gramediapost.com

 

Asosiasi Produsen Alat Dapur dan Makan (ASPRADAM) bersama Asosiasi Produsen Wadah Makanan Indonesia (APMAKI) menggelar sarasehan bertema “Peran Produsen Food Tray Dalam Negeri dalam Mendukung Program Makan Bergizi Gratis (MBG)”. Kegiatan ini berlangsung di Hotel Best Western, Senayan, Jakarta pada Kamis, 31 Juli 2025.

Dalam acara tersebut, Ali Cendrawan, perwakilan dari PT MBG, menyampaikan paparan terkait tantangan dan potensi produsen food tray dalam negeri untuk mendukung program MBG nasional.

Ali menjelaskan, “Jika kami diberikan kesempatan untuk berkontribusi dalam bidang jasa ini, kami siap ikut serta. Memang, dibandingkan sektor otomotif yang memiliki tingkat kesulitan tinggi dan kompleks, produksi food tray relatif lebih mudah. Namun, sayangnya informasi dan teknologi yang diterima oleh produsen dalam negeri masih belum cukup untuk memenuhi kebutuhan pasar secara optimal.”

Ali menambahkan, “Kemampuan kami sebenarnya sudah terbukti. Bahkan, Bapak Ketua asosiasi kami telah datang langsung untuk meninjau proses produksi kami. Jika usaha ini dikembangkan secara maksimal, potensi pendapatan dapat mencapai sekitar 60 juta rupiah per bulan. Saat ini, dalam kondisi standar saja, kami sudah mampu menghasilkan sekitar 10 juta rupiah per bulan.”

Ia juga menyampaikan kekecewaannya terhadap kurangnya dukungan dari kementerian terkait dan lembaga pengawas, yang menurutnya membuat para pelaku usaha merasa berjalan sendiri. “Sangat disayangkan jika ada pihak yang mengatakan kementerian tidak hadir atau tidak memperhatikan kebutuhan kami. Kami berharap kementerian bisa menjadi tumpuan dan mitra dalam mendorong produksi dalam negeri agar mampu memenuhi kebutuhan nasional, khususnya dalam program makan bergizi gratis.”

Para Pengusaha lokal produsen food tray atau wadah untuk program Makan Bergizi Gratis (MBG) mengeluhkan ketidakjelasan situasi bisnis akibat Permendag Nomor 22 Tahun 2025 yang mengatur tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor Barang Industri Tertentu.

Menurut Sekjen Asosiasi Produsen Wadah Makanan Indoneia (APMAKI) Alie Cendrawan, jika aturan tersebut tidak diperbaiki maka akan membahayakan iklim investasi dari penguasaha lokal yang berbisnis di bidang produsen food tray. Menurut dia, lewat aturan itu maka barang impor dapat masuk lebih mudah dengan harga yang lebih murah. Termasuk untuk food tray.

“Tiba-tiba datanglah regulasi dari regulator yaitu kementerian yang bisa membuka semua pihak mengimpor food tray sehingga dengan regulasi yang di-open bisa mematikan investor dalam negeri,” pungkas Ali.

Karena itu, Ali juga menegaskan pentingnya sinergi antar produsen dan pemerintah untuk menghilangkan ketergantungan pada impor dan menjadikan produsen dalam negeri sebagai penopang utama kebutuhan food tray di Indonesia.

Sarasehan ini diharapkan dapat menjadi wadah diskusi konstruktif bagi produsen, pemerintah, dan pemangku kepentingan terkait untuk memperkuat peran industri dalam negeri dalam mendukung keberhasilan program MBG yang berdampak positif pada kesehatan dan kesejahteraan masyarakat.

Namun Ali menyampaikan kekecewaan terhadap kurangnya dukungan dari kementerian terkait dan lembaga pengawas, yang menurutnya membuat para pelaku usaha merasa berjalan sendiri.

Alie menambahkan, hal yang lebih dikhawatirkan pihaknya adalah ketika diduga adanya food tray dari impor yang digunakan tidak berstandar food grade alias memang tidak diperuntukkan bagi makanan. Sehingga dapat membahayakan pelajar yang menggunakannya.

“Food tray yang diduga impor itu ada yang kami temukan stainless steel 201 yang dapat membahayakan karena kandungannya mudah berkarat dan dapat terkontaminasi dengan makanan sebab belum food grade. Sedangkan yang dibuat produsen lokal sudah 304 dan sudah dijamin foodgrade,” jelas Alie.

Sangat disayangkan jika ada pihak yang mengatakan kementerian tidak hadir atau tidak memperhatikan kebutuhan kami.

Kami berharap kementerian bisa menjadi tumpuan dan mitra dalam mendorong produksi dalam negeri agar mampu memenuhi kebutuhan nasional, khususnya dalam program makan bergizi gratis,” tutup Ali.

Asosiasi Produsen Makanan Khas Indonesia) dan Pak Cao dari ASPRADAM (Asosiasi Produsen Alat Dapur Makanan) turut mendukung seruan untuk pembukaan regulasi yang memungkinkan produsen lokal lebih mudah mendapatkan bahan baku, serta membedakan perlakuan antara barang impor jadi dan bahan baku impor.

“Jangan samakan regulasi antara barang jadi impor dan bahan baku. Kalau bahan bakunya dibatasi, bagaimana kita bisa produksi? Harga produk luar bisa jauh lebih murah, itu tidak adil,” ungkap Robet.

Sandi anggota ADMK menambahkan bahwa data hingga Juni 2025 menunjukkan hanya 350 dapur terbangun dari kapasitas produksi nasional 2.600 dapur per bulan. Ini berarti hanya 12% kapasitas yang terpakai, sehingga rencana impor dapur sangat disayangkan. Pembicara juga menyoroti masalah standarisasi food tray, banyak ditemukannya produk food tray impor dengan bahan stainless steel yang tidak sesuai standar (SUS 201), bukan menggunakan SUS 304 yang sesuai standar. Dimana SUS 201 berpotensi menimbulkan masalah kesehatan.

Ia menegaskan bahwa seluruh anggota ADMKI telah menggunakan bahan baku standar internasional SUS 304 yang aman dan tahan lama. Pengujian sederhana dengan cairan asam menunjukkan SUS 201 (dengan kadar mangan tinggi) bereaksi dan menghitam, berbeda dengan SUS 304. Ini menunjukkan potensi bahaya kesehatan jangka panjang karena migrasi logam berat ke makanan selama proses pengolahan dan penyimpanan (sekitar 4 jam).

Meskipun belum ada bukti langsung dampak kesehatan jangka panjang, pembicara menekankan perlunya standarisasi yang lebih ketat untuk melindungi kesehatan, khususnya anak-anak penerima manfaat. Pembicara mengakui keterbatasannya sebagai bukan ahli kedokteran, namun menyajikan temuan pengujian sederhana sebagai dasar keprihatinannya.

“Banyak keluhan sakit perut dari penerima manfaat karena penggunaan bahan tak layak. Kita tidak bisa menoleransi hal ini. Ini menyangkut kesehatan generasi masa depan,” tegasnya.

 

Sebagai informasi, soal alasan terbukanya peluang impor, dikarenakan pernyataan Badan Gizi Nasional (BGN) soal produksi food tray lokal belum mampu memenuhi kebutuhan yang diminta sebanyak 82,9 juta penerima manfaat. Menurut BGN, baru ada 16 perusahaan produsen lokal yang hanya mampu memproduksi 2 juta (food tray) per bulan. Artinya, secara jumlah baru mencukupi 12 juta food tray.

Menjawab pernyataan BGN, Alie sebagai perwakilan asosiasi menyatakan hal itu adalah situasi di awal saat program MBG akan kick off. Kala itu, para pengusaha masih wait and see melihat peluang.

Namun saat ini, dia meyakini, para pengusaha lokal, khususnya yang tergabung dengan asosiasinya sudah lebih siap untuk totalitas menyukseskan program MBG melalui food tray yang lebih masif demi memenuhi target BGN

 

“Kami pengusaha nasional investasi sudah Rp 300 sekian miliar! Jadi kalau ada kebutuhan yang kurang kami siap memenuhi investasi, tapi jangan dibuka keran impornya, karena bisa-bisa kami baru tumbuh langsung layu. Jadi kita menyatakan sanggup untuk memenuhi kebutuhan MBG lewat food tray produsen dalam negeri,” tegasnya.

 

Example 300250
Example 120x600

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *