PROBLEMATIKA ZONASI SEBAGAI FENOMENA GAGAL RANCANG BANGUN PENDIDIKAN

0
464

 

Oleh: Izaac Litaay – Ketua Bidang Pendidikan & SDM DPP PIKI *

*PENGANTAR*

Permen P&K nomor 51 tahun 2018 sebagai payung hukum penerapan sistem zonasi merupakan upaya administratif untuk melegitimasi sebuah kebijakan di bidang pendidikan yang kontra produktif. Di saat program wajib belajar sudah dilaksankan dalam rentang waktu yang cukup signifikan dimana siswa peserta didik konsisten dalam jumlah yang signifikan maju ke jenjang sekolah yang lebih tinggi, maka kapasitas sekolah (penampung) menjadi bermasalah.

Sejatinya itikad baik masyarakat untuk menyekolahkan anak khususnya dalam memasuki jenjang yang lebih tinggi, sudah diantisipasi dengan cerdas oleh pemangku kepentingan bukan, sekedar sebagai regulator tetapi harus sebagai inovator. Sistem pendidikan atau lebih operasional lagi PBM (proses belajar mengajar) harus di”review” dengan pendekatan dynamic modelling dengan mempertimbangkan sebanyak mungkin variabel endogen maupun eksogen yang berkontribusi pada pada sistem tesebut.

Otoritas bidang pendidikan bukan boleh serta merta merespon gap kapasitas dengan menerapkan kriteria zonasi untuk membatasi calon peserta belajar lintas zona domisili. Namun harus menyodorkan solusi jangka pendek (sekalipun sangat partikular) yang mendukung pelaksanaan hak asasi untuk memperoleh pendidikan (creff UU perlindungan anak), sehingga calon peserta belajar bisa menemukan kebutuhan ruang untuk belajar secara nyaman.

*SOLUSI SIMPTOMATIK vs RADIKAL*

Fenomena zonasi ini menunjukan beberapa poin penting yang perlu segera direspon secara holistik, sbb:

1. Perlu perencanaan kapasitas yang realistis berbasis data induk pendidikan nasional. Simptom saat ini adalah tidak “balance” nya kapasitas sekolah terhadap jumlah peminat.

2. Indeks prestasi belum cukup merata sebagai indikator pencapaian hasil sehingga tidak “fair” jika digunakan sebagai “syarat cukup” dalam penerimaan siswa baru. Karena itu sebaiknya hanya digunakan sebagai indikaror prestasi relatif tetapi bukan sebagai faktor penyaringan ke jenjang belajar yang lebih tinggi.

Baca juga  Jambi Rumah Pancasila : Kedaulatan Rakyat Dan Pemilu Membangun Persatuan Indonesia

3. Pendidikan Dasar hingga Menengah harus menjadi ruang publik yang  mempertemukan Negara dan Rakyat dalam wujud pelayanan publik yang baik dan efektif. Notabene sebagai konsekuensi logis dari program wajib belajar yang dicanangkan pemerintah. (Creff: lihat KKNI, kerangka kualifikasi nasional).

4. Perencanaan pendidikan pada semua level, mulai dari kebijakan hingga operasional tidak terintegrasi dengan baik, atau paling tidak terbaca bahwa perencanaan tersebut tidak matang. Sekali lagi perlu ditegaskan bahwa sistem pendidikan/ PBM bukan sistem linier (yang mudah berapologia “ceteris paribus”), tetapi merupakan sistem dinamik dan juga senantiasa berubah terhadap waktu (creff: zaman) dan sangat elastis.

Karena itu maka harus merumuskan konsepsi solusi yang fundamental (berbasis data riil dan kredibel, bukan sekedar statistikal) dan radikal (mengurai akar masalah dan indikator suksesnya).

Beberapa catatan saya untuk membangun sulusi yang optimal ke depan adalah sbb:

1. Perencanaan sistem pendidikan pada aras PBM harus dilakukan secara dinamik (Dynamic Modelling) dengan melibatkan varibal sistemik yang sangat rinci berdasarkan asumsi-asumsi kredibel dan bukan sekedar statistikal.

2. Perencanaan PBM menggunakan paradigma sistem produksi / sistem industri yang kurang lebihnya secara sekuensial  bisa menjadi manual refference untuk perbaikan sistem ke depan. Kaidah perencanaan ini dimulai dari (a).engineering design, (b).product design/ disain hasil, (c) process design. Dalam disain proses inilah perencanaan kapasitas harus benar benar matang, karena akan berhadapan dengan kendala sistemik nantinya pada saat operasional. (Creff: sistem zonasi sebagai filter partikular menunjukkan kegagalan dalam perencanaan kapasitas).

3. Penyeimbangan layanan publik dalam bentuk distribusi penerimaan siswa sesuai daya tampung zona, merupakan sebuah langkah darurat yang baru boleh ditempuh jika baru terjadi sebuah revolusi. Namun untuk kita saat ini yang tidak dalam kondisi revolusi (Creff: kecuali satu, yakni REVOLUSI MENTAL), bentuk solusi harus berbasis kurikulum (daya tampung kogninif), bukan berbasis daya tampung fisik sarana prasarana. Hal ini sangat terkait dengan konsepsi wajib belajar yang saat ini sudah masuk dalam era oto-kritik.

Baca juga  PD ISHC DKI Diresmikan, Ini Pesan Ketua Umum

4. Sinergisme dalam perencanaan selalu harus diupayakan kendatipun dalam rentang waktu yang sangat terbatas. Di situ pulalah akan terjadi konsolidasi sumberdaya sehingga hasil perencanaan akan sangat efektif. Salah satu hasil sinergisme adalah efisiensi anggaran, yang pada gilirannya bisa meningkatkan kapasitas, sehingga tidak perlu ada zonasi sekolah dalam kerangka wajib belajar.

*PENUTUP*

Demikian pokok pemikiran saya dalam merespon “heboh zonasi sekolah” , bukan sebagai sebuah wacana transaksional atau reaktif, melainkan sebagai sebuah oto-kritik transformasional.

Solusi ideal tidaklah mudah, namun paling tidak solusi dinamik dengan berbasis asumsi yang kredibel akan sangat membantu memecahkan permasalahan penyeimbangan sistem pada lapisan PBM. Karena sarana prasarana yang nyaman merupakan ruang pendidikan dan pembelajaran yang kita semua idamkan.

Kalo ada pepatah atau credo “home sweet home”, maka kini saatnya kita ber-credo “school sweet home” ..

*Ad Caritas Et Veritas*

* Penulis adalah pemerhati bidang pendidikan, pernah dosen, penguji kopertis, Tenaga Ahli Anggota DPR RI, konsultan SDM.
** Disampaikan pada FGD Fraksi Partai Nasdem oleh Irene Simanjuktak, Selasa 2 Juli 2019.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here