Jakarta, Gramediapost.com
Warga Kota Maumere, Kabupaten Sikka, Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT), dihebohkan dengan beredarnya video aksi perpeloncoan oleh senior terhadap junior di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) BM pada Selasa (11/6/2019).
Dua video yang masing-masing berdurasi 29 detik itu pun sontak menyedot perhatian warganet di Kota Maumere. Pihak SMK BM Maumere kemudian menjatuhkan sanksi terhadap 4 siswa yang terlibat dalam video tersebut, yaitu : 2 orang siswa sebagai pelaku perpeloncoan terhadap junior tersebut, 1 orang merekam video dan 1 orang lagi menyebarkan video di history WhatsApp.
Dalam video tersebut, seluruh anak korban dan anak pelaku menggunakan seragam berupa kaos olahraga sekolah, artinya ada kaitan antara anak korban dan anak pelaku. KPAI menduga, ini kekerasan yang terjadi antara siswa senior terhadap siswa junior. Walau sekolah melakukan bantahan bahwa kejadian tersebut tidak terpantau karena terjadi di luar lingkungan sekolah, namun sekolah tidak bisa lepas tanggungjawab, karena ada unsur kelalaian dalam melakukan pembinaan dan penanaman karakter anti kekerasan kepada para siswanya.
Pihak sekolah menyatakan bahwa selama 20 tahun sejak sekolah berdiri, baru kali ini ada aksi perploncoan dan mengaku tidak mengetahui sama sekali perbuatan perploncoan tersebut karena di lakukan di luar sekolah. KPAI menyesalkan pernyataan ini karena seolah sekolah ingin “cuci tangan” dan melimpahkan seluruh kesalahan pada 4 siswa, sehingga keempatnya layak di keluarkan dari sekolah.
Padahal, pihak sekolah dalam pasal 54 ayat (1) UU RI No. 35 tahun 2014 tentang perlindungan anak memiliki kewajiban bahwa “Anak di dalam dan di lingkungan satuan pendidikan wajib mendapatkan perlindungan dari tindak Kekerasan fisik, psikis, kejahatan seksual, dan kejahatan lainnya yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain”.
Atas kejadian tersebut, maka KPAI menyampaikan hal-hal sebagai berikut :
1. KPAI prihatin atas kekerasan yang terus terjadi di pendidikan. Kali ini melibatkan antara siswa dengan sesama siswa di sekolah yang sama. Kekerasan dalam bentuk apapun dan dilakukan siapapun tentu tidak dibenarkan dan wajib ditangani sesuai ketentuan peraturan perundangan yang berlaku dengan tetap mempertimbangkan kepentingan terbaik bagi anak. Sekolah dapat merujuk pada Permendikbud No 82 tahun 2015 tentang pencegahan dan penanganan kekerasan di satuan pendidikan. Dalam permendikbud tersebut, menyebut perploncoan sebagai salah satu bentuk kekerasan.
2. KPAI menyayangkan sikap sekolah yang langsung mengeluarkan ke-4 siswanya tanpa melakukan proses pembinaan terlebih dahulu. KPAI mempertanyakan system pembinaan siswa di lembaga pendidikan (SMK BM) tersebut karena tanpa melalui pembinaan oleh pihak kesiswaan terlebih dahulu siswa langsung dikeluarkan dari sekolah. Anak bisa salah dan pasti berbuat salah dalam proses tumbuh kembangnya, namun kita sebagai guru dan orangtua sejatinya wajib mendampingi dan membina serta memberikan kesempatan anak memperbaiki diri dan belajar dari kesalahannya.
3. KPAI mendorong Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) wajib menjamin keberlanjutan hak atas pendidikan ke-4 anak pelaku tersebut, setidaknya mencarikan sekolah pengganti. Karena, ketika video kekerasan tersebut viral dan wajah anak dan nama sekolahnya diketahui publik, maka besar kemungkinan mereka mendapat penolakan saat mutasi ke sekolah lain yang sesuai dengan jurusannya di SMK asal. Pemerintah provinsi, dalam hal Disdikbud wajib tetap memenuhi ha katas pendidikan ke-4 anak tersebut.
4. KPAI mendorong pihak sekolah untuk melakukan penelusuran terhadap perploncoan yang terjadi karena melibatkan para siswa di SMK BM tersebut. KPAI menduga kuat, praktik perploncoan tersebut bukan baru terjadi, ada kemungkinan sudah berlangsung beberapa tahun, hanya saja tidak berhasil dipantau oleh pihak sekolah, terutama pihak kesiswaan. Diduga kuat, anak-anak yang menjadi pelaku perplocoan yang dikeluarkan, dulunya juga pernah menjadi korban perploncoan yang sama. Budaya kekerasan ini yang wajib diputus mata rantainya oleh pihak sekolah. Ini momentum memutus mata rantai kekerasan tersebut.
5. KPAI mendorong SMK BM untuk mulai menginisiasi program Sekolah Ramah Anak (SRA) dan membuka posko pengaduan dengan menjamin pihak pengadu di lindungi dan pelaku ditindak sesuai ketentuan yang berlaku dengan tetap memegang prinsip kepentingan terbaik bagi anak.
Jakarta, 13 Juni 2019
Retno Listyarti, Komisioner KPAI bidang Pendidikan