EDITORIAL MEDIA INDONESIA
KEBERADAAN lembaga survei di Indonesia sudah menjadi keniscayaan demokrasi. Ia menjadi bagian penting politik elektoral karena tidak ada pemilihan pejabat publik di negeri ini tanpa partisipasi lembaga survei.
Saking pentingnya, hasil survei itu ibarat pelita yang menerangi politisi berjalan di lorong gelap menuju kekuasaan. Melalui survei, bisa diketahui besar tidaknya dukungan masyarakat bagi seseorang untuk maju dalam suatu pemilihan jabatan publik, seperti anggota legislatif, kepala daerah, dan presiden.
Dukungan masyarakat mampu direkam melalui survei sebab kegiatan itu berbasis ilmiah. Karena itulah, para cendekiawan menyebut survei sebagai ilmu sekaligus seni. Instrumen survei disusun berdasarkan kaidah ilmu penelitian pendapat publik, sedangkan seninya terletak pada pilihan kata dalam menyusun pertanyaan.
Sebagai kegiatan berbasis ilmiah, setiap hasil survei terbuka untuk diuji. Karena itulah, pengumuman hasil survei terkait dengan pemilu wajib memberitahukan sumber dana, metodologi yang digunakan, jumlah responden, tanggal pelaksanaan survei, dan cakupan pelaksanaan survei. Kewajiban itu sebagai bentuk transparansi untuk mengukur integritas dan independensi dalam meraih kepercayaan publik.
Kepercayaan publik itulah yang belum sepenuhnya didapatkan. Hasil survei kerap bertentangan satu sama lain sehingga muncul anggapan ada lembaga survei abal-abal yang hasilnya sesuai dengan pesanan. Lembaga seperti itu bekerja membela yang bayar.
Perbedaan selisih suara hasil survei pemilu boleh-boleh saja. Perbedaan itu murni ranah metodologi. Jumlah sampel, cara pengambilan sampel, distribusi sampel, margin of error, tingkat signifikansi, dan selisih suara ialah ranah metodologis yang menyebabkan hasil berbeda. Jika pemenang pemilu berbeda di antara lembaga survei, patut diduga ada lembaga abal-abal.
Tuduhan abal-abal atas lembaga survei muncul pada Pilpres 2014. Ketika itu, pada saat mengumumkan hasil penghitungan cepat, empat lembaga survei memenangkan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa, sedangkan tujuh lembaga lainnya sama seperti hasil pengitungan manual KPU, Joko Widodo-Jusuf Kalla keluar sebagai pemenang.
Setelah empat lembaga survei itu lama tak terdengar, tiba-tiba saja ada di antaranya bersalin nama dan langsung merilis hasil survei. Hasilnya pun jauh berbeda dari lembaga-lembaga yang rutin merilis hasil survei mereka.
Menjelang Pilpres 2019, semua lembaga survei mengumumkan keunggulan Joko Widodo-KH Ma’ruf Amin atas Prabowo-Sandiaga Uno dengan selisih kurang lebih 20%. Akan tetapi, ada pula lembaga survei yang bersalin nama itu merilis hasil survei dengan selisih tidak terpaut jauh, di bawah 4%.
Harus tegas dikatakan bahwa Pilpres 2019 masih dibayang-bayangi kehadiran lemabaga survei abal-abal. Publik mendorong lembaga survei bersungguh-sungguh merawat integritas dan independensi. Kiranya semua lembaga survei diwajibkan berhimpun dalam asosiasi. Asosiasi itulah yang melakukan uji validasi terhadap kerja akademis berbasiskan metodologi dan responden.
Kewajiban berhimpun dalam asosiasi sudah tersirat dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Keberadaan survei diatur pada bagian partisipasi masyarakat. Disebutkan bahwa pemilu diselenggarakan dengan partisipasi masyarakat. Partisipasi itu dapat dilakukan dalam bentuk, antara lain, survei atau jajak pendapat tentang pemilu.
Ketentuan lebih rinci mengenai survei diatur melalui Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 10 Tahun 2018. Survei atau jajak pendapat dan penghitungan hasil cepat hasil pemilu dilakukan lembaga yang terdaftar di KPU. Pendaftaran dilakukan paling lambat 30 hari sebelum pencoblosan atau 19 Maret.
PKPU menyebutkan, jika lembaga survei diadukan masyarakat karena melakukan pelanggaran, KPU bisa membentuk dewan etik atau menyerahkan pengaduan itu kepada asosiasi lembaga survei. Bagaimana mungkin asosiasi menangani pengaduan terhadap lembaga yang bukan anggotanya?
Pihak-pihak yang tidak mau berhimpun dalam asosisi tidak patut menyandang sebutan lembaga survei. Sejumlah lembaga survei membentuk Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia (Persepi), lainnya berhimpun dalam Asosiasi Riset Opini Publik (Aropi). Sudah saatnya KPU menempatkan lembaga survei di luar asosiasi ke dalam daftar hitam.
Masyarakat hendaknya cerdas membedakan lembaga survei benaran dan lembaga abal-abal. Caranya dengan menilik rekam jejak orang-orang di lembaga survei. Jika sebuah lembaga tidak rutin mengeluarkan hasil survei, hanya melakukan survei menjelang pemilu, patut diduga lembaga itu membela yang bayar dan hanya menyesatkan hak masyarakat untuk tahu.