PDI Perjuangan: Nahdlatul Ulama Menjaga Keutuhan NKRI

0
509

Sabtu, 2 Maret 2019

 

Jakarta, Gramediapost.com

Sebagai partai pemenang Pemilu 2014, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), menyambut positif hasil Munas Alim Ulama Nahdlatul Ulama (NU).

Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto menerangkan, keputusan Munas Alim Ulama NU tentang penegasan prinsip kesetaraan warga negara yang berbangsa satu dan bertanah air satu, Indonesia dinilai sejalan dengan arah politik PDI perjuangan.

“Sikap NU senafas dan juga dijiwai oleh PDI Perjuangan. Prinsip kesetaraan warga negara adalah pengejawantahan dari Sila Persatuan Indonesia yang berdiri kokoh di atas prinsip kebangsaan,” ujar Hasto.

“Atas prinsip kebangsaan ini maka segala warga negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya,” tambah Hasto.

Lebih lanjut Hasto mengungkapkan jika hasil Musyawarah Alim Ulama NU tersebut adalah sebuah keputusan yang menginduk pada Pancasila demi memperkokoh kebangsaan Indonesia.

“NU selalu memahami suasana kebatinan bangsa, dan karenanya keputusan Munas Alim Ulama NU menjadi nur-ilahi yang menerangi kehidupan berbangsa dan bernegara,” jelas Hasto.

Terkait untuk tidak lagi menggunakan kalimat kafir bagi yang beragama non-muslim, PDIP dan NU menganggap hal ini sangat penting untuk penghormatan terhadap prinsip kesetaraan warga.

“Keputusan Munas yang meneledani kehidupan Nabi Muhammad SAW dengan membuat piagam madinah itu adalah bentuk nyata pembumian Pancasila. NU selalu kokoh memberikan arah dan pedoman bagi keutuhan dan kemaslahatan bangsa,” tutup Hasto.

Ada lima rekomendasi yang dihasilkan dalam Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar NU di Pondok Pesantren Miftahul Huda AlAzhar, Citangkolo, Banjar Patroman, Jawa Barat. Mulai dari penggunaan istilah “Kafir” hingga MLM.

Ketua PBNU Said Aqil Siradj mengatakan, hasil rekomendasi itu berkaitan dengan agama maupun organisasi. Pertama, dalam sistem kewarganegaraan pada suatu negara bangsa tidak dikenal istilah kafir, karena setiap warga negara memiliki kedudukan dan hak yang sama di mata konstitusi.

Baca juga  Polsek Kep Seribu Selatan Terus Gencarkan Program Jumat Bersih Dengan Gelar Aksi di 4 Pulau Pemukiman

Said menceritakan, istilah kafir berlaku pada zaman dahulu ketika Nabi Muhammad SAW mulai berdakwah di Mekkah. Nabi Muhammad SAW menyematkan istilah kafir pada orang-orang yang penyembah berhala, dan tidak memiliki kitab suci dan agama yang benar.

“Tapi setelah Nabi Muhammad hijrah ke Kota Madinah tidak ada istilah kafir untuk warga Madinah, ada 3 suku yang non-muslim, disebut non-muslim, tidak disebut kafir,” ujar Said dalam sambutannya.

Kedua, di Indonesia hanya Mahkmah Agung lah yang boleh mengeluarkan fatwa. Sebab, berdasarkan konstitusi Indonesia bukan darul fatwa.

“Selain Mahkamah Agung tidak boleh keluarkan fatwa. NU tidak kenal istilah fatwa, adanya cuma hasil Musyawarah nasional Alim Ulama. Karena Indonesia bukan negara agama, beda dengan timur Tengah yang ada muft,” tutur dia.

Ketiga, masih berkaitan dengan fatwa. NU menegaskan hanya institusi yang diberi mandat oleh konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang sah, yang boleh mengeluarkan fatwa.
Keempat mengenai persoalan sampah plastik. Indonesia merupakan negara penghasil sampah plastik terbesar setelah China. Sampah plastik kini diketahui juga sudah menjadi persoalan dunia.

“Oleh karena itu, penanganan sampah plastik harus memasukkan eleman budaya sehingga terbangun cara pandang dan perilaku masyarakat terhadap pentingnya menghindarkan diri dari bahaya sampah plastik. Sampah plastik akan mengakibatkan rusaknya lingkungan, mengganggu kesehatan, (sampah) dimakan ikan, ikan dimakan oleh kita, kemudian kita terganggu kesehatannya,” jelas Said.

Sementara, yang kelima hasil mubes NU adalah persoalan money game dengan sistem MLM (Multi Level Marketing).

Ia mengatakan, MLM yang mengandung unsur manipulasi, tidak transparan, ada pihak yang dirugikan, mengandung kezaliman, dan syarat yang menyalahi prinsip akad islam sekaligus transaksi yang berupa bonus bukan barang. Maka hukumnya haram.

Baca juga  UU PEMAJUAN KEBUDAYAAN HARI INI DISAHKAN

“Tapi kalau memenuhi syarat yang normatif yaitu transparan mendapatkan bonus selain barang maka itu baru dihalalkan,” kata Said.

Sumber: Tribunnews.com

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here