Ancaman Disrupsi Nasionalisme

0
1117

Indonesia lahir dengan latar belakang budaya, keyakinan, bahasa yang beragam. Keberagaman tersebut muncul secara alamiah mulai dari faktor geografis, faktor bawaan yang diwarisi secara keturunan bahkan karena perkembangan yang terjadi dalam kehidupan. Di tengah-tengah keberagaman tersebut, muncul tekad kuat untuk berjuang bersama menghadirkan kemerdekaan yang berdaulat. Tekad tersebut timbul akibat penderitaan dan kesengsaraan yang bersama-sama dirasakan.

Realitas keberagaman tersebut kemudian menjadi energi pendorong bangsa untuk memerdekakan diri dari penindasan dan penjajahan. Dari alur sejarah tersebut, dapat dilihat bahwa tekad dan rasa senasib sepenanggungan yang hadir akibat penindasan dan penjajahan mampu menembus batas-batas kemajemukan. Merdeka adalah tujuan. Demi kedaulatan dan harga diri bangsa. Tekad tersebutlah yang kemudian kita kenal dengan nasionalisme.

Indonesia adalah keberagaman, dan keberagaman adalah keniscayaan, tentunya dengan segala konsekuensi. Keberagaman bukan hanya melekat pada individu akan tetapi juga pada kelompok dan golongan. Individu, kelompok, dan golongan tentu saling berinteraksi satu sama lain. Dalam interaksi tersebut perlu adanya tata aturan dan kesepakatan yang tepat, adil, dan non diskriminatif agar perbedaan-perbedaan tidak saling bergesekan bahkan bertabrakan yang pada muaranya dapat menimbulkan kekacauan. Dibutuhkan kesediaan untuk menerima kekhasan masing-masing. Penerimaan akan realitas Indonesia yang beragam adalah sebuah komitmen akan persatuan bangsa.

Untuk mencapai kesepakatan tadi, setiap orang tidak dapat memaksakan kepentingan yang lebih besar sehingga mengabaikan yang kecil. Bukan pula mengistimewakan yang kecil sehingga ia dapat memaksakan kehendaknya kepada yang besar tadi. Kesepakatan harus dicapai dengan adil, tanpa pamrih demi terwujudnya keharmonisan hidup bersama dalam rumah Indonesia. Harus ada kesediaan untuk mengakui dan menghargai keberadaan individu atau kelompok dalam keberlainannya. Sehingga di dalam rumah Indonesia tidak ada komponen bangsa yang merasa terasing karena tidak dihargai dan ditolak keberadaannya.

Baca juga  "Mr Klakson" Punya Cerita Konsisten Tayang.

Pada titik ini, para pendiri bangsa kita merumuskan Pancasila. Ir. Soekarno mencetuskan Pancasila sebagai rumusan etika dasar negara. Proses demi proses lahirnya Pancasila memperlihatkan kesepakatan rakyat indonesia untuk membangun sebuah negara yang adil, dengan prinsip kesetaraan dan tanpa diskriminasi.

Realitas bangsa hari ini bahwa masih tingginya kesenjangan ekonomi, sosial politik, dan pendidikan di dalam kehidupan masyarakat. Hal ini ditandai dengan menguatnya sentimen berbasis agama. Kemudian munculnya radikalisme dan tindakan intoleran yang memicu maraknya konflik sosial dan seringkali disertai tindakan kekerasan. Indonesia hari ini mengalami disrupsi nasionalisme. Disrupsi nasionalisme dimaknai sebagai terserabutnya nilai-nilai fundamental kebangsaan. Nilai dan konsensus kebangsaan diacak-acak guna menciptakan tatanan baru yang sejatinya melenceng dari cita-cita awal Indonesia yang dibangun di atas keberagaman.

Ancaman disrupsi tersebut ditandai dengan meningkatnya intoleransi dan radikalisme yang berakar dari fundamentalisme agama yang menganggap agama sebagai ideologi. Ideologi agama ini kemudian berlaku mutlak terhadap hukum, budaya, dan sistem kepercayaan sampai tahap agama adalah negara hingga akhirnya akan terbentuk religion state sebagai pengganti negara Indonesia yang ada saat ini.

Kondisi ini diperparah dengan impotennya alat-alat negara dalam mencegah dan mandul dalam penyelesaiannya. Bahkan seringkali negara turun membidani lahirnya produk-produk hukum diskriminatif. Komnas Perempuan mencatat hingga Agustus 2018 terdapat 421 kebijakan pemerintah daerah melalui perda dan surat edaran yang bersifat diskriminatif terhadap perempuan dan kelompok minoritas. Hal tersebut jelas-jelas merupakan ancaman bagi kebhinekaan.

Pancasila mengalami distorsi dalam pemaknaannya dan dikebiri dalam aktualisasinya. Ancaman tersebut harus diwaspadai secara kritis dan direspon secara rasional. Pertanyaan mendasarnya adalah mampukah Indonesia kembali pada konsensus yang adil dan non diskriminatif ditengah-tengah ancaman disrupsi nasionalisme ?

Baca juga  Dies Natalis PIKI ke-55: PIKI Diutus Tuhan untuk Senantiasa Memberikan Kontribusi Bagi Bangsa dan Negara

Masih lekat di memori kita dimana jemaat Ahmadiyah didiskriminasi hingga pada cara-cara kekerasan, juga terusir dari kampungnya karena dianggap “berbeda”. Bahkan MUI mengeluarkan fatwa haram bagi penganut Ahmadiyah, disusul penyegelan masjid di Depok yang diamini oleh Ketum MUI bahwa tindakan tersebut sudah tepat dan tidak bertentangan dengan HAM. Sebuah catatan merah. Kemudian ada ormas bernafaskan agama yang mengobrak-abrik segala sesuatu yang berada di luar standar moral mereka.

Kebijakan intoleran yang terbaru dan didukung oleh pemerintah daerah ada penyegelan tiga gereja di Jambi yang harus ditutup karena dianggap mengganggu. Sebelumnya jemaat HKBP Filadelfia dan GKI Yasmin entah sudah berapa ratus kali beribadah di depan Istana Negara karena gereja mereka disegel dan mereka tidak diijinkan beribadah disana karena tekanan ormas intoleran. Belum lagi pembubaran kegiatan KKR Natal di Bandung oleh ormas intoleran yang tidak diproses hukum sampai saat ini. Bahkan ada seorang ibu yang dihukum pidana karena curhat kepada tetangganya mengenai penggunaan toa masjid. Dan sampai saat ini masih banyak peraturan daerah yang mendiskriminasi keberagaman masyarakat kita.

Sekali lagi, realitas tersebut menunjukkan secara nyata lumpuhnya alat-alat negara. Menindas, menyakiti, mengintimidasi, dan mendiskriminasi dilakukan oleh kelompok-kelompok intoleran sedangkan yang ditindas tak punya pilihan selain diam dan menahan rasa sakit. Masih banyak tindakan intoleransi dan diskriminasi yang terjadi di republik ini. Republik yang dibangun diatas keberagaman. Realitas keberagaman tersebut dikebiri dengan tolok ukur mayoritas-minoritas yang didasarkan pada jumlah, zero-sum game, padahal konstitusi tidak ada membedakan kewarganegaraan berdasarkan agama dan etnis.

Demikianlah wajah kebhinekaan Indonesia dewasa ini. Negara absen dari tugasnya untuk melindungi, menciptakan rasa aman, perlindungan hukum dan pemenuhan hak-hak sebagai manusia dan sebagai warga negara. Sementara sebagian masyarakat kita lebih tertarik memperjuangkan hak beragama masyarakat negara lain, ketimbang masyarakat negaranya sendiri.

Baca juga  KPAI Berharap Gelaran Moto GP Perbaiki Talenta Motor Anak Indonesia dan Kurangi Balap Liar

Apakah nasionalisme kita saat ini berada di titik nadir? Apakah masih ada waktu untuk kembali memperkuat akar kebangsaan kita sebelum terserabut karena gangguan paham radikal dan intoleran?

Tidak mudah memang, namun kita belum terlambat dan harus bergegas dalam aktualisasinya. Dibutuhkan langkah-langkah strategis untuk membangkitkan Pancasila sebagai memori kolektif bangsa. Pancasila sebagai nilai, cita-cita dan jati diri bangsa tidak boleh pudar, apalagi terdistorsi. Pemerintah sebagai pemegang mandat konstitusi hendaklah bertindak nyata untuk melakukan dobrakan progresif disertai keberanian dan komitmen dalam menyelesaikan persoalan bangsa yang pelik ini. Mungkin sebagai langkah awal, dapat dimulai dari membersihkan perangkat negara dari orang-orang yang berpikir dan bertindak intoleran, baik dari pejabat di tingkat nasional hingga daerah.

Akhirnya, mungkin kita harus bertanya definisi nasionalisme pada pengungsi ex-Timor Timur yang memilih ikut Indonesia kemudian melarat tak terawat, pada para ibu, yang anaknya pulang dalam peti mayat setelah bekerja sebagai buruh di luar negeri, pada para petani yang dikriminalisasi setelah berkonfik dengan korporasi yang mengokupasi lahan mereka untuk dibangun kebun-kebun sawit. Atau tanyakanlah pada jemaat Ahmadiyah yang terusir dari kampung mereka, juga tanyakanlah kepada jemaat GKI Yasmin dan HKBP Filadelfia yang entah sudah berapa ratus kali beribadah di seberang Istana juga pada peserta aksi kamisan yang hampir 12 tahun konsisten mengadakan aksi kamisan menuntut penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM . Mereka mencintai dalam getir, mencintai bangsa ini dalam pedih.

*Lembaga Studi Kebijakan Lokal di Indonesia (LSKLI)*
_Institute for Indonesia Local Policy Studies (ILPOS)_

_*Koordinator Kajian Kebijakan: Dodi Lapihu (+6281338564471)*_

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here