*GEGAP-GEMPITA REVOLUSI KEEMPAT*

0
1159

Mustahil negara kita mampu memanfaatkan revolusi industri gelombang keempat hanya dengan berbekal slogan. Kita mesti menyesuaikan cara berpikir dan bertindak untuk menangkap berbagai peluang kemajuan supercepat teknologi ini. Jika tidak, Indonesia akan makin kedodoran: hanya menanggung dampak buruk atau sekadar menjadi pemandu sorak perubahan zaman.

Revolusi industri gelombang keempat—juga disebut Industry 4.0—secara fundamental mengubah peradaban manusia. Kemajuan teknologi ini memungkinkan otomatisasi di hampir semua bidang. Penjualan produk dan jasa menjadi jauh lebih cepat dan efisien. Perkembangan ini setara dengan revolusi industri sebelumnya: penemuan mesin uap, penggunaan listrik untuk produksi massal, serta kekuatan elektronik dan teknologi informasi dalam otomatisasi proses produksi.

Perubahan besar itu berpotensi menaikkan pendapatan per kapita dunia, memperbaiki kualitas hidup, dan pada gilirannya memperpanjang harapan hidup manusia. Sebagian besar hal itu ditopang meluasnya penyebaran gawai—terutama telepon pintar—ke berbagai belahan bumi. Dengan peranti ini, teknologi menyentuh ranah personal: menjelma menjadi sekretaris pribadi, pengatur kesehatan, penasihat keuangan dan investasi, asisten pembeli makanan, serta banyak urusan lain. Semua bisa dilakukan dalam satu gawai karena pelbagai data sudah tersimpan di dalam “awan” yang bisa diakses dari mana pun.

Di dunia industri, Internet of things juga mengubah total proses produksi. Penerimaan pesanan, pembuatan desain, perkiraan tren dan permintaan, pembuatan barang, pengemasan, hingga pengiriman ke konsumen bisa dilakukan robot. Kecerdasan buatan ini menjadi kunci efisiensi. Teorinya, harga berbagai produk menjadi jauh lebih murah. Konsumen pun diuntungkan.

Sayangnya, setiap revolusi menyimpan jebakan yang tak kalah dahsyat. Hasil riset McKinsey & Company memperkirakan 47 persen pekerjaan akan menghilang dalam seperempat abad ke depan. Robot dan kecerdasan buatan bahkan menyingkirkan pekerjaan 800 juta tenaga kerja di seluruh dunia pada 2030. Berbagai profesi juga akan menghilang, digantikan oleh kegesitan mesin. Teknologi canggih ini juga bisa menyebabkan marginalisasi bagi sejumlah kelompok, memperbesar kesenjangan ekonomi, memunculkan risiko keamanan, dan merusak hubungan antarmanusia. Tanpa persiapan matang, efek negatif itu bisa sangat merusak optimisme Indonesia yang akan mendapat “bonus demografi”.

Baca juga  Seri Kepemimpinan Kristen: Bagian II

Perkembangan ini tentu saja memerlukan respons yang tepat dari berbagai pihak. Sejauh ini, pemerintah baru mengeluarkan peta jalan yang dinamai Making Indonesia 4.0. Konsep ini menyebutkan lima sektor utama yang pada tahap awal akan menggunakan teknologi, yaitu makanan dan minuman, tekstil dan pakaian, otomotif, kimia, dan elektronik. Dalam cetak biru yang disusun Kementerian Perindustrian juga disebutkan sepuluh prioritas nasional, di antaranya desain ulang zona industri, pembangunan infrastruktur digital, peningkatan kualitas sumber daya manusia, dan insentif untuk investasi teknologi.

Cetak biru tersebut terkesan belum menunjukkan tingkat kegentingan menghadapi sisi negatif revolusi industri keempat. Apalagi industri Indonesia pun tertinggal dari sejumlah negara tetangga, terutama Vietnam. Kontribusi industri manufaktur terhadap produk domestik bruto Indonesia terus menurun dalam beberapa tahun terakhir: dari 26 persen pada 2001 menjadi 22 persen pada 2016. Ekspor pun kembali mengandalkan komoditas.

Sebagai jargon, Making Indonesia 4.0 memang gagah. Namun jauh lebih penting memulai pembenahan agar industri manufaktur kita segera membaik. Pemerintah mesti berfokus menyelesaikan masalah yang menyebabkan manufaktur tak berkembang. Tak salah kalau kita belajar dari Vietnam, yang pertumbuhan industri manufakturnya maju pesat. Pemerintah negara itu menciptakan berbagai kemudahan dalam investasi bidang berteknologi tinggi. Hasilnya, pertumbuhan sektor manufaktur memberikan kontribusi besar bagi perkembangan ekonomi negara itu.

Pemerintah sudah selayaknya melanjutkan perbaikan iklim investasi, yang telah dimulai pada September 2015, ketika Paket Kebijakan Ekonomi dikeluarkan. Upaya deregulasi, penegakan hukum, dan kepastian usaha demi mendorong daya saing industri nasional harus dijalankan dengan konsisten. Tak boleh ada lagi kontrak bisnis internasional yang diubah-ubah demi mengejar kepentingan politik jangka pendek.

Making Indonesia 4.0 tak boleh berhenti menjadi jargon—apalagi alat kampanye—agar kita tidak menjadi sekadar pemberi sorak perkembangan kilat teknologi.

Baca juga  Wisdom atas Waktu

Sumber: Majalah Tempo Edisi 11 November 2018

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here