Jakarta, Gramediapost.com
Umat beragama di Indonesia harus dapat menyongsong masa depan bangsa dan negara dalam semangat tiadanya lagi kesenjangan antara etika universal agama-agama dan Pancasila. Sebagai pendukung dan sumber utama nilai-nilai keindonesiaan, komunitas agama semakin diharapkan untuk tampil dengan tawaran-tawaran kultural yang produktif dan konstruktif, khususnya dalam pengisian nilai-nilai keindonesaan dalam kerangka penguatan persatuan Indonesia.
Di sinilah kesempatan kalau kita mau membangun bangsa secara bersama-sama melalui budaya karena dengan budaya-lah kita menjadi besar dan kuat.
Salah satu bukti dari usaha untuk menjaga, mendata, merawat, melestarikan, dan mengembangkan budaya tersebut, seringnya digelar perbincangan, atau seminar tentang kebudayaan. Seperti kali ini yang dilakukan oleh Lembaga Pembinaan dan Pengembangan PESPARANI yang mengadakan Seminar Nasional yang mengangkat tema “Menjaga Harmoni, Merawat NKRI melalui Seni Budaya” tersebut menghadirkan Komjen Heru Winarko, Romo Aluysius Budi Purnomo, Theofransus La Litaay, Lisa Ariyanto, Seminar Nasional yang berlangsung pada 08 Agustus 2018 di Gedung Stovia, Jakarta Pusat, tersebut dimoderatori oleh Prita Laura.
Putu sebagai ketua panitia menyampaikan bahwa seni budaya atau budaya berfungsi sebagai pengetahuan, alat diplomasi, dan juga berkaitan dengan ekonomi yang secara keseluruhan semuanya itu terkandung dalam UUD 1945. “Dalam hal ini, undang-undang dijadikan sebagai payung besar. Sejatinya memfasilitasi, jangan mengatur yang nanti isinya menjadi penyakit. Memberi fasilitas, lindungan, dan payung hukum,” kata dia.
Menurut dia, yang paling penting adalah bagaimana mengawal titik singgung atau pertemuan antar budaya lokal. Hal ini, kata dia, butuh strategi karena kalau dibiarkan begitu saja akan memicu konflik. Oleh sebab itu, dibutuhkan undang-undang kebudayaan sebagai acuan. “Saya berharap undang-undang kebudayaan ini ada pilar-pilar penting, seperti kesadaran bahwa kita sangat beragam, dan undang-undang tersebutlah yang mengatur bagaimana mengelola keberagaman. Menjadikan kearifan lokal menjadi kearifan nusantara (nasional). Saling memahami bahwa kita ini berbeda,” ungkap dia.
Romo Aluysius menyampaikan bahwa Indonesia sebagai negara dengan tingkat keberagaman etnik yang tinggi, kebinekaan atau pluralitas, adalah realitas yang tidak dapat dimungkiri. Sehubungan dengan realitas ini, kata dia, pembangunan di sektor kebudayaan harus bertumpu pada sistem sosial yang bercorak bhinneka dan pluralitas. Sementara itu, pengembangan kebudayaan yang sudah dilakukan sampai saat ini, menurut dia, belum sepenuhnya sesuai dengan harapan karena masih rentannya soliditas budaya dan pranata sosial yang ada dalam masyarakat sehingga potensi konflik belum sepenuhnya teratas.
“Saat ini kebudayaan nasional kita mendapat tantangan besar yang akumulatif, yaitu fundamentalisme agama dan pasar. Agama bisa berkembang karena menjadi proses kebudayaan. Demokrasi kita maju, intoleransi sosial semakin tinggi. Infundamentalisme ini masuk pada budaya. Fundamentalis pasar, sebagai sebuah bangsa kita tidak bisa menutup diri. Banyak hal di republik ini yang baik. Bagaimana memiara, mengelola, dan mengembangkannya sebagai nilai lebih,” kata dia.