“Dum vita est, spes est. Ketika masih ada kehidupan disitu pula masih ada pengharapan”.
Sebagai umat yang religius, yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, kita harus terus menerus bersyukur kepadaNya, karena kehidupan yang Ia anugerahkan kepada kita. Bersyukur bisa kita lakukan sesuai dengan ajaran agama kita masing-masing : melalui ucapan verbal, ibadah, bakti sosial, diakonia/pelayanan kepada masyarakat dan aneka bentuk lainnya, sebagaimana yang telah lama menjadi bagian dari program dan aktivitas komunitas keagamaan. Kita bersyukur kepada Tuhan atas kehidupan, karena hal itu merupakan privilege yang Allah anugerahkan. Dengan kehidupan yang Ia anugerahkan, secara teologis kita fahami bahwa Tuhan memiliki maksud khusus dengan diri kita. Ia menghidupkan kita, Ia memberi nafas kepada kita agar kita berkarya, memberi kemaslahatan bagi banyak orang. Itulah panggilan utama umat manusia ditengah kekinian sejarah.
Ada banyak ‘cara’ yang ditempuh setiap orang dalam mengisi hari-hari kehidupan yang Tuhan anugerahkan kepadanya. Hal itu amat bergantung dan dipengaruhi oleh setidaknya dua hal fundamental, yaitu pendidikan keluarga dan pendidikan agama. Kedua aspek ini, tanpa harus mengutip para ahli dan filsuf di bidang pendidikan dan atau ensiklopedi pendidikan, berbasis pengalaman empirik amat jelas tingkat kepentingannya. Sejak masa kecil, orangtua menanamkan nilai-nilai luhur berdasarkan ajaran agama, local wisdom yang dikuasai orangtua secara turun temurun. Mereka dengan tekun dan setia tidak hanya memberikan ASI, atau makanan bergizi lainnya yang tersedia di tahun 50-an, tetapi juga etika moral yang diperlukan seorang anak. Penanaman nilai itu dilakukan dalam bentuk verbal, sikap keteladanan, dan pembiasaan. Realitas itu diperkuat lagi dengan peran komunitas/institusi keagamaan yang memberikan bimbingan keagamaan kepada anak-anak melalui berbagai pendekatan edukatif yang kesemuanya memberikan dasar kukuh bagi sosok seorang anak untuk bisa menghidupi kehidupan di dunianya dengan baik.
Proses pembinaan yang dilakukan oleh insitusi keluarga dan institusi/komunitas keagamaan amat besar pengaruhhya bagi perkembangan sosok anak. Koordinasi dan kemampuan bersinergi kedua lembaga itu dimasa depan utamanya dalam hal konten pembinaan yang relevan bagi anak di era digital sekarang ini amat penting dan mendesak.
Selain mendapat pembekalan mendasar oleh keluarga dan komunitas keagamaan, anak anak kemudian sesuai dengan tingkat perkembangannya juga mendapatkan proses pembelajaran di lembaga pendidikan bahkan diberbagai komunitas lainnya yang ada dalam masyarakat. Melalui proses itu tingkat maturity anak-anak makin bertambah sehingga bisa membantu mereka dalam mengartikulasikan kediriannya ditengah suasana hidup yang serba dinamis .
Kekuatan manusia dalam menjalani kehidupan yang keras ini terletak pada ajaran agama, kematangan psikologis dan juga adanya pengharapan, adanya *hope*. Harapan, pengharapan bisa menjadi sebuah power, sebuah kekuatan yang mampu memberi nafas baru, motivasi bagi seseorang untuk tetap eksis, survive ditengah turbulensi yang mengguncang ganas samudera kehidupan. Bagi umat beragama, harapan itu bukan hanya untuk terwujudnya kehidupan yang lebih baik, kini dan disini, tetapi juga sebuah kehidupan yang baik dan sempurna di keakanan, pasca kematian, di era ‘eternal life’.
Pengharapan manusia itu inheren dengan kediriannya; selagi seseorang sehat lahir dan batin ia pasti mempunyai pengharapan. Harapan kepada parpol baru, hasil pilkada, pimpinan baru, struktur organisasi yang baru, gedung yang baru, bos baru, suasana kehidupan yang baru, mobil yang baru, rumah baru, (pengantin baru, bagi yang belum menikah) dan sebagainya, dan sebagainya.
Begitu besar dan beragam harapan orang yang diungkapkannya pada setiap zaman dan waktu. Harapan para tenaga honorer untuk diangkat menjadi tenaga tetap, harapan agar penetapan UMR/UMP benar- benar realistis, harapan keluarga korban KM. SINAR BANGUN yang tetap menunggu di pelabuhan Tigaras Simalungun, harapan untuk secepatnya menikmati MRT. Ya harapan, harapan dan harapan; yang terkadang harus berhadapan dengan PHP (istilah gaul “Pemberi Harapan Palsu”). Manusia yang hidup pastilah mempunyai *harapan*, adanya harapan itu yang menjadikan seseorang itu manusia, adanya harapan itu yang membuat manusia itu hidup. Dalam puisi, dalam agama, dalam sufi, dalam seni, harapan juga bisa didekati dalam angle yang lain. Puisi Muhammad de Putra berikut ini bisa kita nikmati dalam angle yang spesifik.
*”Di Hadapan Mesjid Raya Baiturahman”*
Di hadapan Mesjid Raya Baiturahhman/
Ibu memunguti air matanya/
Ayah menunggu ibu sambil menyaksikan daun-daun jatuh dari langit di halaman/
Dan aku hanya berdoa agar orang-orang/
yang mati pada tahun 2005 lalu, tenang/
dan tertawa melihat kami melihat dibawah sini. 2017.
Penyair yang pelajar SMAN 1 Pekanbaru ini mencoba memotret sesuatu yang terjadi _di depan_ Medjid besar terkenal di Banda Aceh (penulis ke mesjid itu th 2015). Amat mengenaskan :
seorang ibu _memunguti_ air matanya, sang ayah menyaksikan daun-daun jatuh dari langit.
Penggunaan kata *memunguti* untuk air mata dan daun-daun jatuh memenjara kita dalam suasana sedih. Kita seakan dibawa ke suasana Tsunami 2004 dan berharap dalam doa mereka yang wafat terseret arus deras Tsunami “tenang dan tertawa melihat kami dibawah sini”.(“Menembus Arus Menyelami Aceh”,kumpulan puisi perdamaian,Lapena, Banda Aceh,2017)
Kita manusia fana hidup dalam balutan pengharapan : ada pengharapan teologis imaniah yang berbasis agama; ada pengharapan non-teologis. Pengharapan non teologis mestinya rasional-argumentatif. Misalnya kita yang hanya pedagang _cireng_, _ombus-ombus_ atau _ _bagea kenari_ janganlah berharap THR !
Selamat berjuang. God bless.
*Weinata Sairin.*