Jakarta, Gramediapost.com
Persaudaraan Korban Napza Indonesia (PKNI) menilai bahwa Hari Anti Narkotika Internasional seharusnya menjadi momen refleksi dan evaluasi bagi pemerintah terhadap penanganan permasalahan narkotika yang sudah dilakukan selama ini. Pasalnya, nyanyian peperangan terhadap narkotika telah terbukti gagal dalam menangani permasalahan narkotika.
PKNI mencermati kegagalan penanganan permasalahan narkotika di Indonesia disebabkan oleh penggunaan strategi dan sasaran yang tidak tepat. Dalam penanganan permasalahan narkotika pemerintah seharusnya menggunakan tiga strategi yang dijalankan secara silmultan, yaitu pada aspek pengurangan penawaran (Supply Reduction), pengurangan permintaan (Demand Reduction), dan pengurangan dampak buruk (Harm Reduction).
Kegagalan pemerintah pada aspek demand reduction, misalnya, pemerintah mengedepankan pada kebijakan-kebijakan yang represif seperti pemenjaraan terhadap pengguna Napza, kebijakan tembak ditempat, hukuman mati, dan rehabilitasi paksa. Terbukti bahwa dengan penggunaan pendekatan yang represif ini justru meningkatkan angka pengguna dan pengedar narkotika di Lapas setiap tahunnya. Berdasarkan data Ditjen Pemasyarakatan, jumlah pengguna narkotika di Lapas pada tahun 2015 adalah sebesar 290.703, pada tahun 2016 sebesar 331.829, dan pada tahun 2017 sebesar 420.204. Sedangkan jumlah pengedar di Lapas tercatat pada tahun 2015 adalah sebesar 481.483, pada tahun 2016 sebesar 591.405, pada tahun 2017 sebesar 734.428. Koordinator Advokasi PKNI, Alfiana Qisthi berkata, “Kebijakan-kebijakan represif yang dilakukan pemerintah telah terbukti gagal dan justru membangkangi dari visi ‘Indonesia bebas narkoba’ itu sendiri. Selama bertahun-tahun pemerintah mengulang kesalahan yang sama.”
Penanganan permasalahan narkotika juga terbukti seringkali salah sasaran, di mana pengguna Napza lah yang dijadikan target utama dalam operasi membongkar sindikat perdagangan gelap narkotika. Hal ini justru membuat penanganan permasalahan narkotika semakin ricuh, di mana banyak dampak buruk lanjutan yang terjadi seperti praktik pungutan liar (pungli), tukar pasal, pemerasan, penyiksaan, pelecehan seksual, dan pelanggaran lainnya. “Pengguna Napza sebagai target sasaran utama menjadikan pengguna Napza dijadikan komoditas bagi aparat penegak hukum. Hal ini mengakibatkan begitu mahal harga yang harus dibayar oleh pengguna Napza hanya untuk mendapatkan hak-hak dasarnya. Sedikitnya akses bantuan hukum juga memperburuk keadaan ini,” ujar Alfiana.
Pemenjaraan pengguna Napza juga membangkangi programharm reduction dan program penanggulangan HIV/AIDS yang diinisiasi oleh pemerintah. Ketiadaan akses dan fasilitas kesehatan yang memadai justru meningkatkan angka penyakit menular seperti HIV/AIDS, Hepatitis C, dan Tuberculosis. “Pemerintah harus secara serius dalam meninjau kembali kebijakan-kebijakan yang digunakan. Pemerintah harus menggunakan pendekatan kesehatan masyarakat dalam produk-produk kebijakan yang dihasilkan,” tuturnya.