Jakarta, Suarakristen.com
Tahun 2018 merupakan momentum 20 tahun perjalanan Reformasi yang telah dilalui oleh bangsa Indonesia dengan berbagai tantangan, diantaranya adalah konflik kekerasan, yang telah mengawali reformasi dan terus berulang mewarnai dua dekade perjalanan Reformasi. Isu konflik tidak dapat dipisahkan dari persoalan kekerasan terhadap perempuan, karena konflik secara khusus menyasar dan memberikan kerentanan tersendiri bagi perempuan, baik dalam kapasitasnya sebagai korban, maupun sebagai agen perdamaian. Sebagai lembaga HAM dengan mandat khusus penghapusan kekerasan terhadap perempuan, Komnas Perempuan telah melakukan kajian terhadap sejumlah kebijakan yang telah dikeluarkan Negara dalam menyikapi konflik selama 20 tahun Reformasi, serta implikasi dari kebijakan tersebut terhadap penyelesaian konflik dan pemenuhan hak korban, serta pembangunan perdamaian yang berkelanjutan.
Temuan utama dalam kajian kebijakan ini adalah :
1.Dua puluh tahun Reformasi memperlihatkan adanya kemajuan dalam kebijakan untuk penyikapan berbagai konteks konflik di Indonesia. Tetapi kemajuan tersebut belum memberikan manfaat yang optimal untuk pemenuhan HAM perempuan (khususnya korban konflik) dan untuk membangun perdamaian yang sejati. Hal ini disebabkan karena kerangka kebijakan yang tersedia masih memuat kesenjangan, kontradiksi dan kemunduran yang justru menghalangi negara untuk dapat menyelesaikan konflik secara tuntas, termasuk untuk memulihkan hak-hak perempuan korban;
2.Kerangka kebijakan penyikapan konflik yang secara bersamaan memuat kemajuan, kesenjangan, kontradiksi dan kemunduran tersebut adalah konsekuensi dari politik hukum yang mencerminkan proses Reformasi yang mengalami defisit demokrasi, akibat maraknya praktik politik transaksional, primordial, korupsi, dan penggunaan politik identitas yang mempertebal intoleransi. Di samping itu, model pembangunan yang masih menguntungkan sebagian saja dari masyarakat, mengutamakan pendekatan keamanan dalam penanganan gugatan warga, serta minim pelibatan substantif bagi perempuan maupun golongan-golongan masyarakat lain yang selama ini dipinggirkan, turut menghadirkan peluang bagi lahirnya kebijakan yang diskriminatif. Situasi ini diperburuk dengan mekanisme desentralisasi yang belum dilengkapi dengan sistem pengawasan yang mumpuni;
3.Cara pandang dan pendekatan negara terhadap perdamaian yang bersifat pragmatis menghasilkan produk dan implementasi kebijakan yang justru berpotensi menghadirkan konflik baru dan mengukuhkan ketidaksetaraan dan ketidakadilan struktural, termasuk antara laki-laki dan perempuan;
4.Komitmen politik yang tidak konsisten, kapasitas penyelenggara negara yang terbatas, serta cara kerja yang belum koordinatif, menyebabkan mekanisme dan institusi penyikapan konflik yang dibentuk tidak bekerja maksimal, dan program penanganan konflik serta dampaknya menjadi kurang efektif, minim inovasi, dan abai pada pengalaman khas perempuan dalam konflik;
5.Kepemimpinan perempuan dan masyarakat sipil dalam menyikapi konflik, akar penyebab, dan dampaknya, belum didukung dengan kerangka kebijakan afirmasi yang optimal, bahkan sebaliknya dibatasi dengan kebijakan yang administratif-birokratis, mendiskriminasi, dan bahkan mengkriminalkan.
Berdasar temuan tersebut, maka Komnas Perempuan menyampaikan rekomendasi kepada negara (pemerintah), sebagai berikut:
1.Mengintegrasikan penyikapan konflik secara holistik ke dalam Rencana Pembangunan Nasional (RPJP 2020-2045 dan RPJMN 2020 -2025), untuk memastikan tujuan pembangunan yang inklusif dan perdamaian yang berkelanjutan dapat dicapai, terutama dengan memprioritaskan program-program yang dapat mengantisipasi berbagai bentuk kerentanan baru dan mencegah konflik berulang;
2.Mengembangkan cara kerja yang lebih komprehensif dan holistik dalam penyikapan konflik, termasuk membangun pemahaman yang utuh, kritis dan relektif mengenai konflik dan faktor-faktor di tingkat makro maupun mikro;
3.Menggunakan secara saling melengkapi (complementary) terobosan-terobosan dari kebijakan-kebijakan yang telah ada, untuk mengatasi kesenjangan kebijakan dan untuk memastikan pemanfaatan optimal dari kemajuan-kemajuan yang tersedia di dalam kebijakan, bagi kepentingan pemenuhan hak korban dan pembangunan perdamaian;
4.Menguatkan perlindungan dan pertanggungjawaban hukum dalam penyikapan konflik, termasuk mengembangkan mekanisme untuk memastikan dijalankannya putusan pengadilan yang telah inkrah oleh pemerintah, sebagai bagian dari langkah penyelesaian tuntas konflik;
5.Menyusun dan melaksanakan langkah-langkah terobosan untuk menguatkan proses pemulihan dan pembangunan inklusif bagi korban konflik, dengan perhatian khusus pada perempuan dan kelompok-kelompok rentan diskriminasi;
6.Memastikan akses dan kemudahan bagi perempuan, terutama korban konflik, dalam proses pengambilan keputusan yang responsif, inkusif, partisipatif dan representatif, di semua tingkatan;
7.Mengembangkan ketahanan masyarakat/ketahanan sosial dalam mengantisipasi kerentanan baru dan mencegah berulangnya konflik, serta berkontribusi pada perlindungan dan pemulihan korban serta warga yang terimbas konflik.
Demikian rilis media ini kami sampaikan, menyertai peluncuran Laporan Kajian Kebijakan Penyikapan Konflik Selama 20 Tahun Reformasi untuk Pemajuan dan Pemenuhan HAM Perempuan serta Pembangunan Perdamaian, yang disampaikan pada hari ini, 23 Mei 2018, sebagai bagian dari Peringatan 20 Tahun Reformasi oleh Komnas Perempuan bersama mitra-mitranya.
Narasumber:
Azriana Manalu, Komisioner (0811 6724 41)
Yuniyanti Chuzaifah, Komisioner (081311130330)
Indriyati Suparno, Komisioner (081329343547)
Taufiek Zulbahary, Komisioner (0812-1934-205)
Saur Tumiur Situmorang, Komisioner (081362113287)