Jakarta, 7 Maret 2018
Tanggal 8 Maret diperingati sebagai Hari Perempuan Sedunia sebagai bentuk solidaritas internasional agar perempuan di seluruh dunia terbebas dari diskriminasi dan kekerasan. Setiap tahun Komnas Perempuan memperingati Hari Perempuan Sedunia salah satunya dengan meluncurkan Catatan Tahunan (CATAHU), yang merupakan catatan pendokumentasian berbagai kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan dan ditangani baik oleh 237 lembaga negara maupun lembaga masyarakat serta pengaduan yang langsung datang ke Komnas Perempuan.
Dalam CATAHU 2018, terdapat temuan trend kekerasan yang berkembang sesuai konteks dari tahun-tahun sebelumnya, yaitu:
a.KDRT, FEMICIDE, POLIGAMI dan PERKAWINAN ANAK. Peristiwa KDRT disertai dengan terungkapnya kasus pembunuhan perempuan (femicide), dalam kasus ini pembunuhan terhadap istri. Tingginya cerai gugat istri banyak disebabkan oleh situasi rumah tangga yang tidak aman, diantaranya kekerasan fisik, maraknya poligami, dan perkawinan anak diantaranya kriminalisasi terhadap perempuan yang dikawinkan karena dianggap berzina, padahal dalam data CATAHU tampak tingginya angka kekerasan seksual dalam relasi pacaran;
b.Kekerasan terhadap Perempuan Berbasis CYBER. Adalah kekerasan yang muncul ke permukaan dengan massif, namun kurang dalam pelaporan dan penanganan. Dampak dari kejahatan cyber ini dapat menjatuhkan hidup perempuan, menjadi korban berulang kali, dan dapat terjadi seumur hidup. Cyber harrashment adalah terbanyak kedua dari kasus kekerasan terhadap perempuan;
Cyber grooming : Pendekatan untuk Memperdaya
Cyber harrashment : Pengiriman Teks untuk Menyakiti/Menakuti/Mengancam/Mengganggu
Hacking : Peretasan
Illegal Content : Konten Ilegal
Infringement of privacy : Pelanggaran Privasi
Malicious distribution : Ancaman Distribusi Foto/Video Pribadi
Online defamation : Penghinaan/Pencemaran Nama Baik
Recruitment : Rekrutmen Online
c.INCEST. Kasus incest dengan pelaku ayah kandung atau pelaku pelecehan seksual anak dibawah 5 tahun adalah “pekerjaan rumah” terbesar negara dan bangsa Indonesia untuk merespon situasi kekerasan yang ekstrim ini. Walaupun sudah ada penghukuman yang ditujukan untuk menjerakan publik melalui perpu kebiri, tapi tidak banyak mengubah darurat kekerasan seksual yang ada. Ini menunjukkan ada diskoneksi analisa negara terhadap penyebab kekerasan seksual dengan penanganannya;
d.Pelaku kekerasan seksual di ranah personal, ada tiga kategori tertinggi yaitu: Pacar (1528), Ayah kandung (425), Paman (322) dari 19 kategori pelaku;
e.Perempuan masih menjadi sasaran yang disalahkan, di bully termasuk dalam konteks perselingkuhan, poligami dan kejahatan perkawinan lainnya. Sementara pelaku utama justru lolos dari penghakiman sosial;
f.KONFLIK SUMBER DAYA ALAM DAN DAN PEMISKINAN. Politik pembangunan infrastruktur yang massif, impunitas dan supremasi korporasi meminggirkan bahkan mengusir masyarakat penduduk asli atau masyarakat adat, mengundang migrasi paksa, perdagangan orang maupun kerentanan kerja-kerja domestik termasuk Pekerja Rumah Tangga (PRT). Perlawanan dianggap pembangkangan terhadap hukum dan kebijakan pusat dan daerah. Dampaknya pada perempuan adalah menambah beban pemiskinan;
g.Politik populisme sudah menawan isu-isu krusial menjadi jalan di tempat atau bahkan kemunduran dalam penanganan isu pelanggaran HAM masa lalu, atau semakin memburuknya isu-isu HAM perempuan yang dipolitisasi atau dianggap mengganggu moral mayoritas, seperti minimnya suara mencegah persekusi pada minoritas agama, minoritas seksual, politisasi isu perzinahan yang tidak bisa bedakan dengan kekerasan seksual, dan lain-lain.
Meskipun demikian, ada sejumlah kemajuan yang berhasil dicatat dalam CATAHU 2018 ini, yaitu pengaduan kepada lembaga pengadalayanan dari unsur pemerintah seperti Kepolisian dan Rumah Sakit meningkat. Artinya lembaga tersebut dibutuhkan dan dipercaya masyarakat, oleh karena itu diperlukan dukungan penambahan sumberdaya manusia, pelayanan dan penanganan yang cepat. Selain itu Badan Peradilan Agama menjadi institusi negara yang melakukan reformasi pendataan, dimana terdapat kategori perceraian akibat KDRT, dan poligami sebagai penyebab perceraian. Berangkat dari temuan dan pendokumentasian data CATAHU 2018, Komnas Perempuan merekomendasi Negara yaitu:
1.Kementerian Komunikasi dan Informasi-khusus untuk kekerasan terhadap perempuan berbasis cyber- perlu membangun sistem teknologi komunikasi untuk mencegah meluasnya kekerasan terhadap perempuan berbasis cyber;
2.Kementerian Pemberdayaan dan Perlindungan Anak memastikan substansi dan mekanisme Undang- Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) dijalankan oleh semua pihak terutama perlindungan pada korban dan akses keadilan bagi korban serta penghukuman untuk mencegah impunitas;
3.Kepolisian R.I melakukan pendokumentasian secara nasional dan massif tentang kejahatan femisida (femicide) sebagai bentuk kejahatan klimaks dari Kekerasan terhadap Perempuan (KtP) agar terpetakan penyebab, pola dan langkah-langkah pencegahannya;
4.Kementerian BAPPENAS melakukan evaluasi arah dan prioritas pembangunan untuk meminimalisir isu-isu eksploitasi sumber daya alam, pembangunan infrastruktur yang berdampak buruk terhadap perempuan, dan penggusuran yang semakin memiskinkan dan merentankan perempuan;
5.DPR RI untuk mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan terlebih dahulu membaca serius persoalan kekerasan seksual dengan perspektif HAM perempuan dan mengedepankan hak perempuan korban;
6.DPR RI menyegerakan ratifikasi Konvensi ILO 189 mengenai Kerja Layak PRT dalam Prolegnas Prioritas 2018.
Kontak Narasumber:
Yuniyanti Chuzaifah, Wakil Ketua, Komisioner (081311130330)
Sri Nurherwati, Komisioner (082210434703)
Mariana Amiruddin, Komisioner (082110483232)
Adriana Venny, Komisioner (08561090619)
Thaufiek Zulbahary, Komisioner (08121934205)