Jakarta, Gramediapost.com
22 November 2017
Komitmen Pemerintah lndonesia dalam menangani kasus Perdagangan Anak, Prostitusi Anak dan Pornografi Anak patut dipertanyakan. Hal ini terlihat dari belum dilaporkannya Laporan Awal (Initial Report) dan Laporan Pelaksanaan (State Report) Pemerintah indonesia kepada Konvensi
Hak Anak PBB tentang Protokol Tambahan Konvensi Hak Anak tentang Perdagangan Anak, Prostitusi Anak, serta Pomografi Anak.
Padahal, tenggat waktu Laporan Awal Pemerintah Indonesia kepada Konvensi Hak Anak PBB tentang protokol tambahan ini adalah tahun 2014, atau dua tahun setelah protokol tambahan ini diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 10 tahun 2012 tentang Pengesahan Protokol Tambahan Konvensi Hak-Hak Anak Mengenai Penjualan Anak, Prostitusi Anak, dan Pornografi Anak. Artinya, Pemerintah lndonesia sudah terlambat tiga tahun dari aturan yang telah ditetapkan di dalam Protokoi Tambahan ini dalam pasal 12 :
‘Setiap Negara Pihak harus menyerahkan, dalam waktu dua tahun setelah berlakunya Protokol ini untuk Negara Pihak tersebut, laporan kepada Komite Hak-Hak Anak yang
menyediakan infomasi yang komprehensif mengenai tindakan-tindakan yang diambil untuk implementasi”
Selain membuat laporan awal, Pemerintah Indonesia juga diharuskan membuat Laporan Pelaksanaan Protokol Tambahan dalam jangka lima tahun setelah ratifikasi, atau selambatlambatnya, dilaporkan pada akhir tahun ini. ECPAT Indonesia sangat menyayangkan Laporan Awal dan Laporan Pelaksanaan tak kunjung dibuat hingga saat ini.
Situasi ini membuat Indonesia menjadi negara terbelakang bersama empat negara ASEAN lainnya yang belum melaporkan Laporan Awal Pemerintah tentang Protokol Tambahan Konvensi Hak Anak tentang Perdagangan Anak, Prostitusi Anak, serta Pomografi Anak. Negara Timor Leste. yang merdeka pada tahun 1999, bahkan sudah terlebih dahulu meratifikasi dan membuat laporan pemerintah kepada Komite Hak Anak PBB.
Daftar negara di ASEAN yang telah meratifikasi dan membuat state report.
1. Timor Leste 16 April 2003 1 Maret 2007
2. Vietnam 20 Desember 2001 8 November 2005
3 Thailand 11 Januari 2006 30 Oktober 2009
4. Laos 20 September 2006 26 Juni 2013
5. Filipina 28 Mei 2002 24 Agustus 2009
6. Kamboja 20 Mei 2002 5 Oktober 2012
7. Malaysia 12 April 2012 Beium ada laporan 8 Brunei Darussalam 21 November 2006 Belum ada laporan
9 Myanmar 16 Januari 2012 Belum ada laporan
10 Indonesia 24 September 2012 Belum ada laporan
11 Singapura Tidak meratilikasi OPSC Tidak ada laporan
ECPAT indonesia sangat prihatin terkait lambannya pelaporan Laporan Pemerintah tentang Protokol Tambahan ini. Hal ini tentunya menjadi penilaian yang kurang baik di mata Komite Hak Anak PBB. Pemerintah Indonesia bisa dinilai lamban dalam hal memberikan perlindungan bagi anak-anak yang menjadi korban perdagangan, prostitusi dan pornografi. Selain itu, tidak adanya laporan juga menunjukkan pemerintah belum serius dalam memberikan perlindungan bagi anakanak yang menjadi korban yang disebutkan dalam Protokol Tambahan. Padahal ketiga isu yang diangkat di dalam Protokol Tambahan sedang marak terjadi di Indonesia.
Dalam rangka menyambut Hari Anak Internasional yang jatuh setiap tanggal 20 November, maka ECPAT lndonesia menyampaikan 8 (delapan) tuntutan kepada pemerintah lndonesia sebagai negara pihak dalam Protokol Tambahan ini yaitu :
1. Mendesak pemerintah Indonesia sesegera mungkin membuat laporan awal dan laporan pelaksanaan Protokol Opsional perdagangan anak, prostitusi anak dan pomografl anak di Indonesia.
2. Pemerintah Indonesia segera melakukan harmonisasi perundangan-undangan nasional dengan protokol opsional melalui revisi tentang kewajiban negara peserta ratifikasi serta menyamakan konsepsi terminologi yang digunakan protokol tambahan ke dalam perundang-undangan nasional.
3. Mengintegrasikan asas-asas dan delik yang ada di protokol tambahan ke dalam R-KUHP nasional yang saat ini sedang dibahas di DPR, sehingga asas-asas dan delik yang terkandung dalam R-KUHP sinkron dengan asas-asas yang terkandung daiam protokol tambahan, dengan demikian akan memberikan landasan hukum yang kuat dalam memberantas tindak pidana eksploitasi seksual anak di indonesia. Disamping itu diperlukan juga harmonisasi pada R-KUHAP terkait dengan mekanisme pembuktian dan proses penyidikan, hingga peradilan yang dapat mempermudah pemidanaan bagi pelaku dan perlindungan bagi korban. Prinsip-prinsip hukum acara yang dianut dalam R-KUHAP harus harmonis dengan protokol tambahan.
Melakukan kerjasama bilateral dan multilateral khususnya perjanjian ekstradisi terhadap pelaku kejahatan seksual anak, sehingga penegakan hukum atas kasus-kasus tindak pidana eksploitasi seksual anak bersesuaian jurisdiksi dari tindak pidana eksploitasi seksual anak. Meningkatkan kapasitas penegak hukum dalam melakukan penyidikan dan penuntutan kasus-kasus tindak pidana eksploitasi seksual anak. sehingga polisi dan jaksa dapat lebih profesional dalam menangani kasus-kasus tindak pidana eksploitasi seksual anak. Mempertimbangkan untuk dimasukkan dalam kurikulum pendidikan di kepolisian dan kejaksaan agar materi tindak pidana eksploitasi seksual anak diajarkan dan menjadi materi pokok dalam pendidikan dan pelatihan di kedua institusi ini.
Menyediakan pusat-pusat rehabilitasi di tingkat provinsi yang ditujukan kepada korban korban eksploitasi seksual anak dengan memperhatikan secara baik hak-hak korban. sehingga pendekatan perlindungan korban lebih dikedepankan.
Pemerintah pusat juga perlu mendorong pemerintah propinsi dan pemerintah kabupaten/kota untuk mengembangkan program-program pencegahan terjadinya eksploitasi seksual anak, sehingga masalah ini bisa lebih teratasi dengan lebih back. Melanjutkan Rencana Aksi Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual terhadap Anak yang sempat ditiadakan dan berkordinasi dengan semua Kementerian/Lembaga Negara dalam pemenuhan hak-hak korban eksploitasi seksual anak.