Hidup Sebagai Keluarga Allah

0
863

Oleh: Pdt. Pinehas Djendjengi

 

 

 

1 Timotius 3:14-16

(14) Jangan lalai dalam mempergunakan karunia yang ada padamu, yang telah diberikan kepadamu oleh nubuat dan dengan penumpangan tangan sidang penatua. (15) Perhatikanlah semuanya itu, hiduplah di dalamnya supaya kemajuanmu nyata kepada semua orang. (16) Awasilah dirimu sendiri dan awasilah ajaranmu. Bertekunlah dalam semuanya itu, karena dengan berbuat demikian engkau akan menyelamatkan dirimu dan semua orang yang mendengar engkau.

 

Dalam ayat 15 Paulus menasihati seluruh jemaat dan pembaca, lewat suratnya yang dialamatkan kepada Timotius, agar menyadari lalu kemudian hidup sebaga keluarga Allah. Kata Paulus: “Jadi jika aku terlambat, sudahlah engkau tahu bagaimana orang harus hidup sebagai keluarga Allah, yakni jemaat dari Allah yang hidup, tiang penopang dan dasar kebenaran.”

Jauh-jauh hari sebelumnya, Paulus sudah memberitahu mereka, bahwa mereka adalah keluarga Allah. Jadi, karena mereka sudah tahu (atau sudah diberitahu) maka mereka harus hidup sebagai keluarga Allah, meskipun Paulus terlambat datang dan atau bahkan terhalang datang ke tengah-tengah mereka. Dari perspektif iman, orang yang sudah tahu harus melaksanakannya apa yang sudah diketahuinya. Tidak ada dalil ‘pura-pura tidak tahu’ dalam kehidupan beriman. Dalam Ibrani 10:26-27 dikatakan: “Sebab jika kita sengaja berbuat dosa, sesudah memperoleh pengetahuan tentang kebenaran, maka tidak ada lagi korban untuk menghapus dosa itu. Tetapi yang ada ialah kematian yang mengerikan akan penghakiman dan api yang dahsyat yang akan menghanguskan semua orang durhaka.”

Menarik, hampir semua kita punya Alkitab. Dalam Alkitab kita diberitahu tentang maksud-maksud Tuhan yang harus kita laksanakan. Tidak ada alasan bagi kita untuk mengatakan bahwa kita tidak tahu. Alkitab harus dibaca dan bukan disimpan dalam rak atau lemari sampai berdebu. Ingat cerita Orang kaya dan Lazarus yang miskin dalam Lukas 16:19-31? Orang kaya hidup dalam kemewahan tapi mengabaikan Lazarus yang miskin. Keduanya lalu meninggal, si kaya masuk neraka dan Lazarus masuk surga. Dalam penderitaannya, si kaya berseru dan meminta kepada bapak Abraham agar menyuruh Lazarus menemui keluarganya di bumi dan menasihati mereka untuk hidup baik. Jangan sampai keluarganya juga masuk neraka. Apa jawab Abraham? Tidak! Pada mereka sudah ada kitab kesaksian Musa dan para nabi.

Baca juga  Jangan Berhitung Dengan Tuhan

Alkitab diberikan kepada kita supaya kita baca, supaya kita tahu apa kehendak Allah bagi kita di dunia. Sayang, kalau kita punya Alkitab tapi kita tidak mempelajarinya. Tapi belum terlambat, buka dan pelajarilah!

Kita kembali kepada topik hari ini, yaitu keluarga Allah. Kita sebagai jemaat Allah, sebagai orang-orang percaya, dipertautkan dan dipersatukan sebagai keluarga Allah. Kesatuan kita sebagai keluarga Allah bukan seperti pasir yang kelihatannya ngumpul tapi sesungguhnya masing-masing lepas satu dengan yang lain. Kesatuan kita adalah seperti batu-batu bangunan yang tersusun rapi dan terekat satu sama lain (baca: Efesus 2:21; 1 Petrus 2:5).

Tapi sungguh menyedihkan, kehidupan gereja-gereja sekarang ini jauh dari kesatuannya sebagai keluarga Allah. Banyak gereja-gereja malah saling menjegal. Kita baru mau bersatu kalau ada tekanan dan ancaman. Lihat sikap gereja-gereja pada waktu kerusuhan dan pengalaman konflik yang lalu. Solidaritas dibangun, karena ada ancaman. Kesatuan seperti ini semu sifatnya.

Kesatuan kita sebagai keluarga Allah harus bertumbuh dari dalam dan berlangsung terus-menerus. Oleh karena itu mari kita pahami dengan baik apa yang dikatakan Paulus dalam ayat 15 pembacaan hari ini.

Pertama, keluarga Allah adalah jemaat Allah (gereja Allah). Gereja bukan milik kita, tapi milik Allah yang hidup. Allah yang hidup adalah Allah yang tidak membedakan orang. Hanya dengan memahami bahwa gereja dan jemaat di manapun adalah milik Allah, maka kita semua akan dapat hidup sebagai keluarga Allah. Kita akan dapat saling memahami dan saling menerima.

Kedua, hidup sebagai keluarga Allah adalah hidup dalam kebenaran. Kita mencintai dan hidup demi kebenaran itu. Jangan seperti Pilatus, yang oleh istrinya sudah diberitahu siapa sebenarnya yang salah, tapi dia tidak berani mengambil resiko lalu cuci tangan. Banyak di antara kita mengetahui kebenaran Tuhan, tapi tidak berani mengambil resikonya. Sikap ini tidak mencerminkan sikap anggota keluarga Allah. Dalam iman Kristen, kebenaran itu bukanlah ‘apa’ tapi ‘siapa’. Kalau kebenaran dimulai dengan ‘apa’ maka kita akan larut dalam perumusan defenisi demi defenisi. Tidak akan pernah tuntas. Tapi kalau kebenaran dimulai dengan ‘siapa’, maka jawabnya adalah: Yohanes 14:6: “Kata Yesus kepadanya: “Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorang pun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku.” Hidup sebagai keluarga Allah adalah hidup dalam Kristus Yesus.

Baca juga  Belarasa Yang Dibagirasakan ( A Shared Compassion)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here